Selasa, 18 Maret 2014

BAHAYA NGUTANG

Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman. Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka. A. PENGERTIAN HUTANG PIUTANG: Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.(1) Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.(2) Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga. B. HUKUM HUTANG PIUTANG: Hukum Hutang piutang pada asalnya DIPERBOLEHKAN dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang DISUKAI dan DIANJURKAN, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah sebagaimana berikut ini: Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah : مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (245) “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245) Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi  pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda, “Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.” (3) Nabi  juga bersabda: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً “Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (HR. Ibnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud . Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389).) Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma’ tentang disyariatkannya hutang piutang (peminjaman). C. PERINGATAN KERAS TENTANG HUTANG: Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah DIPERBOLEHKAN, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi  pernah berhutang.(4) Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, menurut Rasulullah , merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah  (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari). Rasulullah  pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah  bersabda: يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ “Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash ). Diriwayatkan dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, dari Rasulullah , bahwa Beliau bersabda: « مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ » “Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan hutang.” (HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412, dan At-Tirmidzi IV/138 no: 1573. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani). Dari Abu Hurairah , bahwa Rasulullah  bersabda: « نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ » “Jiwa orang mukmin bergantung pada hutangnya hingga dilunasi.” (HR. Ibnu Majah II/806 no.2413, dan At-Tirmidzi III/389 no.1078. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani). Dari Ibnu Umar  bahwa Rasulullah  bersabda: « مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ » “Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung hutang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak (pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani). عَنْ أَبِى قَتَادَةَ أَنَّهُ سَمِعَهُ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَامَ فِيهِمْ فَذَكَرَ لَهُمْ « أَنَّ الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالإِيمَانَ بِاللَّهِ أَفْضَلُ الأَعْمَالِ ». فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ تُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ ». ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كَيْفَ قُلْتَ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ » Dari Abu Qatadah , bahwasannya Rasulullah pernah berdiri di tengah-tengah para sahabat, lalu Beliau mengingatkan mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan yang paling afdhal. Kemudian berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terhapus dariku?” Maka jawab Rasulullah  kepadanya “Ya, jika engkau gugur di jalan Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala, maju pantang melarikan diri.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Melainkan hutang, karena sesungguhnya Jibril ’alaihissalam menyampaikan hal itu kepadaku.” (HR. Muslim III/1501 no: 1885, At-Tirmidzi IV/412 no:1712, dan an-Nasa’i VI: 34 no.3157. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil no: 1197). D. SYARAT PIUTANG MENJADI AMAL SHOLIH? 1. Harta yang dihutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya, bukan harta yang haram atau tercampur dengan sesuatu yang haram. 2. Pemberi piutang / pinjaman tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun perbuatan. 3. Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho dari-Nya semata. Tidak ada maksud riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar kebaikannya oleh orang lain). 4. Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman. E. BEBERAPA ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG: Bagaimana Islam mengatur berhutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini: [1]. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan. Dalilnya firman Allah : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (282) “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282) Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dari-Nya untuk para hamba-Nya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat: “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”. (5) [2]. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang. Kaidah fikih berbunyi: كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan.(6) Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah . Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan, “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan.(7) [3]. Melunasi hutang dengan cara yang baik Hal ini sebagaimana hadits berikut ini: عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ – صلى الله عليه وسلم – « أَعْطُوهُ » . فَطَلَبُوا سِنَّهُ ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلاَّ سِنًّا فَوْقَهَا . فَقَالَ « أَعْطُوهُ » . فَقَالَ أَوْفَيْتَنِى ، وَفَّى اللَّهُ بِكَ . قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً » Dari Abu Hurairah , ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah  membalas dengan setimpal”. Maka Nabi  bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263.) وعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ – وَكَانَ لِى عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِى وَزَادَنِى Dari Jabir bin Abdullah  ia berkata: “Aku mendatangi Nabi  di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”. (HR. Bukhari, II/843, bab husnul Qadha’, no. 2264) Termasuk cara yang baik dalam melunasi hutang adalah melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima hutang), melunasi hutang di rumah atau tempat tinggal pemberi hutang, dan semisalnya. [4]. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti: a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi. d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya. عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ » Dari Abu Hurairah , ia berkata bahwa Nabi  bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah  akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah  akan membinasakannya”. (HR. Bukhari, II/841 bab man akhodza amwala an-naasi yuridu ada’aha, no. 2257) Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi di atas. Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah  membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah  melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang kekal nan abadi? [5]. Berupaya untuk berhutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal. Sehingga dengan meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat menenangkan jiwa n menjauhkannnya dari hal-hal yang kotor dan haram. Sehingga harta pinjaman tersebut ketika kita gunakan untuk suatu hajat menjadi berkah dan mendatangkan ridho Allah. Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat menjamin penghasilannya bersih dan bebas dari hal-hal yang haram. [6]. Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak. Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berhutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya. Tidak sepantasnya berhutang untuk membeli rumah baru, kendaraan, laptop model terbaru, atau sejenisnya dengan maksud berbangga-banggaan atau menjaga kegengsian dalam gaya hidup. Padahal dia sudah punya harta atau penghasilan yang mencukupi kebutuhan pokoknya. [7]. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi : لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ “Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”.) Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan. [8]. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman. Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan. Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan. [9]. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan. عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّىَ » Dari Samurah , Nabi  bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya.) [10]. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya. Hal ini sebagaimana hadits berikut ini (artinya): Dari Jabir bin Abdullah , ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi  meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau  berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau  pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405) [11]. Bersegera melunasi hutang Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana hadits berikut: عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ » Dari Abu Hurairah , bahwa Rasulullah  bersabda: “Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut)”. (HR. Bukhari dalam Shahihnya IV/585 no.2287, dan Muslim dalam Shahihnya V/471 no.3978, dari hadits Abu Hurairah .) [12]. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo. Allah  berfirman: وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280) “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280). Diriwayatkan dari Abul Yusr, seorang sahabat Nabi, ia berkata, Rasulullah  bersabda: « مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ – فَلْيُنْظِرْ مُعْسِرًا أَوْ لِيَضَعْ لَهُ » “Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pen), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (HR Ibnu Majah II/808 no. 2419. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani) قَالَ حُذَيْفَةُ وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ « إِنَّ رَجُلاً كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَتَاهُ الْمَلَكُ لِيَقْبِضَ رُوحَهُ فَقِيلَ لَهُ هَلْ عَمِلْتَ مِنْ خَيْرٍ قَالَ مَا أَعْلَمُ ، قِيلَ لَهُ انْظُرْ . قَالَ مَا أَعْلَمُ شَيْئًا غَيْرَ أَنِّى كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فِى الدُّنْيَا وَأُجَازِيهِمْ ، فَأُنْظِرُ الْمُوسِرَ ، وَأَتَجَاوَزُ عَنِ الْمُعْسِرِ . فَأَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ » Dari sahabat Hudzaifah, beliau pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Ada seorang laki-laki yang hidup di zaman sebelum kalian. Lalu datanglah seorang malaikat maut yang akan mencabut rohnya. Dikatakan kepadanya (oleh malaikat maut): “Apakah engkau telah berbuat kebaikan?” Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak mengetahuinya.” Malaikat maut berkata: “ Telitilah kembali apakah engkau telah berbuat kebaikan.” Dia menjawab: “Aku tidak mengetahui sesuatu pun amalan baik yang telah aku lakukan selain bahwa dahulu aku suka berjual beli barang dengan manusia ketika di dunia dan aku selalu mencukupi kebutuhan mereka. Aku memberi keluasan dalam pembayaran hutang bagi orang yang memiliki kemampuan dan aku membebaskan tanggungan orang yang kesulitan.” Maka Allah (dengan sebab itu) memasukkannya ke dalam surga.” (HR. Bukhari III/1272 no.3266) Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam hutang piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan hutang. Amin.

Selasa, 04 Maret 2014

BAHAGIA DENGAN MEMBAHAGIYAKAN ORANG LAIN

Sebagian orang telah memiliki harta yang banyak, telah diberi kemewahan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, telah dimudahkan rezekinya, namun mereka tidak merasakan kebahagiaan. Sebenarnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menunjukkan banyak cara dan kiat untuk menggapai kebahagiaan. Dan telah terbukti bahwa kebahagiaan itu tidak hanya diukur dengan harta, kebahagiaan bukan diukur dengan kemewahan, kebahagiaan bukan diukur dengan ketenaran, ada perkara-perkara lain yang bisa menjadikan seseorang berbahagia. Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah. Pada kesempatan kali ini kita berbicara tentang orang-orang yang Allah berikan rezeki kepada mereka, terutama yang memiliki kelebihan. Bagaimana caranya agar mereka bisa meraih kebahagiaan? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ، أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْناً، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوْعًا وَ لَأَنْ أَمْشِيْ مَعَ أَخٍ فِي حَاجَةٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا المَسْجِدِ ، ( يَعْنِي مَسْجِدُ النَبَوِي ) شَهْرًا “…Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia, dan pekerjaan yang paling dicintai Allah adalah menggembirakan seorang muslim, atau menjauhkan kesusahan darinya, atau membayarkan hutangnya, atau menghilangkan laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’ktikaf di masjid ini (masjid Nabawi) selama sebulan…” (HR. Thabrani di dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 13646). Allahu Akbar! Luar biasa, amalan yang tidak kita sangka besarnya, bahkan lebih besar daripada berdiam diri di masjid selama satu bulan untuk beribadah (i’tikaf) di Masjid Nabawi. Beliau katakan amalan menemani seorang muslim untuk ia tunaikan kebutuhannya, itu adalah amalan yang besar dan amalan yang agung. Mengapa demikian? Karena menolong orang lain, menghilangkan rasa laparnya, mengatasi kesulitannya adalah amalan yang sangat dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan amalan tersebut akan memberikan rasa kebahagian kepada para pelakunya. Ada seorang sahabat yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sahabat ini mengeluhkan kekerasan dan kekakuan di dalam hatinya, ia tidak merasakan kebahagiaan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنْ أَرَدْتَ أَنْ يَلِينَ قَلْبُكَ ، فَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ ، وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ “Jika engkau ingin agar hatimu menjadi lunak, maka berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad no. 7576 dan 9018) Kaum muslimin yang dirahamati Allah Mungkin di antara kita ada yang bertanya, apa hubungannya kebahagiaan dengan memberi makan orang yang miskin? Apa hubungannya kebahagiaan dengan mengusap kepala anak yatim? Apa hubungan hal ini dengan kelembutan hati dan kebahagiaan? Ingatlah wahai kaum muslimin, di dalam agama kita ada sebuah prinsip yang agung الجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ العَمَلِ “Balasan itu sesuai dengan amalan.” Jika seorang hamba berusaha menyenangkan hati orang lain, memikirkan kesulitan yang dihadapi orang lain, makan Allah juga akan menyenagkan hatinya. Oleh karenanya kita dapati sebagian orang, berletih-letih, berpayah-payah, pergi ke tempat yang jauh untuk membantu kaum muslimin, membawakan bantuan, mengumpulkan dana untuk diberikan kepada kaum muslimin, dia tidak pernah merasakan keletihan, padahal itu pekerjaan yang sangat berat, mungkin ia tidak mendapatkan dunia (upah) sepeser pun, akan tetapi mengapa ia bisa begitu betah melakukan itu semua? Karena ada kebahagiaan yang ia dapatkan. Allah yang memasukkan kebahagiaan dalam dirinya. Oleh karenanya manusia yang paling berbahagia di muka bumi ini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa? Karena beliau adalah orang yang paling memikirkan bagaimana caranya membahagiakan orang lain. Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman, لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah) Rasulullah merasa berat hatinya penderitaan para sahabatnya, penderitaan kaum muslimin secara umum, beliau menginginkan keimanan dan keselamatan bagi para sahabatnya dan umat beliau seluruhnya. Ummul mukminin, Kahdijah radhiallahu ‘anha juga pernah memuji sifat suaminya ini, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa takut bahwa dirinya terancam saat menerima wahyu pertama, كَلَّا أَبْشِرْ فَوَاللَّهِ لَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا وَاللَّهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَصْدُقُ الْحَدِيثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ “Janganlah begitu, bergembiralah! Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu, selama-lamanya. Demi Allah! Sesungguhnya, kamu telah menyambung tali persaudaraan, berbicara jujur, memikul beban orang lain, suka membantu orang yang tidak punya, menjamu tamu, dan sentiasa mendukung kebenaran.” (HR. Al-Bukhari no. 4572 dan Muslim no. 231) Inilah sifat dasar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan sebelum beliau menerima wahyu. Khadijah menyebutkan beberapa sifat suaminya, yang kesemuanya menunjukkan bahwa beliau selalu berusaha membuat orang lain berbahagia; menyambung silaturahmi, jujur, memikul beban orang lain, membantu orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan mendukung kebenaran. Dalam hadis yang lainnya dikisahkan, ada seorang budak wanita yang masih kecil menarik tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menunaikan suatu keperluannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan budak tersebut membawanya ke tempat yang ia inginkan. Mengapa ini semua beliau lakukan? Karena beliau sangat ingin memasukkan kebahagiaan di hati orang lain. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling ingin membahagiakan orang lain, maka beliau adalah orang yang paling berbahagia. فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَقُولُ قَوْ لِي هَذَا وَاسْتَغْفِرُوا اللهَ اِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ. Khutbah Kedua: إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ تَسْلِمًا. أما بعد: Kaum muslimin yang dirahmati Allah Ta’ala Setelah kita mendengarkan beberapa hadis tentang keutamaan membahagiakan orang lain, membahagiakan orang lain adalah amalan yang paling dicintai Allah, dan kita juga mendengarkan contoh praktek langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bagi kita adalah mengamalkannya. Mencari kebahagiaan dengan membahagiakan orang lain. Jika Anda memiliki kelebihan rezeki, sumbangkanlah sebagian harta yang Anda miliki kepada orang-orang miskin, sumbangkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Masukkan kebahagiaan di hati mereka, maka pasti Allah akan memasukkan kebahagiaan di hati Anda sekalian. Yakinlah akan hal ini, الجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ العَمَلِ “Balasan itu sesuai dengan amalan.” Tidak perlu sampai orang lain meminta, ketika ada keluarga, saudara, tentangga kita merasa sulit, maka kita bantu mereka dengan harta, tenaga, dan pikiran kita. Yang merasa sulit membahagiakan saudaranya dengan harta, maka ia bisa bahagiakan saudaranya dengan bantuan tenaga atau pemikiran. Sehingga saudara kita mendapatkan ide dan solusi dari masalah yang ia hadapi. Bagaimana mungkin Allah akan membiarkan orang-orang yang sibuk berpikir agar orang lain berbahagia, merasakan kesedihan, kegalauan di dalam hatinya, tidak mungkin! Yakinlah bahwasanya Allah akan membahagiakan orang yang ingin membahagiakan orang lain, dan lakukanlah amalan yang mulia ini dengan keikhlasan mengharap pahala dan ridha dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.