Sabtu, 31 Januari 2015

WAHABI

Mengenal lebih dekat siapa Wahabi sebenarnya? Oleh: Abu Jundulloh Muhammad Faisal, S.Pd, M.MPd حفظه الله Pendiri Wahabi adalah Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum wafat 211 H. Bukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab at-Tamimi (di Indonesia dikenal dengan Syaikh Muhammad at-Tamimi) wafat 1206 H Sebenarnya, Al-Wahabiyah merupakan firqah sempalan Ibadhiyah khawarij yang timbul pada abad ke 2 (dua) Hijriyah (jauh sebelum masa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab), yaitu sebutan Wahabi nisbat kepada tokohsentralnya Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum yang wafat tahun 211 H. Wahabi merupakan kelompok yang sangat ekstrim kepada ahli sunnah, sangat membenci syiah dan sangat jauh dari Islam. Untuk menciptakan permusuhan di tengah Umat Islam, kaum Imperialisme dan kaum munafikun memancing di air keruh dengan menyematkan baju lama (Wahabi) dengan berbagai atribut penyimpangan dan kesesatannya untuk menghantam dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau setiap dakwah mana saja yang mengajak untuk memurnikan Islam. Karena dakwah beliau sanggup merontokkan kebatilan, menghancurkan angan-angan kaum durjana dan melumatkan tahta agen-agen asing, maka dakwah beliau dianggap sebagai penghalang yang mengancam eksistensi mereka di negeri-negeri Islam. Contohnya: Inggris mengulirkan isue wahabi di India, Prancis menggulirkan isu wahabi di Afrika Utara, bahkan Mesir menuduh semua kelompok yang menegakkan dakwah tauhid dengan sebutan Wahabi, Italia juga mengipaskan tuduhan wahabi di Libia, dan Belanda di Indonesia, bahkan menuduh Imam Bonjol yang mengobarkan perang Padri sebagai kelompok yang beraliran Wahabi. Semua itu, mereka lakukan karena mereka sangat ketakutan terhadap pengaruh murid-murid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang mengobarkan jihad melawan Imperialisme di masing-masing negeri Islam. Tuduhan buruk yang mereka lancarkan kepada dakwah beliau hanya didasari tiga faktor: 1. Tuduhan itu berasal dari para tokoh agama yang memutarbalikkan kebenaran, yang hak dikatakan bathil dan sebaliknya, keyakinan mereka bahwa mendirikan bangunan dan masjid di atas kuburan, berdoa dan meminta bantuan kepada mayit dan semisalnya termasuk bagian dari ajaran Islam. Dan barangsiapa yang mengingkarinya dianggap membenci orang-orang shalih dan para wali. 2. Mereka berasal dari kalangan ilmuwan namun tidak mengetahui secara benar tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan dakwahnya, bahkan mereka hanya mendengar tentang beliau dari pihak yang sentimen dan tidak senang Islam kembali jaya, sehingga mereka mencela beliau dan dakwahnya sehingga memberinya sebutan Wahabi. 3. Ada sebagian dari mereka takut kehilangan posisi dan popularitas karena dakwah tauhid masuk wilayah mereka, yang akhirnya menumbangkan proyek raksasa yang mereka bangun siang malam. Dan barangsiapa ingin mengetahui secara utuh tentang pemikiran dan ajaran Syaikh Muhammad (Abdul Wahab at-Tamimi) maka hendaklah membaca kitab-kitab beliau seperti Kitab Tauhid, Kasyfu as-Syubhat, Usul ats-Tsalatsah dan Rasail beliau yang sudah banyak beredar baik berbahasa arab atau Indonesia. FATWA AL-LAKHMI DITUJUKAN KEPADA WAHABI (ABDUL WAHHAB BIN ABDURRAHMAN BIN RUSTUM) SANG TOKOH KHAWARIJ BUKAN KEPADA SYAIKH MUHAMMAD ABDUL WAHAB Mengenai fatwa Al-Imam Al-Lakhmi yang dia mengatakan bahwa Al-Wahhabiyyah adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij. Maka yg dia maksudkan adalah Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum dan kelompoknya bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Hal ini karena tahun wafat Al-Lakhmi adalah 478 H sedangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H /Juni atau Juli 1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yg telah wafat namun berfatwa tentang seseorang yg hidup berabad-abad setelahnya. Adapun Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum maka dia meninggal pada tahun 211 H. Sehingga amatlah tepat bila fatwa Al-Lakhmi tertuju kepadanya. Berikut Al-Lakhmi merupakan mufti Andalusia dan Afrika Utara dan fitnah Wahhabiyyah Rustumiyyah ini terjadi di Afrika Utara. Sementara di masa Al-Lakhmi hubungan antara Najd dgn Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh. Sehingga bukti sejarah ini semakin menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij yg diperingatkan Al-Lakhmi adl Wahhabiyyah Rustumiyyah bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. [Lihat kitab Al-Mu’rib Fi Fatawa Ahlil Maghrib, karya Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi, juz 11.] Perbedaan Da’wah Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum Dan Da’wah Syaikh Muhammad Abdul Wahhab 1.Da’wah Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum (Khawarij) Khawarij adalah salah satu kelompok dari kaum muslimin yang mengkafirkan pelaku maksiat (dosa besar), membangkang dan memberontak terhadap pemerintah Islam, dan keluar dari jama’ah kaum muslimin. Termasuk dalam kategori Khawarij, adalah Khawarij generasi awal (Muhakkimah Haruriyah) dan sempalan-sempalannya, seperti al-Azariqah, ash-Shafariyyah, dan an-Najdat –ketiganya sudah lenyap– dan al-Ibadhiyah –masih ada hingga sekarang–. Termasuk pula dalam kategori Khawarij, adalah siapa saja yang dasar-dasar jalan hidupnya seperti mereka, seperti Jama’ah Takfir dan Hijrah. Atas dasar ini, maka bisa saja Khawarij muncul di sepanjang masa, bahkan betul-betul akan muncul pada akhir zaman, seperti telah diberitakan oleh Rasulullah. “Pada akhir zaman akan muncul suatu kaum yang usianya rata-rata masih muda dan sedikit ilmunya. Perkataan mereka adalah sebaik-baik perkataan manusia, namun tidaklah keimanan mereka melampaui tenggorokan Maksudnya, mereka beriman hanya sebatas perkataan tidak sampai ke dalam hatinya – red. Mereka terlepas dari agama; maksudnya, keluar dari ketaatan – red sebagaimana terlepasnya anak panah dari busurnya. Maka di mana saja kalian menjumpai mereka, bunuhlah! Karena hal itu mendapat pahala di hari Kiamat.” (HR. Al Bukhari no. 6930, Muslim no. 1066) 2. Da’wah Syaikh Muhammad Abdul Wahhab (Ahlussunnah Wal Jama'ah) Alangkah baiknya kami paparkan terlebih dahulu penjelasan singkat tentang hakikat dakwah yang beliau serukan. Karena hingga saat ini ‘para musuh’ dakwah beliau masih terus membangun dinding tebal di hadapan orang-orang awam, sehingga mereka terhalang untuk melihat hakikat dakwah sebenarnya yang diusung oleh beliau. Syaikh berkata, “Segala puji dan karunia dari Allah, serta kekuatan hanyalah bersumber dari-Nya. Sesungguhnya Allah ta’ala telah memberikan hidayah kepadaku untuk menempuh jalan lurus, yaitu agama yang benar; agama Nabi Ibrahim yang lurus, dan Nabi Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik. Alhamdulillah aku bukanlah orang yang mengajak kepada ajaran sufi, ajaran imam tertentu yang aku agungkan atau ajaran orang filsafat. Akan tetapi aku mengajak kepada Allah Yang tiada sekutu bagi-Nya, dan mengajak kepada sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah diwasiatkan kepada seluruh umatnya. Aku berharap untuk tidak menolak kebenaran jika datang kepadaku. Bahkan aku jadikan Allah, para malaikat-Nya serta seluruh makhluk-Nya sebagai saksi bahwa jika datang kepada kami kebenaran darimu maka aku akan menerimanya dengan lapang dada. Lalu akan kubuang jauh-jauh semua yang menyelisihinya walaupun itu perkataan Imamku, kecuali perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau tidak pernah menyampaikan selain kebenaran.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/37-38). “Alhamdulillah, aku termasuk orang yang senantiasa berusaha mengikuti dalil, bukan orang yang mengada-adakan hal yang baru dalam agama.” (Kitab Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab: V/36). Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil buhust Al-Ilmiyyah wal Iftha’, Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Saudi Arabia Soal: “Siapakah wahabi?” Jawab: Wahabi adalah kata yang dimunculkan oleh para penentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi (Syaikh Muhammad At-Tamimi) rahimahullah. Padahal Syaikh rahimahullah berdakwah untuk memurnikan tauhid dari berbagai macam kesyirikan. Beliau ingin menghapus berbagai macam cara beragama di luar yang dituntunkan oleh Nabi kita Muhammad bin Abdillah shallAllohu ‘alaihi wa sallam. Maksud dari pemunculan nama ini sebenarnya adalah untuk menjauhkan dan menghalangi manusia dari dakwah beliau. Namun usaha semacam ini tidaklah membahayakan dakwah beliau. Bahkan dakwah beliau semakin tersebar di berbagai penjuru dunia dan semakin dicintai. Di antara mereka yang diberi taufik oleh Alloh untuk mengenal dakwah beliau, mereka melakukan penelitian lebih lanjut tentang hakikat dakwah beliau, mereka pun membelanya, karena beliau selalu bersandar pada dalil Al Kitab dan As Sunnah yang shohih pada setiap apa yang beliau sampaikan. Sehingga mereka semakin berpegang teguh dengan dakwahnya, mengikutinya dan mengajak manusia kepada dakwah beliau. Wa lillahil hamd (Segala pujian hanyalah milik Alloh). Wabillahit taufiq. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, juga kepada pengikut dan para sahabatnya. Yang menandatangani fatwa ini: Anggota : Al-Allamah Syaikh Dr. Abdullah bin Ghodyan Rahimahulloh Wakil Ketua : Al-Allamah Syaikh Dr. Abdur Rozaq ‘Afifi Rahimahulloh Ketua : Al-Allamah Samahatush Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz Rahimahulloh [Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Iftah (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) no. 9450, pertanyaan kedua] — Perkataan dari Guru Kami Al Allamah Al Faqih/Pakar Fiqih Syaikhuna Prof.Dr.Shalih ibnu Fauzan ibnu Abdullah Al Fauzan Hafidzahulloh (salah satu Ulama Senior di Arab Saudi yang masih hidup,Anggota Al Lajnah Ad Da`imah lil buhuts al ilmiyah wal ifta/komisi tetap riset dan fatwa Saudi Arabia kalau di Indonesia setara MUI/Majelis Ulama Indonesia, Penulis Kitab Al Mulakhkhash Al Fiqhiy) berkata: "inkaana tab'u Muhammad shallallohu' alaihi wasallam Mutawwihaba,fal yashad atstsaqolan.."anni Wahabi"..!!! Jika mengikuti Muhammad shallallohu` alaihi wasallam (baik cara hidup dan ibadahnya) disebut Wahabi,maka saksikan oleh kalian..wahai Jin dan Manusia " Saya Wahabi".. — Hati-hati banyak yang anti terhadap Wahabi padahal Gerakan Wahabi kalau memang yang disudutkan terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi Rahimahulloh berarti dia itu Syiah karena ucapan Wahabi adalah dari kalangan Syiah Silahkan simak biografi lengkapnya > Biografi Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi Rahimahulloh Nasab, Kelahiran dan Perkembangan Beliau Syaikh Rahimahulloh Beliau adalah Asy Syaikh Al-Allamah Al-Mujadid Muhammad Bin Abdul Wahhab Bin Sulaiman Bin ‘Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Rasyid At Tamimi An-Nejd Rahimahulloh dikenal dengan Sebutan Syaikh Muhammad At-Tamimi atau Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab di Indonesia dikenal Syaikh Muhammad At-Tamimi bahkan Kitabnya jadi Rujukkan dikalangan yang ngaku Aswaja/Ahlus Sunnah wal Jama’ah yakni Kitabut Tauhid Al Ladzi Huwa Haqqullah ‘ala Al ‘Abid dan Kitab Kasfusy Syubhat serta kitab-kitab lainnya. Beliau dilahirkan pada tahun 1115 H -bertepatan dengan 1703 M- di negeri ‘Uyainah daerah yang terletak di utara kota Riyadh, dimana keluarganya tinggal. Beliau tumbuh di rumah ilmu di bawah asuhan ayahanda beliau Abdul Wahhab yang menjabat sebagai hakim di masa pemerintahan Abdullah Bin Muhammad Bin Hamd Bin Ma’mar. Kakek beliau, yakni Asy Syaikh Sulaiman adalah tokoh mufti yang menjadi referensi para ulama. Sementara seluruh paman-paman beliau sendiri juga ulama. Beliau dididik ayah dan paman-pamannya semenjak kecil. Beliau telah menghafalkan Al Qur’an sebelum mencapai usia 10 tahun di hadapan ayahnya. Beliau juga memperdengarkan bacaan kitab-kitab tafsir dan hadits, sehingga beliau unggul di bidang keilmuan dalam usia yang masih sangat dini. Disamping itu, beliau sangat fasih lisannya dan cepat dalam menulis. Ayahnya dan para ulama disekitarnya amat kagum dengan kecerdasan dan keunggulannya. Mereka biasa berdiskusi dengan beliau dalam permasalahan-permasalah ilmiyah, sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari diskusi tersebut. Mereka mengakui keutamaan dan kelebihan yang ada pada diri beliau. Namun beliau tidaklah merasa cikup dengan kadar ilmu yang sedemikian ini, sekalipun pada diri beliau telah terkumpul sekian kebaikan. Beliau justru tidak pernah merasa puas terhadap ilmu. Rihlah Beliau dalam Menuntut Ilmu Syaikh Rahimahulloh Beliau tinggalkan keluarga dan negerinya untuk berhaji. Seusai haji, beliau melanjutkan perjalanan ke Madinah dan menimba ilmu dari para ulama’ di negeri itu. Di antara guru beliau di Madinah adalah: * Asy Syaikh Abdullah Bin Ibrahim Bin Saif dari Alu (keluarga) Saif An Najdi. Beliau adalah imam bidang fiqih dan ushul fiqih. * Asy Syaikh Ibrahim Bin Abdillah putra Asy Syaikh Abdullah bin Ibrahim Bin Saif, penulis kitab Al Adzbul Faidh Syarh Alfiyyah Al Faraidh. * Asy Syaikh Muhaddits Muhammad Bin Hayah Al Sindi dan beliau mendapatkan ijazah dalam periwayatannya dari kitab-kitab hadits. Kemudian beliau kembali ke negerinya. Tidak cukup ini saja, beliau kemudian melanjutkan perjalanan ke negeri Al Ahsa’ di sebelah timur Najd. Disana banyak ulama mahdzab Hambali, Syafi’i, Maliki dan Hanafi. Beliau belajar pada mereka khususnya kepada para ulama mahdzab Hambali. Di antaranya adalah Muhammad bin Fairuz , beliau belajar fiqih kepada mereka dan juga belajar kepada Abdullah Bin Abdul Lathif Al Ahsa’i. Tidak cukup sampai disitu, Bahkan beliau menuju ke Iraq, khususnya Bashrah yang pada waktu itu dihuni oleh para ulama ahlul hadits dan ahlul fiqih. Beliau menimba ilmu dari mereka, khususnya Asy Syaikh Muhammad Al Majmu’i, dan selainnya. Setiap kali pindah maka beliau mendapatkan buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim muridnya, beliau segera menyalinnya dengan pena. Beliau menyalin banyak buku di Al Ahsa’ dan Bashrah, sehingga terkumpullah kitab-kitab beliau dalam jumlah yang besar. Selanjutnya beliau bertekad menuju negeri Syam, karena di sana ketika itu terdapat ahlul ilmi dan ahlul hadits khususnya dari mahdzab Hambali. Namun setelah menempuh perjalanan ke sana, terasa oleh beliau perjalanan yang sangat berat. Beliau ditimpa lapar dan kehausan, bahkan hampir beliau meninggal dunia di perjalanan. Maka beliaupun kembali ke Bashrah dan tidak melanjutkan rihlahnya ke negeri Syam. Selanjutnya beliau bertolak ke Najd setelah berbekal ilmu dan memperoleh sejumlah besar kitab, selain kitab-kitab yang ada pada keluarga dan penduduk negeri beliau. Setelah itu beliau pun berdakwah mengadakan perbaikan dan menyebarkan ilmu yag bermanfaat serta tidak ridha dengan berdiam diri membiarkan manusia dalam kesesatan. Dakwah Beliau Syaikh Rahimahulloh Kondisi keilmuan dan keagamaan manusia waktu itu benar-benar dalam keterpurukan yang nyata, hanyut dalam kegelapan syirik dan bid’ah. Sehingga khurafat, peribadatan kepada kuburan mayat dan pepohonan merajalela. Sedangkan para ulamanya sama sekali tidak mempunyai perhatian terhadap aqidah salaf dan hanya mementingkan masalah-masalah fiqih. Bahkan diantara mereka justru memberikan dukungan kepada pelaku kesesatan-kesesatan tersebut. Adapun dari segi politik, mereka tepecah belah, tidak memiliki pemerintahan yang menyatukan mereka. Bahkan setiap kampung mempunyai amir (penguasa) sendiri. ‘Uyainah mempunyai penguasa sendiri, begitu pula Dir’iyyah, Riyadh, dan daerah-daerah lainnya. Sehingga pertempuran, perampokan, pembunuhan dan berbagai tindak kejahatan pun terjadi diantara mereka. Melihat kondisi yang demikian mengenaskan bangkitlah ghirah (kecemburuan) beliau terhadap agama Alloh Subahnahu Wata’ala juga rasa kasih sayang beliau terhadap kaum muslimin. Mulailah beliau berdakwah menyeru manusia ke jalan Alloh Subhanahu Wata’ala, mengajarkan tauhid, membasmi syirik, khurafat dan bid’ah-bid’ah serta menanamkan manhaj Salafush Shalih. Sehingga berkerumunlah murid-murid beliau baik dari Dir’iyyah maupun ‘Uyainah. Selanjutnya beliau mendakwahi amir ‘Uyainah. Pada awalnya sang amir menyambit baik dakwah tauhid ini dan membelanya. Sampai-sampai ia menghancurkan kubah Zaid Bin Al-Khattab yang menjadi tempat kesyirikan atas permintaan Asy Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab. Namun karena adanya tekanan dari amir Al Ahsa’ akhirnya amir ‘Uyainah pun menghendaki agar Asy Syaikh keluar dari ‘Uyainah. Maka berangkatlah beliau menuju ke Dir’iyyah tanpa membawa sesuatupun kecuali sebuah kipas tangan guna melindungi wajahnya. Beliau terus berjalan di tengah hari seraya membaca (Qur’an surat Ath Thalaq:2-3 yang artinya -red): “Barang siapa yang bertakwa kepada Alloh pasti Alloh memberinya jalan keluar dan rizki dari arah yang tiada disangka-sangka”(Ath Thalaq:2-3) Beliau terus mengulang-ulang ayat tersebut sampai tiba di tempat murid terbaiknya yang bernama Ibnu Suwailim yang ketika itu merasa takut dan gelisah, mengkhawatirkan keselamatan dirinya dan juga syaikhnya karena penduduk negeri itu telah saling memperingatkan untuk berhati-hati dengan syaikh. Maka beliau (Syaikh -red) pun menenangkannya dengan mengatakan, “Jangan berpikir yang bukan-bukan, selamanya. Bertawakalah kepada Alloh Subahahu Wata’ala. Niscaya Dia akan menolong orang-orang yang membela agamanya.” Berita kedatangan Asy Syaikh diketahui seorang shalihah, istri amir Dir’iyyah, Muhammad Bin Su’ud. Dia lalu menawarkan kepada suaminya agar membela syaikh ini karena beliau adalah nikmat dari Alloh Subahahu Wata’ala yang dikaruniakan kepadanya, maka hendaklah dia bersegera menyambutnya. Sang istri berusaha menenangkan dan membangkitkan rasa cinta pada diri suaminya terhadap dakwah dan terhadap seorang ulama. Maka sang amir mengatakan, “(Tunggu) beliau datang kepadaku”. Istrinya menimpali “Justru pergilah anda kepadanya, karena jika anda mengirim utusan dan mengatakan ‘datanglah kepadaku’, bisa jadi manusia akan mengatakan bahwa amir meminta beliau untuk datang ditangkap. Namun jika anda sendiri yang mendatanginya, maka itu merupakan suatu kehormatan bagi beliau dan bagi anda”. Sang amir akhirnya mendatangi Asy Syaikh, mengucapkan salam dan menanyakan perihal kedatangannya. Asy Syaikh Rahimahulloh menerangkan bahwa tidak lain beliau hanya mengemban dakwah para Rasul yakni menyeru kepada kalimat tauhid LAA ILAHA ILLALLOH. Beliau menjelaskan maknanya, dan beliau jelaskan pula bahwa itulah aqidah para Rasul. Sang amir mengatakan, “Bergembiralah dengan pembelaan dan dukungan”. Asy Syaikh Rahimahulloh menimpali, “Berbahagialah dengan kemuliaan dan kekokohan. Karena barang siapa menegakkan kalimat LAA ILAHA ILLALLOH ini, pasti Alloh akan memberikan kekokohan kepadanya.” Sang amir menjawab, “Tapi saya punya satu syarat kepada anda.” Beliau bertanya, “Apa itu?” Sang amir menjawab, “Anda membiarkanku dan apa yang aku ambil dari manusia.” Jawab Asy Syaikh Rahimahulloh, “Mudah-mudahan Alloh Subhanahu Wata’ala memberikan kecukupan kepada anda dari semua ini, dan membukakan pintu-pintu rizki dari sisi-Nya untuk anda.” Kemudian keduanya berpisah atas kesepakatan ini. Mulailah Asy Syaikh berdakwah dan sang amir melindungi dan membelanya, sehingga para Thalabul Ilmi (penuntut ilmu) berduyun-duyun datang ke Dir’iyyah. Semenjak itu beliau menjadi imam sholat, mufti dan juga qadhi. Maka terbentuklah pemerintahan tauhid di Dir’iyyah. Kemudian Asy Syaikh mengirim risalah ke negeri-negeri sekitarnya, menyeru mereka kepada aqidah tauhid, meninggalkan bid’ah dan khurafat. Sebagian mereka menerima dan sebagian lagi menolak serta menghalangi dakwah beliau, sehingga merekapun diperangi oleh tentara tauhid dibawah komando amir Muhammad Bin Su’ud dengan bimbingan dari beliau Rahimahulloh. Hal itu menjadi sebab meluasnya dakwah tauhid di daerah Najd dan sekitarnya. Bahkan amir ‘Uyainah pun kini masuk di bawah kekuasaan Ibnu Su’ud, begitu pula Riyadh, dan terus meluas ke daerah Kharaj, ke utara dan selatan. Di bagian utara sampai ke perbatasan Syam, di bagian selatan sampai di perbatasan Yaman, dan di bagian timur dari Laut Merah hingga Teluk Arab. Seluruhnya dibawah kekuasaan Dir’iyyah, baik daerah kota maupun gurunnya. Alloh Subhanahu Wata’ala melimpahkan kebaikan, rizki, kecukupan, dan kekayaan kepada penduduk Dir’iyyah. Maka berdirilan pusat perdagangan di sana, dan bersinarah negeri tersebut dengan ilmu dan kekuasaan sebagai berkah dari dakwah salafiyah yang merupakan dakwah para Rasul. Karya-karya Beliau Karya beliau sangat banyak, diantaranya: * Kitabut Tauhid Al Ladzi Huwa Haqqullah ‘ala Al ‘Abid * Al Ushul Ats Tsalatsah * Kasfusy Syubhat * Mukhtasar Sirah Rasul * Qawaidul ‘Arba’ah dan lainnya Wafat Beliau Beliau wafat pada tahun 1206 H. Semoga Alloh Subhanahu Wata’la melimpahkan rahmatnya kepada beliau, meninggikan derajat dan kedudukannya di Jannah-Nya yang luas serta mengumpulkan beliau bersama orang-orang shalih dan para syuhada’. Amin Ya Robbal ‘Alamin. Biografi Syaikh Muhammad At-Tamimi Rahimahulloh ini Disarikan dari Kitab Syarh Ushul Tsalatsah, Karya: Asy Syaikhuna al-Faqih Muhammad Bin Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahulloh, hal 5 dan Kitab Syarh Kasyfusy Syubhat Asy Syaikhuna al-Faqih Prof. DR. Shalih Bin Fauzan Bin Abdullah Al Fauzan Hafidzhahulloh, hal 3-12, Serta Disalin dari kitab Minhajul Firqoh An-Najiyah Wat Thoifah Al-Manshuroh, edisi Indonesia Jalan Golongan Yang Selamat, Penulis Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Penerjemah Ainul Haris Umar Arifin Thayib, Lc, Penerbit Darul Haq, Jakarta, Buku Pro dan Kontra Dakwah Wahabi, Penulis: Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Terbitan: Pustaka Ats-Tsauri, Yogyakarta, dll. Penutup Risalah ini: PERBEDAAN DUA “ WAHABI “ Antara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab at-Tamimi dengan Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum yakni: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab at-Tamimi Wafat 1206 H > - Keyakinan Ahlus Sunnah segala Dosa diampuni Alloh sebelum nyawa dikerongkongan - Tunduk dan Patuh kepada pemimpin Muslimin dalam hal kebaikan - Abdul wahab adalah nama ayah beliau - Pengikutnya seharusnya dipanggil “ Muhammady “ Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum wafat 211 > - Keyakinan Khowarij Mengkafirkan Kaum Muslimin yang melakukan dosa - Memberontak kepada Pemerintahan Kaum Muslimin - Namanya Emang Abdul Wahab - Pengikutnya bisa dipanggil “ Wahabi “ Nah hati-hati dengan isu Murahan dan Basi andalah Syiah yakni isu “ Wahabi “, maka kajilah siapakah sebenarnya Wahabi itu sesungguhnya. Tausiyah Penting Terkait Wahabi: Nih Nasehat Perlu diingat pesan dari Ustadzuna AlHabib Achmad Zein Al-Kaff -حفظه الله-(Pengurus MUI Jawa Timur dan Tokoh Anti Syiah dari Yayasan Al-Bayyinat, Jawa Timur) Guru dari Abu Jundulloh Muhammad Faisal, S.Pd, M.MPd Aktivis Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat, Kontributor Tulisan di berbagai Situs-Situs Islam, Praktisi PAUDNI/Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal). beliau pernah mengatakan: Kalau Wahabi Masih Ahlussunnah, Sedangkan Syiah Bukan, Nasehat ini disampaikan pada acara di Masjid Al-Furqon, Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia, Jakarta dengan Tema: “Mengokohkan Ahlus Sunnah wal Jamaah di Indonesia” dan Pernyataan sikap Ahlussunnah Indonesia terhadap Aliran Sesat Syi’ah pada Jum’at 8 Rajab 1432 H/10 Juni 2011, info lengkap lihat di: http://www.nahimunkar.com/habib-zein-al-kaff-kalau-wahabi-…/ Habib Zein Al-Kaff: Kalau Wahabi Masih Ahlussunnah, dan Baca juga>http://www.nahimunkar.com/anti-syiah-dituding-wahabi-habib…/ , Sedangkan Syiah Bukan dan Baca tulisan dari Ustadz Dr. Ali Musri, MA (Pengamat Anti Syiah tinggal di Jateng yang sekarang di Jeddah-Saudi Arabia) seputar " Apa itu Wahabi? > http://www.nahimunkar.com/apa-itu-wahabi/ Semoga Risalah Singkat ini dapat bermanfaat bagi Umat Islam supaya Paham siapakah sebenarnya Wahabi itu, Barakallohu’ fiikum. Abu Jundulloh Muhammad Faisal, S.Pd, M.MPd حفظه الله (Aktivis Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat, Kontributor Tulisan di berbagai Situs-Situs Islam, Praktisi PAUDNI/Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal) Sumber diambil dari situs website Radio dakta 107 FM Bekasi-Jawa Barat yakni> http://www.dakta.com/2014/03/siapa-wahabi/ dengan sedikit perubahan redaksi Ucapan Terima Kasih yang mensuport Penulis dalam Dakwah Antisipasi Syiah Yakni diantaranya> Ustadzuna KH. Dr. Farid Ahmad Okbah, Lc, MA حفظه الله (Domisili di Bekasi-Jawa Barat), Ustadzuna KH. Abu Mu’adz Achmad Rofi’i bin Muhasan Amir al-Shirbuni, Lc, M.MPd حفظه الله (Domisili di Karawang-Jawa Barat), Ustadzuna Abah H. Drs. Hartono bin Ahmad Jaiz حفظه الله (Domisili di Jakarta), Ustadzuna KH. Abu Hamzah Agus Hasan Bashori, Lc, M, Ag حفظه الله (Domisili di Malang-Jawa Timur), Ustadzuna KH. Al-Habib Zain Al-Kaff حفظه الله, Ustadzuna Prof Dr. Al-Habib Muhammad Baharun, SH, MA حفظه الله (Pakar Anti Syiah dari MUI Pusat), Ustadzuna Dr. Fahmi Salim, Lc, MA حفظه الله (Pakar Anti Syiah dari MUI Pusat), Ustadzuna KH. Dr. Muhammad Yusuf Harun, Lc, MA حفظه الله (Domisili di Jakarta), Ustadzuna Anung Al-Hamat, Lc, M.Pd, I حفظه الله (Domisili di Bekasi-Jawa Barat), dllnya yang tidak bisa disebutkan, –Semoga Alloh selalu menjaga mereka-mereka dalam mengantisipasi Syiah di Nusantara.

Jumat, 30 Januari 2015

BOM ISYTIHAD

Status Hukum 'Bom Isytihad' (Menjawab Fatwa Ulama Saudi) SUMEDANG (voa-islam.com) - Bismillahirrahmaanirrahiim. Baru-baru ini Mufti Kerajaan Saudi, Syaikh Abdul Aziz Al-Syaikh, membuat pernyataan mengejutkan. Beliau secara jelas menyebut pelaku “bom bunuh diri” sebagai pelaku kejahatan berat, dosa besar, nasibnya lebih cepat masuk ke neraka. Pernyataan ini muncul untuk menanggapi pertanyaan tentang masalah itu. “Membunuh diri sendiri adalah kejahatan berat dan dosa besar. Mereka yang melakukan bunuh diri dengan cara meledakkan diri menggunakan bahan peledak (bom) adalah penjahat yang mempercepat perjalanan mereka ke neraka. Hati mereka telah menyimpang jauh dari jalan yang benar, pikiran mereka telah diserang oleh kejahatan,” kata Syaikh Al-Syaikh sebagaimana dilansir Arab News, edisi 19 Desember 2013. (Voa-islam.com, 19 Desember 2013). Jujur saja, akhir-akhir ini kita–sebagai Ahlus Sunnah-merasa resah dengan fatwa Syaikh Alu Syaikh terkait larangan bagi kaum Muslimin berjihad ke Suriah. Padahal sebelumnya, ulama Saudi, pemerintah, dan rakyatnya sepakat bulat mendukung Jihad kaum Muslimin di Suriah; untuk menumbangkan sang tiran, Basyar Assad. Dalam doa-doa Shalat Witir saat Ramadhan di Masjidil Haram, juga dalam doa-doa Qunut di masjid-masjid Saudi, mereka mendoakan kemenangan bagi Mujahidin di Suriah. Tiba-tiba kini Sang Mufti melontarkan fatwa yang berlawanan. Ada apa ini? Besar kemungkinan, Syaikh Al-Syaikh mendapat tekanan besar dari pemerintah Kerajaan Saudi; khususnya setelah Saudi mendukung pembantaian ribuan kaum Muslimin di Mesir, demi membela Sekularisme, Militerisme, Liberalisme di Mesir, dan mendukung Zionisme di Israel. Sejak Tragedi Rabi’ah Al Adawiyah, 14 Agustus 2013, tangan Raja Abdullah dan jubah-jubah Kerajaan Saudi berlumuran darah kaum Mukminin; darah-darah ini telah membanjir ke bumi, memanas dan bergolak, menuntut tanggung-jawab pemerintah Saudi, “Bi aiyi dzanbin qutilna” (atas dosa apa kami dibunuh?). Tragedi Rabi’ah Al Adawiyah seperti sebuah pertanda tentang saat-saat terakhir era kekuasaan Dinasti Saud di Najd dan Hijaz. Mungkin, akibat tekanan psikologis politik ini, pihak Kerajaan Saudi lalu menekan Sang Mufti. Kalau kita cermati, rata-rata pernyataan kontroversial Syaikh Alu Syaikh, mewakili dirinya sendiri. Bukan mewakili Dewan Ulama Saudi (Hai’ah Kibaril Ulama) atau Komisi Fatwa Kerajaan Saudi (Lajnah Daimah). Seolah, Syaikh Alu Syaikh –semoga Allah menolongnya atas segala kepelikan situasi yang melanda- membiarkan dirinya menjadi sasaran caci-maki atau celaan dari berbagai pihak; tapi di sisi lain, beliau ingin melindungi bangunan Dakwah Salafiyah di Saudi agar tidak dibombardir oleh tangan-tangan Kerajaan yang sudah berlumuran darah kaum Mukminin, akibat mendukung Sekularisme dan Zionisme yang menindas Umat. Hal serupa ini pernah menimpa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (namanya Abdul Aziz, sama dengan nama Grand Mufti sekarang; juga sama dengan nama pendiri Kerajaan Saudi periode ke-3). Beliau pernah membuat heboh dengan keluarnya fatwa, boleh berdamai dengan Yahudi; dengan alasan Nabi Saw juga pernah berdamai dengan Yahudi. Padahal konteksnya kini, Israel adalah perampas tanah kaum Muslimin; sedangkan di masa Nabi Saw, baik pihak Muslim maupun Yahudi punya kedudukan setara. Berdamai dengan perampas tentu berbeda dengan berdamai dengan kaum yang berdaulat penuh. Berdamai dengan perampas, sama saja dengan mengakui hasil-hasil perampasannya. Banyak orang menduga, saat itu Syaikh Bin Baz rahimahullah juga ditekan pihak Kerajaan untuk mengeluarkan fatwa yang aneh. Meminjam istilah Buya Muhammad Natsir rahimahullah, ketika seseorang tenggelam di sungai, dia berusaha mencari pegangan, sekali pun itu adalah ibu jari kakinya sendiri. Saat manusia sudah panik, karena takut kehilangan kekuasaan, maka tindakan apapun akan dia lakukan; termasuk dengan menekan ulama yang istiqamah. Secara pribadi, kami meyakini dan mendoakan, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh tetap di atas garis lurus. Di antara ulama-ulama Saudi, beliau termasuk dekat dengan kalangan gerakan Islam. Hanya saja saat ini beliau sedang dihadapkan kepada pilihan pelik: Bicara kebenaran atau dakwah Salafiyah diberangus Kerajaan? Wallahu a’lam bisshawaab. Terkait isu “bom manusia”, sejak lama kami berada dalam kebimbangan besar. Siapa yang benar di antara dua pendapat: pihak pendukung atau penentang? Bertahun-tahun lamanya kami tidak menemukan pendapat yang mantap. Alhamdulillah setelah melalui proses telaah yang cukup lama, kini kami merasa mendapati butiran-butiran pendapat yang lebih kuat. Pada awalnya kami cenderung setuju dengan pendapat kalangan Salafi yang menolak aksi “bom manusia”. Kami sudah membaca pendapat Syaikh Al Qaradhawi, Syaikh Salman Audah, juga Syaikh Sulaiman Al Ulwan; tetapi masih sulit mendapatkan keyakinan. Tetapi di sisi lain, untuk menetapkan aksi para Mujahidin itu sebagai “bom bunuh diri”, kami juga tidak berani. Rasanya sangat jauh membayangkan para Mujahidin melakukan perbuatan bunuh diri. Kami hanya berharap kepada Allah, agar para pemuda Islam pelaku aksi itu diterima amal-amalnya di sisi Allah. Kami berharap, mereka diberikan keutamaan mati syahid. Amin Allahumma amin. Kalau pun pendapat seputar “bom manusia” itu salah, semoga ia dianggap sebagai kesalahan ijtihad, bukan karena maksiyat atau kesesatan. Bukankah kesalahan ijtihad tetap diberi satu pahala? Rasanya sangat tidak tega menyebut para pemuda Islam itu mati konyol, mati celaka, masuk neraka. Kita saja kalau diseru untuk terjun berjihad membela Umat, belum tentu berani. Adilkah lisan kita ketika begitu berani memvonis para pemuda Mujahid itu mati konyol, sementara kita tak punya sumbangan apa-apa untuk membela Umat yang tertindas. Selanjutnya, mari kita bicara tentang status hukum “bom manusia” ini. Bismillah bi nashrillah, laa haula wa laa quwwata illa billah. [1]. Istilah aksi ini bermacam-macam. Ada yang menyebut “bom bunuh diri”, “bom martir”, “bom isytihad”, “bom manusia”, dan sebagainya. Pihak yang anti menyebutnya “bom bunuh diri”, ditambahi keterangan: mati konyol, orang celaka, kekal di neraka. Pihak yang pro menyebutnya “bom isytihad” (bom untuk mencari syahid). Kami lebih suka menyebutnya “bom manusia” (human bomb), supaya netral, tidak masuk dalam vonis/klaim. [2]. “Bom manusia” pertama kali dikenalkan dalam lingkup perjuangan Islam, oleh aktivis gerakan Hamas di Palestina. Mereka menyerang sasaran sipil Israel, misalnya di bis atau di kerumunan massa, dengan aksi “bom manusia”. Israel terus-terang merasa sangat takut dengan aksi ini, karena sifatnya tidak terduga tetapi mematikan. Tidak aneh jika setelah itu Israel berusaha mempercepat proses pengakuan otoritas Palestina dengan wilayah Tepi Barat dan Jalur Ghaza. Aksi bom ini meskipun jumlah korban yang berjatuhan dari kalangan Yahudi Israel tidak banyak, tapi telah menimbulkan “efek ketakutan” luar biasa di publik Israel. Seperti dimaklumi, kaum Yahudi adalah jenis entitas manusia yang paling penakut dengan kematian. Seandainya mungkin, mereka ingin hidup seribu tahun; lau yu’ammaru alfa sanatin (Al Baqarah: 96). [3]. Dalam praktiknya, aksi “bom manusia” kadang dilakukan dengan memakai rompi yang berisi bom, lalu meledakkannya ketika berada di tengah musuh; atau membawa bom dalam tas, kemudian diledakkan dari jarak dekat; atau membawa mobil dengan diberi muatan banyak bahan peledak, lalu mobil ditabrakkan ke sasaran musuh sehingga terjadi ledakan besar. Kadang peledakan dilakukan dari jauh menggunakan remote control; peran pelaku hanya sekedar membawa bom saja. Aksi-aksi demikian berisiko terjadinya kematian bagi pembawa bom. [4]. Sejak awal munculnya, “bom manusia” telah menimbulkan polemik (ikhtilaf). Ada pendapat pro dan kontra. Dr. Yusuf Al Qaradhawi termasuk yang paling gigih membela “bom isytihad” ini. Ulama muda Saudi, seperti Syaikh Salman Al Audah dan Syaikh Sulaiman Nashir Al Ulwan, juga mendukung aksi ini. Sementara kalangan Salafi rata-rata menolak; mereka menyebut aksi itu sebagai “bom bunuh diri”, pelakunya mati sia-sia, mati konyol, masuk neraka. Syaikh Al Albani rahimahullah berpendapat agak netral. Kata beliau, aksi berani mati bisa saja dilakukan dalam peperangan, jika hal itu diperintahkan oleh komandan perang. Lalu beliau mencontohkan tindakan tentara Sudan ketika sebagian pengendara tank nekad masuk ke rawa-rawa, dengan risiko mati tenggelam, untuk membuat jembatan penyeberangan bagi pasukan di belakangnya. Tindakan “pasti mati” semacam itu boleh, asalkan atas persetujuan komandan perang. [5]. Kami mengingatkan kepada kaum Muslimin (juga diri kami sendiri) agar menjaga lisan dan tulisannya. Hendaknya kita jangan sembarangan menuduh para Mujahid Islam yang sedang berjuang membela Umat di medan-medan Jihad sebagai: bunuh diri, mati konyol, mati celaka, masuk neraka. Mereka melakukan itu semua karena ingin membela Umat dan meninggikan kehormatan Islam. Sebaliknya, kaum pencela tidak bisa berbuat apa-apa, selain hanya mencela. Jika kita merasa memiliki pendapat yang shahih dan kuat, serta punya strategi yang hebat dalam Jihad, silakan buktikan pendapat itu dalam peperangan sesungguhnya di medan perang. Jika tidak berani berjihad, takut menghadapi kematian karena banyak dosa (akibat kebiasaan mencela dan menghina sesama Muslim); maka banyak-banyaklah berdoa dan bertaubat. Doakan saudaramu yang berjihad, agar mendapat pertolongan dan kemenangan dari sisi Allah. Bertaubatlah dari kebiasaan menyakiti para pejuang Islam di medan perang. Jangan sampai kita terkena penyakit kaum munafik; gemar menyakiti hati orang-orang beriman yang berjuang di medan perang. Bukankah kelakukan golongan Abdullah bin Ubay seperti itu? (At Taubah: 47). [6]. Secara umum, perbuatan bunuh diri, dilarang dalam Islam. Dalilnya bukan “Wa laa tulquu bi aidikum ilat tahlukah” (jangan menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan). Tapi dalilnya adalah ini: “Wa laa taqtuluu anfusakum, innallaha kaana bikum rahiman” (janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, karena sesungguhnya Allah sangat penyayang kepada kalian; An Nisaa’: 29). Inilah dalil umum larangan melakukan tindakan bunuh diri. Dalil ini masih diperkuat dengan riwayat-riwayat seputar larangan dari Nabi Saw terhadap perbuatan bunuh diri. [7]. Mula-mula harus dipahami hakikat amalan dalam Islam. Hakikat amalan dalam Islam dijelaskan dalam hadits populer dari Umar bin Khattab Ra, bahwa amalan itu tergantung niatnya. “Innamal a’malu bin niyat, wa li kulli imri’in ma nawa” (setiap amal tergantung niatnya, dan setiap orang akan diberi pahala sesuai niatnya). Niat pelaku “bom manusia” adalah menyerang musuh yang merugikan Umat; sedangkan niat pelaku bunuh diri normal adalah mengakhiri keputus-asaan. Mungkin akibatnya sama, sama-sama kematian, tapi niatnya berbeda. Sama seperti orang yang tidak makan-minum seharian karena tidak ada makanan-minuman yang bisa dikonsumsi; dengan orang yang niat berpuasa sejak terbit fajar. Sama-sama tidak makan-minum, tapi beda niatnya. Unsur niat di balik amalan sangat besar artinya. [8]. Faktor kematian dalam aksi “bom manusia” adalah AKIBAT dari suatu tujuan (menyerang lawan). Sedangkan dalam tindakan bunuh diri, faktor kematian merupakan TUJUAN aksi seseorang, untuk mengakhiri penderitaannya. Tujuan utama seorang Mujahid adalah menyerang lawan, risiko tindakannya kematian. Kalimat yang mesti dikatakan bukan: “Dia telah bunuh diri dengan bom, lalu menimbulkan kerugian pada musuh demikian-demikian.” Yang tepat dikatakan: “Dia telah menyerang musuh sehingga menimbulkan kerugian demikian-demikian, sebagai akibatnya dia meninggal dalam serangan itu.” Kalimat yang terakhir ini lebih tepat untuk menyebut aksi-aksi para pejuang Islam. Disini terdapat perbedaan tipis, tapi kita harus tetap menjaga perbedaan itu, agar tampak berbeda angtara kematian bunuh diri dengan kematian dalam Jihad. [9]. Hukum yang berlaku dalam peperangan berbeda dengan hukum yang berlaku dalam kondisi normal. Hukum perang mengikuti situasi darurat (kontingensial). Hal-hal yang berlaku dalam hukum perang, tidak boleh serta-merta diterapkan dalam kondisi normal, karena realitasnya berbeda. Contoh, dalam kondisi normal, kita dilarang melakukan tipu-daya. Tapi dalam perang Nabi Saw justru berkata: “Al harbu khud’ah” (perang itu isinya tipu daya). Dalam kondisi normal kita tidak boleh berbohong, tapi saat perang kita justru boleh berbohong kepada lawan (musuh). Dalam kondisi normal, kita dilarang membunuh manusia; tapi dalam perang, justru diperbolehkan sebanyak-banyaknya membinasakan lawan (musuh). Dalam kondisi normal, kita tidak boleh memata-matai sesama Muslim, juga tak boleh tajassus (mencari-cari kesalahan) mereka. Tapi dalam perang, kita justru dianjurkan melakukan kegiatan mata-mata dan intelijen kepada lawan. [10]. Tujuan utama dalam perang adalah menekan lawan, melemahkan mereka, membuat mereka takut, menghentikan kezhaliman musuh, atau mengusir mereka kembali ke negaranya. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan apa saja yang memungkinkan, sesuai pertimbangan Syariat dan teori kemiliteran. Jika untuk tujuan tersebut dibutuhkan martir (pejuang berani mati), ya harus dilakukan. Nabi Saw pernah memerintahkan Ali bin Abi Thalib Ra memimpin pasukan untuk menyerang Benteng Khaibar. Benteng itu dijaga ketat, sulit ditembus, setiap pejuang yang mendekati pintu segera diserang anak panah Yahudi. Risiko serangan ini adalah kematian, tapi itu tetap dilakukan, demi tujuan Jihad. Dalam Jihad para Salaf sering dijumpai serangan-serangan berani mati dengan cara menerobos barisan lawan sampai menimbulkan kerugian besar ke tengah mereka; dan menimbulkan rasa takut yang melemahkan mental lawan. [11]. Pelaksanaan “bom manusia” dalam perang adalah bagian dari strategi perang yang diperintahkan oleh komandan perang. Ia bukan inisiatif pejuang Islam sendiri, tetapi dilakukan atas dasar komando (instruksi). Prinsip semacam ini lazim berlaku dalam seluruh strategi kemiliteran, dikenal sebagai “martyr attack” (serangan berani mati). Kadang seorang jenderal komandan perang, memerintahkan sebagian anak buahnya untuk melakukan aksi berani mati, demi mencapai satu tujuan. Bentuknya tidak mesti “bom manusia”, tapi risikonya kematian bagi pelakunya. Misalnya, seorang prajurit diperintahkan meruntuhkan sebuah jembatan dengan menanam bom; atau prajurit diperintahkan masuk ke gudang senjata lalu meledakkannya; atau prajurit diperintahkan terjun ke tengah markas musuh, lalu melakukan serangan; dan lain-lain. Risikonya adalah kematian, tetapi tujuannya untuk mencapai kemenangan. Tanggung-jawab serangan ada di pihak komandan, bukan di pelaku serangan berani mati, karena dia hanya melaksanakan perintah saja. Sementara sang komandan bertanggung-jawab atas berhasil tidaknya operasi militer itu dan seberapa besar pengorbanan yang diminta untuk mensukseskan suatu operasi. Pihak pelaku “bom manusia” tidak bisa disalahkan, karena mereka hanya pelaku saja; sedangkan komandan pemberi perintah juga tak bisa disalahkan karena dia memutuskan operasi sesuai kebutuhan perang; kondisi ini tidak bisa disalahkan karena berada dalam lingkup situasi dan hukum perang. [12]. Dalam Jihad Sultan Shalahuddin Al Ayyubi, komandan perang pernah mengutus seorang kurir untuk menyampaikan surat kepada Sultan. Kurir ini harus menembus lautan yang dijaga ketat oleh kapal-kapal musuh. Caranya dia harus berenang dan menyelam melintasi kepungan musuh. Surat diikatkan ke tubuhnya. Ketika dilaksanakan upaya ini, sang kurir akhirnya mati di laut, lalu mayatnya terdampar di pantai yang dikuasai Sultan. Surat sampai ke tangan Sultan, sementara sang kurir telah meninggal. Kurir itu dijuluki “al-amin”, karena dia telah menunaikan amanat selama hidupnya, dan setelah wafatnya. Begitu juga, Sultan Muhammad Al Fatih ketika berusaha menembus Benteng Konstantinopel, beliau pernah memerintahkan pasukannya membuat terowongan-terowongan untuk menembus benteng. Mula-mula strategi ini berhasil, tetapi kemudian musuh mengetahui cara demikian; mereka menyiramkan minyak panas ke terowongan sehingga menimbulkan banyak kematian bagi prajurit Islam. [13]. Sebenarnya, aksi “bom manusia” ini tidak perlu dilakukan, jika Jihad Fi Sabilillah kaum Muslimin selama ini didukung oleh pasukan negara-negara Muslim. Nyatanya, sejak era Jihad Syaikh Abdullah Azzam pada tahun 80-an, tidak ada satu pun tentara reguler negara-negara Muslim terjun melaksanakan Jihad. Rata-rata Jihad dilakukan oleh “mujahidin individu” dari kalangan aktivis Islam atau kader-kader dakwah. Seharusnya tentara negara Muslimin terlibat dalam perang, membela kaum Muslimin di Mesir, Afghanistan, Palestina, Suriah, Chechnya, Bosnia, Pakistan, Yaman, Libya, dan sebagainya. Mereka datang dengan kekuatan reguler, dengan persenjataan organik, dengan strategi standar. Maka jika pasukan reguler ini (terutama dari Saudi yang sering mencela pelaku “bom manusia”) belum pernah terlibat dalam perang mendukung Umat; mereka lebih patut disalahkan dan diharuskan bertanggung-jawab atas setiap masalah kemiliteran yang ada. Pemimpin-pemimpin yang tidak mau mengerahkan pasukannya untuk membela Umat, mereka bertanggung-jawab penuh atas ketidak-berdayaan kaum Muslimin dalam peperangan melawan musuhnya. [14]. Hakikat “bom manusia” semata-mata hanya sebagai “kendaraan” atau “transportasi” untuk menghantarkan bom ke sasaran musuh. Ketika kaum Muslimin tidak memiliki sarana senjata, meriam, tank, rudal, atau apapun yang bisa menghajar sasaran lawan secara telak dan tepat; maka strategi “bom manusia” dibutuhkan untuk melakukan serangan. Jika Umat Islam memiliki sarana-sarana senjata canggih, tidak perlu lagi ada “bom manusia”. Aksi bom itu semata-mata karena kedaruratan belaka. Itu pun hanya berlaku di medan perang (konflik militer) saja. Jika Mujahidin Islam memiliki sejenis Scud, Tomahawk, Apache, F16, Sukhoy, dan sejenisnya maka tak dibutuhkan lagi “bom manusia”. Jika Mujahidin bisa menyerang lawan dengan rudal dari jarak jauh, mengapa harus membawa bom ke tengah sasaran musuh? Demikianlah, dapat disimpulkan bahwa serangan “bom manusia” adalah tindakan yang diperbolehkan dalam perang, sebagai bagian dari strategi militer. Bom ini dibutuhkan ketika para pejuang Islam tidak memiliki sarana persenjataan yang memadai untuk menyerang lawan. Hakikat “bom manusia” bukanlah tindakan bunuh diri, tapi sebuah serangan militer. Kematian yang terjadi adalah RISIKO dari sebuah serangan berani mati; bukan sebagai tujuan. Jika Allah menghendaki, bisa saja pelaku serangan “bom manusia” tidak sampai meninggal, meskipun bom tetap meledak. Aksi “bom manusia” ini tampaknya akan terus terjadi, sebagai tindakan paling darurat, untuk membela Umat Islam yang ditindas musuh. Tidak ada yang bisa mencegah aksi-aksi demikian, selagi prajurit militer dari negeri-negeri Muslim (misalnya Saudi, Indonesia, Mesir, dan sebagainya) tidak pernah diturunkan ke medan perang untuk berjihad membela Umat. Kewajiban bagi Umat ini, minimal mendoakan para Mujahidin dalam perjuangan mereka; dan menjaga lisan agar tidak menyakiti saudara-saudaranya yang sedang berjihad. Siapa yang senang mencela dan memvonis buruk, dia harus membuktikan dirinya lebih berani membela Umat di medan perang. Semoga risalah sederhana ini bermanfaat. Allahummanshur lil Mujahidina fi kulli makan wa fi kulli zaman; khushushan fi Suriah. Amin Allahumma amin. Wa shallallah ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in. *AM.Waskito Sumedang, 26 Desember 2013. http://m.voa-islam.com/…/status-hukum-bom-isytihad-menjawa…/ ••• Status Hukum 'Bom Isytihad' (Menjawab Fatwa Ulama Saudi) SUMEDANG (voa-islam.com) - Bismillahirrahmaanirrahiim. Baru-baru ini Mufti Kerajaan Saudi, Syaikh Abdul Aziz Al-Syaikh, membuat pernyataan mengejutkan. Beliau secara jelas menyebut pelaku “bom bunuh diri” sebagai pelaku kejahatan berat, dosa besar, nasibnya lebih cepat masuk ke neraka. Pernyataan ini muncul untuk menanggapi pertanyaan tentang masalah itu. “Membunuh diri sendiri adalah kejahatan berat dan dosa besar. Mereka yang melakukan bunuh diri dengan cara meledakkan diri menggunakan bahan peledak (bom) adalah penjahat yang mempercepat perjalanan mereka ke neraka. Hati mereka telah menyimpang jauh dari jalan yang benar, pikiran mereka telah diserang oleh kejahatan,” kata Syaikh Al-Syaikh sebagaimana dilansir Arab News, edisi 19 Desember 2013. (Voa-islam.com, 19 Desember 2013). Jujur saja, akhir-akhir ini kita–sebagai Ahlus Sunnah-merasa resah dengan fatwa Syaikh Alu Syaikh terkait larangan bagi kaum Muslimin berjihad ke Suriah. Padahal sebelumnya, ulama Saudi, pemerintah, dan rakyatnya sepakat bulat mendukung Jihad kaum Muslimin di Suriah; untuk menumbangkan sang tiran, Basyar Assad. Dalam doa-doa Shalat Witir saat Ramadhan di Masjidil Haram, juga dalam doa-doa Qunut di masjid-masjid Saudi, mereka mendoakan kemenangan bagi Mujahidin di Suriah. Tiba-tiba kini Sang Mufti melontarkan fatwa yang berlawanan. Ada apa ini? Besar kemungkinan, Syaikh Al-Syaikh mendapat tekanan besar dari pemerintah Kerajaan Saudi; khususnya setelah Saudi mendukung pembantaian ribuan kaum Muslimin di Mesir, demi membela Sekularisme, Militerisme, Liberalisme di Mesir, dan mendukung Zionisme di Israel. Sejak Tragedi Rabi’ah Al Adawiyah, 14 Agustus 2013, tangan Raja Abdullah dan jubah-jubah Kerajaan Saudi berlumuran darah kaum Mukminin; darah-darah ini telah membanjir ke bumi, memanas dan bergolak, menuntut tanggung-jawab pemerintah Saudi, “Bi aiyi dzanbin qutilna” (atas dosa apa kami dibunuh?). Tragedi Rabi’ah Al Adawiyah seperti sebuah pertanda tentang saat-saat terakhir era kekuasaan Dinasti Saud di Najd dan Hijaz. Mungkin, akibat tekanan psikologis politik ini, pihak Kerajaan Saudi lalu menekan Sang Mufti. Kalau kita cermati, rata-rata pernyataan kontroversial Syaikh Alu Syaikh, mewakili dirinya sendiri. Bukan mewakili Dewan Ulama Saudi (Hai’ah Kibaril Ulama) atau Komisi Fatwa Kerajaan Saudi (Lajnah Daimah). Seolah, Syaikh Alu Syaikh –semoga Allah menolongnya atas segala kepelikan situasi yang melanda- membiarkan dirinya menjadi sasaran caci-maki atau celaan dari berbagai pihak; tapi di sisi lain, beliau ingin melindungi bangunan Dakwah Salafiyah di Saudi agar tidak dibombardir oleh tangan-tangan Kerajaan yang sudah berlumuran darah kaum Mukminin, akibat mendukung Sekularisme dan Zionisme yang menindas Umat. Hal serupa ini pernah menimpa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (namanya Abdul Aziz, sama dengan nama Grand Mufti sekarang; juga sama dengan nama pendiri Kerajaan Saudi periode ke-3). Beliau pernah membuat heboh dengan keluarnya fatwa, boleh berdamai dengan Yahudi; dengan alasan Nabi Saw juga pernah berdamai dengan Yahudi. Padahal konteksnya kini, Israel adalah perampas tanah kaum Muslimin; sedangkan di masa Nabi Saw, baik pihak Muslim maupun Yahudi punya kedudukan setara. Berdamai dengan perampas tentu berbeda dengan berdamai dengan kaum yang berdaulat penuh. Berdamai dengan perampas, sama saja dengan mengakui hasil-hasil perampasannya. Banyak orang menduga, saat itu Syaikh Bin Baz rahimahullah juga ditekan pihak Kerajaan untuk mengeluarkan fatwa yang aneh. Meminjam istilah Buya Muhammad Natsir rahimahullah, ketika seseorang tenggelam di sungai, dia berusaha mencari pegangan, sekali pun itu adalah ibu jari kakinya sendiri. Saat manusia sudah panik, karena takut kehilangan kekuasaan, maka tindakan apapun akan dia lakukan; termasuk dengan menekan ulama yang istiqamah. Secara pribadi, kami meyakini dan mendoakan, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh tetap di atas garis lurus. Di antara ulama-ulama Saudi, beliau termasuk dekat dengan kalangan gerakan Islam. Hanya saja saat ini beliau sedang dihadapkan kepada pilihan pelik: Bicara kebenaran atau dakwah Salafiyah diberangus Kerajaan? Wallahu a’lam bisshawaab. Terkait isu “bom manusia”, sejak lama kami berada dalam kebimbangan besar. Siapa yang benar di antara dua pendapat: pihak pendukung atau penentang? Bertahun-tahun lamanya kami tidak menemukan pendapat yang mantap. Alhamdulillah setelah melalui proses telaah yang cukup lama, kini kami merasa mendapati butiran-butiran pendapat yang lebih kuat. Pada awalnya kami cenderung setuju dengan pendapat kalangan Salafi yang menolak aksi “bom manusia”. Kami sudah membaca pendapat Syaikh Al Qaradhawi, Syaikh Salman Audah, juga Syaikh Sulaiman Al Ulwan; tetapi masih sulit mendapatkan keyakinan. Tetapi di sisi lain, untuk menetapkan aksi para Mujahidin itu sebagai “bom bunuh diri”, kami juga tidak berani. Rasanya sangat jauh membayangkan para Mujahidin melakukan perbuatan bunuh diri. Kami hanya berharap kepada Allah, agar para pemuda Islam pelaku aksi itu diterima amal-amalnya di sisi Allah. Kami berharap, mereka diberikan keutamaan mati syahid. Amin Allahumma amin. Kalau pun pendapat seputar “bom manusia” itu salah, semoga ia dianggap sebagai kesalahan ijtihad, bukan karena maksiyat atau kesesatan. Bukankah kesalahan ijtihad tetap diberi satu pahala? Rasanya sangat tidak tega menyebut para pemuda Islam itu mati konyol, mati celaka, masuk neraka. Kita saja kalau diseru untuk terjun berjihad membela Umat, belum tentu berani. Adilkah lisan kita ketika begitu berani memvonis para pemuda Mujahid itu mati konyol, sementara kita tak punya sumbangan apa-apa untuk membela Umat yang tertindas. Selanjutnya, mari kita bicara tentang status hukum “bom manusia” ini. Bismillah bi nashrillah, laa haula wa laa quwwata illa billah. [1]. Istilah aksi ini bermacam-macam. Ada yang menyebut “bom bunuh diri”, “bom martir”, “bom isytihad”, “bom manusia”, dan sebagainya. Pihak yang anti menyebutnya “bom bunuh diri”, ditambahi keterangan: mati konyol, orang celaka, kekal di neraka. Pihak yang pro menyebutnya “bom isytihad” (bom untuk mencari syahid). Kami lebih suka menyebutnya “bom manusia” (human bomb), supaya netral, tidak masuk dalam vonis/klaim. [2]. “Bom manusia” pertama kali dikenalkan dalam lingkup perjuangan Islam, oleh aktivis gerakan Hamas di Palestina. Mereka menyerang sasaran sipil Israel, misalnya di bis atau di kerumunan massa, dengan aksi “bom manusia”. Israel terus-terang merasa sangat takut dengan aksi ini, karena sifatnya tidak terduga tetapi mematikan. Tidak aneh jika setelah itu Israel berusaha mempercepat proses pengakuan otoritas Palestina dengan wilayah Tepi Barat dan Jalur Ghaza. Aksi bom ini meskipun jumlah korban yang berjatuhan dari kalangan Yahudi Israel tidak banyak, tapi telah menimbulkan “efek ketakutan” luar biasa di publik Israel. Seperti dimaklumi, kaum Yahudi adalah jenis entitas manusia yang paling penakut dengan kematian. Seandainya mungkin, mereka ingin hidup seribu tahun; lau yu’ammaru alfa sanatin (Al Baqarah: 96). [3]. Dalam praktiknya, aksi “bom manusia” kadang dilakukan dengan memakai rompi yang berisi bom, lalu meledakkannya ketika berada di tengah musuh; atau membawa bom dalam tas, kemudian diledakkan dari jarak dekat; atau membawa mobil dengan diberi muatan banyak bahan peledak, lalu mobil ditabrakkan ke sasaran musuh sehingga terjadi ledakan besar. Kadang peledakan dilakukan dari jauh menggunakan remote control; peran pelaku hanya sekedar membawa bom saja. Aksi-aksi demikian berisiko terjadinya kematian bagi pembawa bom. [4]. Sejak awal munculnya, “bom manusia” telah menimbulkan polemik (ikhtilaf). Ada pendapat pro dan kontra. Dr. Yusuf Al Qaradhawi termasuk yang paling gigih membela “bom isytihad” ini. Ulama muda Saudi, seperti Syaikh Salman Al Audah dan Syaikh Sulaiman Nashir Al Ulwan, juga mendukung aksi ini. Sementara kalangan Salafi rata-rata menolak; mereka menyebut aksi itu sebagai “bom bunuh diri”, pelakunya mati sia-sia, mati konyol, masuk neraka. Syaikh Al Albani rahimahullah berpendapat agak netral. Kata beliau, aksi berani mati bisa saja dilakukan dalam peperangan, jika hal itu diperintahkan oleh komandan perang. Lalu beliau mencontohkan tindakan tentara Sudan ketika sebagian pengendara tank nekad masuk ke rawa-rawa, dengan risiko mati tenggelam, untuk membuat jembatan penyeberangan bagi pasukan di belakangnya. Tindakan “pasti mati” semacam itu boleh, asalkan atas persetujuan komandan perang. [5]. Kami mengingatkan kepada kaum Muslimin (juga diri kami sendiri) agar menjaga lisan dan tulisannya. Hendaknya kita jangan sembarangan menuduh para Mujahid Islam yang sedang berjuang membela Umat di medan-medan Jihad sebagai: bunuh diri, mati konyol, mati celaka, masuk neraka. Mereka melakukan itu semua karena ingin membela Umat dan meninggikan kehormatan Islam. Sebaliknya, kaum pencela tidak bisa berbuat apa-apa, selain hanya mencela. Jika kita merasa memiliki pendapat yang shahih dan kuat, serta punya strategi yang hebat dalam Jihad, silakan buktikan pendapat itu dalam peperangan sesungguhnya di medan perang. Jika tidak berani berjihad, takut menghadapi kematian karena banyak dosa (akibat kebiasaan mencela dan menghina sesama Muslim); maka banyak-banyaklah berdoa dan bertaubat. Doakan saudaramu yang berjihad, agar mendapat pertolongan dan kemenangan dari sisi Allah. Bertaubatlah dari kebiasaan menyakiti para pejuang Islam di medan perang. Jangan sampai kita terkena penyakit kaum munafik; gemar menyakiti hati orang-orang beriman yang berjuang di medan perang. Bukankah kelakukan golongan Abdullah bin Ubay seperti itu? (At Taubah: 47). [6]. Secara umum, perbuatan bunuh diri, dilarang dalam Islam. Dalilnya bukan “Wa laa tulquu bi aidikum ilat tahlukah” (jangan menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan). Tapi dalilnya adalah ini: “Wa laa taqtuluu anfusakum, innallaha kaana bikum rahiman” (janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, karena sesungguhnya Allah sangat penyayang kepada kalian; An Nisaa’: 29). Inilah dalil umum larangan melakukan tindakan bunuh diri. Dalil ini masih diperkuat dengan riwayat-riwayat seputar larangan dari Nabi Saw terhadap perbuatan bunuh diri. [7]. Mula-mula harus dipahami hakikat amalan dalam Islam. Hakikat amalan dalam Islam dijelaskan dalam hadits populer dari Umar bin Khattab Ra, bahwa amalan itu tergantung niatnya. “Innamal a’malu bin niyat, wa li kulli imri’in ma nawa” (setiap amal tergantung niatnya, dan setiap orang akan diberi pahala sesuai niatnya). Niat pelaku “bom manusia” adalah menyerang musuh yang merugikan Umat; sedangkan niat pelaku bunuh diri normal adalah mengakhiri keputus-asaan. Mungkin akibatnya sama, sama-sama kematian, tapi niatnya berbeda. Sama seperti orang yang tidak makan-minum seharian karena tidak ada makanan-minuman yang bisa dikonsumsi; dengan orang yang niat berpuasa sejak terbit fajar. Sama-sama tidak makan-minum, tapi beda niatnya. Unsur niat di balik amalan sangat besar artinya. [8]. Faktor kematian dalam aksi “bom manusia” adalah AKIBAT dari suatu tujuan (menyerang lawan). Sedangkan dalam tindakan bunuh diri, faktor kematian merupakan TUJUAN aksi seseorang, untuk mengakhiri penderitaannya. Tujuan utama seorang Mujahid adalah menyerang lawan, risiko tindakannya kematian. Kalimat yang mesti dikatakan bukan: “Dia telah bunuh diri dengan bom, lalu menimbulkan kerugian pada musuh demikian-demikian.” Yang tepat dikatakan: “Dia telah menyerang musuh sehingga menimbulkan kerugian demikian-demikian, sebagai akibatnya dia meninggal dalam serangan itu.” Kalimat yang terakhir ini lebih tepat untuk menyebut aksi-aksi para pejuang Islam. Disini terdapat perbedaan tipis, tapi kita harus tetap menjaga perbedaan itu, agar tampak berbeda angtara kematian bunuh diri dengan kematian dalam Jihad. [9]. Hukum yang berlaku dalam peperangan berbeda dengan hukum yang berlaku dalam kondisi normal. Hukum perang mengikuti situasi darurat (kontingensial). Hal-hal yang berlaku dalam hukum perang, tidak boleh serta-merta diterapkan dalam kondisi normal, karena realitasnya berbeda. Contoh, dalam kondisi normal, kita dilarang melakukan tipu-daya. Tapi dalam perang Nabi Saw justru berkata: “Al harbu khud’ah” (perang itu isinya tipu daya). Dalam kondisi normal kita tidak boleh berbohong, tapi saat perang kita justru boleh berbohong kepada lawan (musuh). Dalam kondisi normal, kita dilarang membunuh manusia; tapi dalam perang, justru diperbolehkan sebanyak-banyaknya membinasakan lawan (musuh). Dalam kondisi normal, kita tidak boleh memata-matai sesama Muslim, juga tak boleh tajassus (mencari-cari kesalahan) mereka. Tapi dalam perang, kita justru dianjurkan melakukan kegiatan mata-mata dan intelijen kepada lawan. [10]. Tujuan utama dalam perang adalah menekan lawan, melemahkan mereka, membuat mereka takut, menghentikan kezhaliman musuh, atau mengusir mereka kembali ke negaranya. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan apa saja yang memungkinkan, sesuai pertimbangan Syariat dan teori kemiliteran. Jika untuk tujuan tersebut dibutuhkan martir (pejuang berani mati), ya harus dilakukan. Nabi Saw pernah memerintahkan Ali bin Abi Thalib Ra memimpin pasukan untuk menyerang Benteng Khaibar. Benteng itu dijaga ketat, sulit ditembus, setiap pejuang yang mendekati pintu segera diserang anak panah Yahudi. Risiko serangan ini adalah kematian, tapi itu tetap dilakukan, demi tujuan Jihad. Dalam Jihad para Salaf sering dijumpai serangan-serangan berani mati dengan cara menerobos barisan lawan sampai menimbulkan kerugian besar ke tengah mereka; dan menimbulkan rasa takut yang melemahkan mental lawan. [11]. Pelaksanaan “bom manusia” dalam perang adalah bagian dari strategi perang yang diperintahkan oleh komandan perang. Ia bukan inisiatif pejuang Islam sendiri, tetapi dilakukan atas dasar komando (instruksi). Prinsip semacam ini lazim berlaku dalam seluruh strategi kemiliteran, dikenal sebagai “martyr attack” (serangan berani mati). Kadang seorang jenderal komandan perang, memerintahkan sebagian anak buahnya untuk melakukan aksi berani mati, demi mencapai satu tujuan. Bentuknya tidak mesti “bom manusia”, tapi risikonya kematian bagi pelakunya. Misalnya, seorang prajurit diperintahkan meruntuhkan sebuah jembatan dengan menanam bom; atau prajurit diperintahkan masuk ke gudang senjata lalu meledakkannya; atau prajurit diperintahkan terjun ke tengah markas musuh, lalu melakukan serangan; dan lain-lain. Risikonya adalah kematian, tetapi tujuannya untuk mencapai kemenangan. Tanggung-jawab serangan ada di pihak komandan, bukan di pelaku serangan berani mati, karena dia hanya melaksanakan perintah saja. Sementara sang komandan bertanggung-jawab atas berhasil tidaknya operasi militer itu dan seberapa besar pengorbanan yang diminta untuk mensukseskan suatu operasi. Pihak pelaku “bom manusia” tidak bisa disalahkan, karena mereka hanya pelaku saja; sedangkan komandan pemberi perintah juga tak bisa disalahkan karena dia memutuskan operasi sesuai kebutuhan perang; kondisi ini tidak bisa disalahkan karena berada dalam lingkup situasi dan hukum perang. [12]. Dalam Jihad Sultan Shalahuddin Al Ayyubi, komandan perang pernah mengutus seorang kurir untuk menyampaikan surat kepada Sultan. Kurir ini harus menembus lautan yang dijaga ketat oleh kapal-kapal musuh. Caranya dia harus berenang dan menyelam melintasi kepungan musuh. Surat diikatkan ke tubuhnya. Ketika dilaksanakan upaya ini, sang kurir akhirnya mati di laut, lalu mayatnya terdampar di pantai yang dikuasai Sultan. Surat sampai ke tangan Sultan, sementara sang kurir telah meninggal. Kurir itu dijuluki “al-amin”, karena dia telah menunaikan amanat selama hidupnya, dan setelah wafatnya. Begitu juga, Sultan Muhammad Al Fatih ketika berusaha menembus Benteng Konstantinopel, beliau pernah memerintahkan pasukannya membuat terowongan-terowongan untuk menembus benteng. Mula-mula strategi ini berhasil, tetapi kemudian musuh mengetahui cara demikian; mereka menyiramkan minyak panas ke terowongan sehingga menimbulkan banyak kematian bagi prajurit Islam. [13]. Sebenarnya, aksi “bom manusia” ini tidak perlu dilakukan, jika Jihad Fi Sabilillah kaum Muslimin selama ini didukung oleh pasukan negara-negara Muslim. Nyatanya, sejak era Jihad Syaikh Abdullah Azzam pada tahun 80-an, tidak ada satu pun tentara reguler negara-negara Muslim terjun melaksanakan Jihad. Rata-rata Jihad dilakukan oleh “mujahidin individu” dari kalangan aktivis Islam atau kader-kader dakwah. Seharusnya tentara negara Muslimin terlibat dalam perang, membela kaum Muslimin di Mesir, Afghanistan, Palestina, Suriah, Chechnya, Bosnia, Pakistan, Yaman, Libya, dan sebagainya. Mereka datang dengan kekuatan reguler, dengan persenjataan organik, dengan strategi standar. Maka jika pasukan reguler ini (terutama dari Saudi yang sering mencela pelaku “bom manusia”) belum pernah terlibat dalam perang mendukung Umat; mereka lebih patut disalahkan dan diharuskan bertanggung-jawab atas setiap masalah kemiliteran yang ada. Pemimpin-pemimpin yang tidak mau mengerahkan pasukannya untuk membela Umat, mereka bertanggung-jawab penuh atas ketidak-berdayaan kaum Muslimin dalam peperangan melawan musuhnya. [14]. Hakikat “bom manusia” semata-mata hanya sebagai “kendaraan” atau “transportasi” untuk menghantarkan bom ke sasaran musuh. Ketika kaum Muslimin tidak memiliki sarana senjata, meriam, tank, rudal, atau apapun yang bisa menghajar sasaran lawan secara telak dan tepat; maka strategi “bom manusia” dibutuhkan untuk melakukan serangan. Jika Umat Islam memiliki sarana-sarana senjata canggih, tidak perlu lagi ada “bom manusia”. Aksi bom itu semata-mata karena kedaruratan belaka. Itu pun hanya berlaku di medan perang (konflik militer) saja. Jika Mujahidin Islam memiliki sejenis Scud, Tomahawk, Apache, F16, Sukhoy, dan sejenisnya maka tak dibutuhkan lagi “bom manusia”. Jika Mujahidin bisa menyerang lawan dengan rudal dari jarak jauh, mengapa harus membawa bom ke tengah sasaran musuh? Demikianlah, dapat disimpulkan bahwa serangan “bom manusia” adalah tindakan yang diperbolehkan dalam perang, sebagai bagian dari strategi militer. Bom ini dibutuhkan ketika para pejuang Islam tidak memiliki sarana persenjataan yang memadai untuk menyerang lawan. Hakikat “bom manusia” bukanlah tindakan bunuh diri, tapi sebuah serangan militer. Kematian yang terjadi adalah RISIKO dari sebuah serangan berani mati; bukan sebagai tujuan. Jika Allah menghendaki, bisa saja pelaku serangan “bom manusia” tidak sampai meninggal, meskipun bom tetap meledak. Aksi “bom manusia” ini tampaknya akan terus terjadi, sebagai tindakan paling darurat, untuk membela Umat Islam yang ditindas musuh. Tidak ada yang bisa mencegah aksi-aksi demikian, selagi prajurit militer dari negeri-negeri Muslim (misalnya Saudi, Indonesia, Mesir, dan sebagainya) tidak pernah diturunkan ke medan perang untuk berjihad membela Umat. Kewajiban bagi Umat ini, minimal mendoakan para Mujahidin dalam perjuangan mereka; dan menjaga lisan agar tidak menyakiti saudara-saudaranya yang sedang berjihad. Siapa yang senang mencela dan memvonis buruk, dia harus membuktikan dirinya lebih berani membela Umat di medan perang. Semoga risalah sederhana ini bermanfaat. Allahummanshur lil Mujahidina fi kulli makan wa fi kulli zaman; khushushan fi Suriah. Amin Allahumma amin. Wa shallallah ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in. *AM.Waskito Sumedang, 26 Desember 2013. http://m.voa-islam.com/news/ulama/2013/12/26/28342/status-hukum-bom-isytihad-menjawab-fatwa-ulama-saudi/ •••