Syaikh Sulaiman bin Nashir Al-‘Ulwan
Qasim Buraidah ( hafizahullah )
Mayoritas umat Islam hari ini hidup di banyak negeri dan wilayah
dalam tumpukan kebimbangan, kerusakan akhlak, kehancuran harga diri,
kehilangan hak dan properti, kekacauan pikiran, kelemahan pro-duktifitas
dan aktifitas, keadaan lepas kontrol yang semakin mening-kat, dan
penyimpangan-penyimpangan yang begitu deras dalam aki-dah,
manhaj,
serta urusan kehidupan politik dan ekonomi. Pada saat yang sama,
tersebar seruan-seruan nasionalisme, pemikiran-pemikir-an sekulerisme,
gelombang atheisme, serta slogan-slogan sufisme dan penyembahan berhala.
Kerusakan ini tumbuh membesar dalam umat Islam. Namun, mayoritas mereka
malah sibuk dalam perkara-perkara
madharat dan tidak bermanfaat. Mereka lalai terhadap tujuan pen-ciptaan dan misi mereka dalam kehidupan ini.
Penyimpangan-penyimpangan, sesembahan-sesembahan selain Allah,
kotoran-kotoran jahiliyah yang ada di setiap tempat, tradisi-tradisi
yang menyelisihi syari’at, dan peraturan-peraturan yang me-nyimpang dari
syari’at Allah ini harus dihancurkan. Oleh karena itu, kita harus
kembali kepada Islam dengan konsepsi yang benar, yaitu berserah diri
kepada Allah dengan
tauhid ‘mengesakan’ dan tunduk kepada-Nya
dengan menjalankan ketaatan, berlepas diri dari ke-syirikan dan
pelakunya, menerapkan syari’at Allah di bumi-Nya, dan mengikhlaskan amal
hanya kepada-Nya.
Inilah asas tauhid. Tanpa tauhid, kehidupan ini tidak ada artinya. Allah
Ta’ala berfirman :
﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ﴾
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (QS Adz-Dzariyat [51] : 56)
Maksud menyembah-Ku adalah mentauhidkan-Ku.
Tauhid adalah pokok dien. Tauhid adalah kebenaran yang tidak pantas
bagi pembelanya untuk memperlunak saluran dalam melaksa-nakan hak-haknya
dan menghadapi masyarakat dengannya. Tauhid adalah aturan alam dan misi
umat Islam kepada seluruh umat manu-sia. Allah
Ta’ala berfirman :
﴿قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ
بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ
بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ
اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ﴾
“Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat
(ketetap-an) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian, bahwa
tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan
sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain
sebagai tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling, maka katakanlah,
‘Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada
Allah).’” (QS Ali Imran [3] : 64)
﴿قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا
تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا
أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا
تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا
النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ
بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ
وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَإِذَا
قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ
أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ وَأَنَّ
هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ
فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ﴾
“Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan Tuhan kalian
atas kalian, yaitu : janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
pun, berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, dan janganlah membunuh
anak-anak kalian karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepada
kalian dan kepada mereka. Dan janganlah mendekati perbuatan-perbuatan
keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan
janganlah membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh
Tuhan kalian kepada kalian agar kalian memahami(nya). Dan janganlah
mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih ber-manfaat
hingga ia dewasa. Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami
tidak memikulkan beban kepada seseorang me-lainkan sekadar
kesanggupannya. Dan apabila berkata, hendaklah kalian berlaku adil
meskipun terhadap keluargamu. Dan penuhilah janji. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian ingat. Dan bahwa (yang
Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia. Dan
janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan
itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.’” (QS Al-An’am [6] : 151-153)
﴿وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنْ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ﴾
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut’.” (QS An-Nahl [16] : 36)
Hakikat peribadatan kepada Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa
adalah menunggalkan-Nya dalam seluruh bentuk ibadah, me-mohon dengan
sungguh-sungguh kepada-Nya, takut kepada-Nya, mencintai-Nya, berharap
kepada-Nya, dan tunduk kepada-Nya. Maka, barang siapa yang mengaku
beriman kepada Allah, men-tauhidkan-Nya, mencintai-Nya, takut
kepada-Nya, dan berharap kepada-Nya namun tidak mau patuh terhadap
perintah Allah dan perintah Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam, berhukum kepada selain syari’at Allah, dan memberikan
wala’‘loyalitas’
kepada musuh-musuh Allah, Allah tidak membenarkan pengakuannya. Bahkan,
ia adalah orang yang mengikuti setan dan mentaatinya. Allah
Ta’ala berfirman :
﴿قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ﴾
“Katakanlah, ‘Jika engkau mencintai Allah, maka ikutilah aku nis-caya Allah akan mencintaimu.” (QS Ali Imran [3] : 31)
Firman Allah
“Dan jauhilah thaghut” maksudnya adalah setan. Ini menurut Umar bin Khaththab
radhiyallahu ‘anhu. Bukhari men-catatnya di dalam
‘Shahih’nya (8/251) dengan
shighah ‘bentuk’
jazm ‘mati atau sukun’ (maksudnya, dibaca berhenti atau
waqaf, pent.), sedangkan Ibnu Jarir dan yang lain me
washalkan
(membacanya terus tanpa berhenti, pent.). Ada yang mengatakan,
maksudnya adalah berhala dan segala sesuatu yang disembah selain Allah.
Dikatakan pula, maksudnya adalah selain itu.
Semua ini benar. Tidak ada kontradiksi di antara makna-makna
tersebut. Masing-masing mereka menjelaskan makna umum dengan sebagian
macamnya. Hal ini sering terjadi dalam perkataan
salaf di mana mereka menafsirkan ayat dengan sebagian bentuk tunggalnya. Mereka tidak bermaksud membatasi.
Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah menyebutkan definisi
thaghut secara komprehensif. Ia mengatakan, “
Thaghut
adalah segala sesuatu yang dilebih-lebihkan oleh seorang hamba hingga
melewati batasnya; baik sesuatu yang diibadahi, diikuti, atau ditaati.
Maka,
thaghut se-tiap kaum adalah mereka yang dimintai keputusan hukum selain Allah dan Rasul-Nya
shallallahu ‘alahi wa sallam, diibadahi
selain Allah, diikuti bukan berdasarkan petunjuk Allah, atau ditaati
dalam hal yang tidak mereka ketahui bahwa itu adalah bentuk ketaatan
kepada Allah. Para
thaghut alam ini apabila Anda
memperhatikannya dan memperhatikan kondisi orang-orang yang bersamanya,
maka Anda lihat mayoritas mereka menyimpang dari peribadatan kepada
Allah menuju peribadatan kepada
thaghut, dari berhukum kepada Allah dan kepada Rasul
shallallahu ‘alahi wa sallam menuju ber-hukum kepada
thaghut, serta dari ketaatan kepada Allah dan meng-ikuti Rasul-Nya
shallallahu ‘alahi wa sallam menuju ketaatan kepada
thaghut dan mengikutinya.”
Allah memerintahkan untuk kufur kepada
thaghut dan men-dahulukannya atas iman kepada Allah sebagaimana mendahulukan
nafyu ‘peniadaan’ atas
itsbat ‘penetapan’ dalam kalimat tauhid
la ilaha illallah. Seseorang tidak menjadi beriman kepada Allah hingga ia kufur kepada
thaghut dengan segala maknanya yang komprehensif. Allah
Ta’alaberfirman :
﴿فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدْ
اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ﴾
“Maka, barang siapa kufur kepada thaghut dan beriman kepada
Allah, sesungguhnya ia telah berpegang pada tali ikatan yang kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2] :256)
Dalam
Shahih Muslim (23) dari jalan Marwan Al-Fazary dari Abu Malik dari bapaknya berkata, “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa mengucapkan
la ilaha illallah
dan mengkufuri semua yang diibadahi selain Allah, maka darah dan
hartanya terlindungi sedangkan perhitungannya di-serahkan kepada
Allah.’”
Inilah penjelasan kalimat
ikhlash —yaitu
la ilaha illallah,
pent.— Maksud kalimat ini bukan sekadar mengucapkan. Sebab, sekadar
mengucapkan tidak akan melindungi darah dan harta; tidak pula
me-nyelamatkan diri dari siksa neraka. Masalah sebenarnya adalah
masa-lah pengamalan maksud kalimat ini, yaitu mentauhidkan Allah,
me-murnikan peribadatan hanya kepada-Nya, dan berlepas diri dari sega-la
sesuatu yang diibadahi, diikuti, atau ditaati selain Allah dan
Rasul-Nya
shallallahu ‘alahi wa sallam.
Allah menyebut dan memuji kekasih-Nya Ibrahim bahwa ia ber-lepas diri
dari kaumnya dan segala yang mereka ibadahi selain Allah. Allah
berfirman :
﴿قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ
مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَاؤا مِنْكُمْ وَمِمَّا
تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا
وَبَيْنَكُمْ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ
أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا
بِاللَّهِ وَحْدَهُ﴾
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada
Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya ketika mereka berkata kepada
kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa
yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari (kekafir-an) kalian. Telah
nyata antara kami dan kalian permusuhan dan ke-bencian buat selamanya
sampai kalian beriman kepada Allah sema-ta.’” (QS Al-Mumtahanah [60] : 4)
﴿وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَأَدْعُو رَبِّي
عَسَى أَلَّا أَكُونَ بِدُعَاءِ رَبِّي شَقِيًّا فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ
وَمَا يَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ
وَيَعْقُوبَ وَكُلًّا جَعَلْنَا نَبِيًّا﴾
“‘Dan aku akan menjauhkan diri dari kalian dan dari apa yang
kalian seru selain Allah. Aku akan berdo’a kepada Tuhanku. Mudah-mudahan
aku tidak akan kecewa dengan berdo’a kepada Tuhanku.’ Maka ketika
Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka
sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepada-nya Ishaq dan Ya’qub. Dan
masing-masingnya Kami angkat menjadi nabi.” (QS Maryam [19] : 48-49)
Allah berfirman :
﴿وَإِذْ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا
إِلَى الْكَهْفِ يَنشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ
لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرفَقًا﴾
“Dan apabila kalian meninggalkan mereka dan apa yang mereka
sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu
niscaya Tuhan kalian akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepada kalian
dan menyediakan sesuatu yang berguna bagi kalian dalam urusan kalian.” (QS Al-Kahfi [18] : 16)
Allah juga berfirman dalam ayat-ayat lain yang menunjukkan
di-syari’atkannya menjauhi para pelaku kekufuran, kesesatan mereka, dan
majelis-majelis mereka.
Prinsip agung ini telah ditinggalkan oleh mayoritas generasi umat
Islam. Mereka cenderung kepada orang-orang yang menzhalimi diri sendiri,
membuat kerusakan di muka bumi, meninggalkan syari’at Allah, dan justru
menyeru untuk berhukum dengan undang-undang kufur, melindunginya dengan
harta dan tenaga, serta menghancurkan orang-orang yang memberontak dan
menolak berhukum dengannya.
Allah
Ta’ala berfirman :
﴿يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ﴾
“Mereka hendak berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengkufurinya.” (QS An-Nisa’ [4] : 60)
Yang dimaksud dengan
thaghut dalam ayat ini adalah penguasa
yang memerintah dengan selain syari’at Allah yang menjadikan diri-nya
sebagai pembuat syari’at (aturan) bersama atau selain Allah. Allah
menamainya musyrik dalam firman-Nya :
﴿وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا﴾
“Dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menerapkan hukum.” (QS Al-Kahfi [18] : 26)
﴿وإن أطعتموهم إنكم لمشركون﴾
“Dan jika menuruti mereka, niscaya kalian menjadi orang-orang musyrik.” (QS Al-An’am [6] : 121)
Dan menamainya kafir dalam firman-Nya :
﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْكَافِرُونَ﴾
“Barang siapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS Al-Maidah [5] : 44)
Apabila disebutkan kata
‘kufur’ dan ditulis dalam bentuk
ma’rifah dengan huruf
alif dan
lam, maka maksudnya adalah
kufur akbar. Adapun yang dikatakan dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia mengatakan
kufrun duna kufrin‘kekufuran yang tidak sampai mengeluarkan dari
millah‘ adalah tidak pasti darinya. Al-Maruzy telah meriwayatkan dalam
Ta’zhim Qadrish Shalah (2/521) dan Al-Hakim dalam
Mustadraknya
(2/313) dari jalan Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu ‘Abbas.
Hisyam dianggap lemah oleh Imam Ahmad, Yahya bin Mu’in, Al-‘Aqily
[1], dan Al-Jama’ah.
‘Ali Al-Madiny mengatakan, “Aku membacakan hadits di hadap-an Yahya
bin Sa’id, ‘Telah memberitahukan kepada kami Ibnu Juraij dari Hisyam bin
Hujair.’ Yahya bin Sa’id mengatakan, ‘Pantas aku meninggalkan Hisyam
bin Hujair.’ Aku mengatakan, ‘Apakah aku harus menghindari haditsnya?’
Yahya bin Sa’id mengatakan, ‘Ya!’”
Ibnu ‘Uyainah mengatakan, “Kami tidak mengambil hadits dari Hisyam bin Hujair yang tidak didapatkan pada selainnya.”
Demikianlah, Hisyam meriwayatkan perkataan Ibnu ‘Abbas sen-dirian. Selain itu, terlebih ia menyelisihi perawi-perawi
tsiqah ‘ter-percaya’ lainnya.
Abdullah bin Thawus menyebutkan dari bapaknya yang mengata-kan, “Ibnu ‘Abbas ditanya mengenai firman Allah
Ta’ala
﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْكَافِرُونَ﴾
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Itu adalah kufur.” Dalam riwayat lain
di-sebutkan, “Perbuatan itu menyebabkan kufur.” Disebutkan pula,
“Cukuplah perbuatan itu menyebabkan kekufurannya.” Diriwayatkan oleh
Abdur Razaq dalam tafsirnya (1/191), Ibnu Jarir (6/256), Waki’ dalam
Akhbarul Qudhah (1/4), dan lainnya dengan sanad shahih. Ini-lah yang pasti dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhu. Ia menunjukkan keumuman lafazh tersebut dan tidak membatasinya.
Jalan Hisyam bin Hujair ini munkar dari dua sisi :
Pertama : Hisyam meriwayatkan sendirian.
Kedua : Hisyam menyelisihi perawi yang lebih
tsiqah darinya.
Perkataan Ibnu ‘Abbas “Itu adalah kufur” dan dalam lafazh lain
“Perbuatan itu menyebabkan kufur”, maksudnya ayat tersebut me-nunjukkan
keumumannya.
[2] Pada prinsipnya, kata kufur jika ditulis dalam bentuk
ma’rifah dengan huruf
lam maksudnya adalah
kufur akbar sebagaimana dinyatakan oleh Syaikhul Islam
rahimahullah dalam kitab
Al-Iqtidha‘(1/208) kecuali jika dikaitkan dengan
qarinah ‘korelasi’ yang mengubah maknanya.
Perkataan isteri Tsabit bin Qais, “Akan tetapi, aku membenci
ke-kufuran dalam Islam”, yang diriwayatkan oleh Bukhary (5273) dari Ibnu
‘Abbas tidak menyelisihi kaidah ini dan tidak membatalkan prinsip yang
dinyatakan dalam bab ini. Ia mengatakan, “Dalam Islam.” Ini adalah
qarinah yang jelas yang menunjukkan bahwa maksud kufur di sini adalah selain
kufur akbar.
Tidak sah dikatakan ada
kufur akbar dalam Islam meskipun kata
kufur disebutkan secara
ma’rifah dengan huruf
lamtanpa
mengkait-kannya. Subtansi dan esensi perkataan tersebut segera
terdengar oleh telinga sehingga keragu-raguan ini akan lenyap dengan
mengkaitkan-nya. Perkara ini demikian jelas bagi orang yang
memperhatikan.
Al-Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullah mengatakan dalam
Al-Bidayah wan Nihayah (13/119)
, “Barang
siapa meninggalkan syari’at yang telah jelas yang diturunkan kepada
Muhammad bin Abdillah penutup para nabi dan berhukum kepada
syari’at-syari’at lainnya yang telah dihapus, maka ia kafir. Lalu,
bagaimana dengan orang yang ber-hukum kepada Ilyasiq dan mendahulukannya
atas syari’at Muham-mad? Siapa yang melakukan ini, ia kafir berdasarkan
ijma‘ kaum Muslimin.”
Perkara ini benar dan tidak diperselisihkan. Perkara yang lebih besar darinya dan lebih pantas untuk dijadikan
ijma‘atas
kekufuran-nya adalah orang yang menghalang-halangi dari syari’at Allah,
meng-ganti hukum-hukum dien, dan mewajibkan atas kaumnya aturan-atur-an
yang kepadanya mereka berhukum dalam harta, darah, dan kehor-matan
mereka. Ditambah lagi, ia melindungi aturan-aturan ini serta mencurahkan
tenaga dan kekuatan untuk membelanya.
Adapun perkataan sebagian orang pada hari ini mengenai
ijma‘ yang diriwayatkan dari Ibnu Katsir
rahimahullahtersebut
bahwa “perkara ini khusus untuk raja-raja Tartar dan orang yang
melakukan perbuatan-perbuatan yang membatalkan Islam yang di antaranya
ada-lah
juhud ‘pengingkaran’ (terhadap syari’at Islam, pent.) dan
istihlal‘penghalalan’
hukum dengan selain syari’at yang diturunkan Allah” adalah sekadar
sangkaan belaka yang tidak bersandar pada ke-benaran ilmiah dan
argumen-argumen yang lurus.
Ketika sedang membaca, saya memperhatikan perkataan seorang penulis
yang menyerang para pembela tauhid dan penyeru perbaikan dan bertindak
bodoh terhadap mereka. Ia membabi buta dalam meng-ungkapkan
kata-katanya, salah dalam memahami perkataan para imam, dan memuat
perkataan yang tidak berisi.
[3]
Contoh yang paling dekat adalah perkataan Al-Hafizh Ibnu Katsir.
Penulis tersebut me-ngatakan bahwa Al-Hafizh bukan satu-satunya orang
yang me-ngatakannya dan tidak meriwayatkannya dengan maksud untuk
ijma‘. Banyak orang, baik yang terdahulu maupun belakangan, menyebut-kan seperti ini.
Bagaimana mungkin Ibnu Katsir tidak menghukumi kafir orang yang
meninggalkan syari’at, mengangkat dirinya sebagai pihak peng-halal,
pengharam, dan penentu kebaikan maupun keburukan, serta menjadikan
pengadilan-pengadilan yang memberlakukan aturan se-lain syari’at Allah
sebagai sumber pengambilan hukum dan tidak boleh mempermasalahkan,
mengkomentari, dan menyanggah hukum-hukumnya.
Yang mendorong penulis untuk menyatakan bahwa kekufuran Tartar adalah karena
juhud ‘pengingkaran’ dan
istihlal‘penghalalan’ tidak lain adalah karena terpengaruh sekte Murji’ah. Sekte ini men-jadikan
istihlal atau
juhud sebagai penyebab kekufuran. Pendapat ini bathil berdasarkan syari’at dan akal.
Istihlal
adalah kekufuran meski-pun tidak disertai dengan berhukum dengan selain
syari’at Allah. Adapun ayat –yaitu ayat 44 dari surat Al-Maidah, pent.—
sangat jelas bahwa penyebab kekufuran adalah menolak berhukum dengan
syari’at Allah.
Banyak dari kalangan
muta-akhirin ‘orang-orang belakangan’
ter-pengaruh sekte Murji’ah yang berpendapat bahwa setiap orang yang
mengucapkan perkataan atau melakukan perbuatan kufur adalah kafir.
Menurut sekte ini, kekufurannya bukan karena perbuatan itu sendiri. Akan
tetapi, kekufurannya adalah karena perbuatan itu me-ngandung kekufuran,
mengindikasikan lenyapnya
tashdiq ‘pembenar-an’ dengan hati, dan menandakan
takdzib‘pendustaan’.
Sekte Murji’ah ortodoks lainnya menolak untuk mengkafirkan se-seorang karena perbuatan
[4] secara mutlak selama belum pasti ia mengingkari atau menghalalkan.
[5] Paham ini menyelisihi
Kitabullah, sunnah Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
ijma‘ kaum Muslimin.
Ahlul ‘ilmi sepakat bahwa menghina Allah dan menghina Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kufur.
[6] Tidak seorang pun dari mereka mensyaratkan
istihlal ‘penghalalan’ atau
i’tiqad ‘keyakinan’.
Namun, cukuplah kekafirannya hanya karena penghinaan yang jelas.
Mereka sepakat atas kekufuran orang yang menghina
dien tanpa syarat
i’tiqadatau
istihlal. Orang seperti ini dikafirkan meskipun ia hanya bermain-main atau tidak serius. Mereka sepakat bahwa
taqar-rub
kepada orang-orang mati dengan bersujud kepada mereka atau thawaf
terhadap kuburan mereka adalah kufur. Mereka sepakat bah-wa melempar
mushhaf ke dalam sampah adalah kufur.
Inilah pendapat setiap orang yang mengatakan bahwa iman ada-lah
perkataan dan perbuatan; perkataan hati dan lisan serta perbuatan hati,
lisan, dan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang
dengan kemaksiatan.
[7]
Ahlus sunnah sepakat bahwa kekufuran bisa terjadi karena per-kataan, seperti penghinaan yang jelas terhadap
dien,dan bisa pula ter-jadi karena perbuatan, seperti sujud kepada berhala, matahari, dan bulan serta menyembelih untuk selain Allah.
Dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah sangat jelas tentang
ke-kufuran orang yang melakukan perbuatan atau mengucapkan perkata-an
kufur. Hal itu cukup hanya dengan melakukan perbuatan atau mengucapkan
perkataan tanpa mengikatnya dengan
juhud atau
istih-lal.
Sesungguhnya pendapat ini adalah rusak; tidak seorang pun dari kalangan
sahabat, tabi’in, dan para imam yang dikenal sebagai pem-bela sunnah
mengucapkannya.
Allah
Ta’ala berfirman :
﴿وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ
وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ
تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ
كَانُوا مُجْرِمِينَ﴾
“Dan apabila kalian menanyakan kepada mereka (tentang apa yang
mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesungguh-nya kami
hanya bersenda gurau dan bermain-main.’ Katakanlah, ‘Apakah terhadap
Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian selalu mencela? Tidak usah
meminta maaf karena kalian kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan
segolongan dari kalian (lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami akan
mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang
selalu berbuat dosa.” (QS At-Taubah [9] : 65-66)
Sebab kekufuran hanya berdasarkan pada perkataan yang mereka ucapkan.
Allah berfirman :
﴿يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ
الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا
وَمَا نَقَمُوا إِلَّا أَنْ أَغْنَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنْ
فَضْلِهِ فَإِنْ يَتُوبُوا يَكُ خَيْرًا لَهُمْ وَإِنْ يَتَوَلَّوْا
يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذَابًا أَلِيمًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
وَمَا لَهُمْ فِي الْأَرْضِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ﴾
“Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah
bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Se-sungguhnya
mereka telah mengucapkan perkataan kufur dan telah menjadi kafir sesudah
Islam. Mereka menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya.
Mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya) melainkan karena Allah dan
Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jka mereka
bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka. Dan jika mereka berpaling,
niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih di dunia
dan akhirat. Mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak
(pula) penolong di muka bumi.” (QS At-Taubah [9] : 74)
Pada umumnya, setiap orang yang mengucapkan perkataan atau melakukan perbuatan
kufur sharih
adalah kafir selama tidak ada penghalang, yaitu karena dipaksa, takwil,
atau salah, seperti salah bicara atau kejahilan yang bisa
diperhitungkan.
Di antara kekufuran yang sangat jelas adalah meninggalkan
jinsul ‘amal “jenis amalan” secara mutlak tanpa harus mengkaitkannya dengan amalan hati.
[8] Sekadar meninggalkan jenis amalan secara mutlak adalah
kufur akbar.
Hal ini menunjukkan tidak adanya ke-imanan di dalam hati secara pasti
tanpa menjadikannya sebagai syarat untuk menghukumi. Perkara ini
demikian jelas ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah. Hukum diterapkan
berdasarkan amalan ang-gota badan; bukan berdasarkan apa yang terdapat
di dalam hati. Hati tidak ada yang mengetahui kecuali Allah Yang Maha
Mengetahui yang ghaib.
Al-Hafizh Ibnu Rajab
rahimahullah menyebutkan di dalam
Fat-hul Bary
(1/23) dari Sufyan bin ‘Uyainah bahwa ia mengatakan, “Murji’ah
menganggap bahwa meninggalkan kewajiban adalah dosa. Hal ini sama dengan
melakukan perbuatan haram. Padahal, kedua hal ini tidaklah sama. Sebab,
melakukan perbuatan haram secara sengaja tanpa menganggapnya boleh
adalah kemaksiatan, sedangkan me-ninggalkan kewajiban bukan karena bodoh
atau
udzuradalah kufur.” Penjelasan hal itu adalah dalam kasus
Iblis yang menolak bersujud kepada Adam dan kasus ulama Yahudi yang
mengakui pengutusan Nabi
shallalahu ‘alaihi wa sallam dengan lisan mereka, namun tidak mau melaksanakan syari’atnya.
Harb meriwayatkan dari Ishaq berkata, “Murji’ah telah me-lampaui
batas hingga suatu kaum mengatakan, ‘Sesungguhnya orang yang
meninggalkan shalat wajib lima waktu, shaum Ramadhan, zakat, haji, dan
kewajiban-kewajiban pada umumnya tanpa meng-ingkarinya tidak kami
kafirkan. Perkaranya ditangguhkan (
irja‘) kepada Allah setelah ia mengakui kewajiban tersebut.’ Tidak diragu-kan, mereka ini adalah Murji’ah.”
Al-Khilal meriwayatkan dalam
As-Sunnah (3/586) dari
‘Ubaidillah bin Hanbal mengatakan, “Abu Hanbal bin Ishaq bin Hanbal
bercerita kepadaku. Ia mengatakan, ‘Aku diberitahu bahwa suatu kaum
mengatakan, ‘Sesungguhnya orang yang mengakui ke-wajiban shalat, zakat,
shaum, dan haji, namun sedikit pun ia tidak melaksanakannya hingga mati
atau ia shalat dengan bersandar pada punggungnya dan membelakangi kiblat
hingga mati, maka tetap mukmin selama tidak mengingkari, mengetahui
bahwa ia meninggal-kan kewajiban tersebut namun masih mengimaninya,
serta mengakui status kewajiban tersebut dan kewajiban menghadap
kiblat.’ Saya katakan, ‘Ini kekufuran yang sangat jelas kepada Allah
serta me-nyelisihi Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya
shallalahu ‘alaihi wa sallam, dan praktek kaum Muslimin. Allah
‘Azza wa Jalla berfirman :
﴿حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ﴾
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali agar menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus
dan agar mereka mendirikan shalat dan me-nunaikan zakat. Yang demikian
itulah agama yang lurus.” (QS Al-Bayyinah [98] : 5)
Hanbal mengatakan, ‘Berkata Abu Abdillah atau aku men-dengarnya
mengatakan, ‘Siapa yang berkata seperti ini, sungguh ia telah kafir
kepada Allah. Urusannya dikembalikan kepada Allah dan kepada Rasul
shallalahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan risalah yang dibawanya.’”
Imam Ibnu Baththah
rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang meninggalkan sedikit pun kewajiban yang diwajibkan oleh Allah
‘Azza wa Jalla dalam Kitab-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya
shallalahu ‘alaihi wa sallamdalam
sunnahnya karena meng-ingkari atau mendustakannya, maka ia kafir dengan
kekafiran yang jelas yang tidak diragukan oleh orang berakal yang
beriman kepada Allah dan hari akhir. Siapa saja yang mengakui kewajiban
tersebut atau mengucapkannya dengan lisannya kemudian meninggalkannya
karena bercanda dan meremehkan atau meyakini pendapat Murji’ah dan
mengikuti madzhab mereka, maka ia meninggalkan iman. Tidak ada keimanan
di dalam hatinya sedikit atau banyak. Ia termasuk golongan orang-orang
munafik yang bermuka dua di hadapan Rasulullah
shallalahu ‘alaihi wa sallam. Maka,
turunlah Al-Qur’an menyebutkan sifat-sifat mereka, ancaman yang
dijanjikan kepada mereka, dan bahwa mereka berada di dalam neraka paling
bawah. Kita berlindung kepada Allah dari madzhab Murji’ah yang sesat.”
[9]
Para imam salaf telah mengingatkan tentang mereka dan menjelaskan
kerusakan pendapat mereka serta bahaya bid’ah mereka. Imam Az-Zuhry
rahimahullah
mengatakan, “Tidak ada bid’ah yang dilakukan di dalam Islam yang lebih
berbahaya terhadap pelakunya melainkan ini; yaitu bid’ah
irja‘.”
[10]
Al-Auza’i mengatkan, “Yahya dan Qatadah mengatakan, ‘Tidak ada
sedikit pun hawa nafsu yang ditakutkan oleh salaf menimpa umat daripada
irja‘.“
[11]
Syuraik mengatakan, “Mereka adalah sejahat-jahat kaum. Cukuplah
bagimu kejahatan Rafidhah. Akan tetapi, Murji’ah berdusta atas nama
Allah
‘Azza wa Jalla.“
[12]
Perkatan para salaf dalam hal seperti ini banyak. Mereka mem-berikan
nasehat untuk Allah, Rasul-Nya, para imam kaum Muslimin, dan kalangan
umum mereka.
[13]
Mereka menjelaskan bahaya bid’ah ini terhadap individu dan masyarakat.
Bid’ah ini adalah pangkal setiap bencana dan penyimpangan dalam umat.
Tunggangan kebanyakan pemikiran rusak dan paham-paham sesat adalah
bid’ah
irja‘ ini yang berpendapat bahwa iman adalah perkataan
dan keyakinan atau hanya pembenaran dan pengetahuan; seseorang tidak
bisa dikafirkan kecuali karena
istihlal‘penghalalan’ dan
takdzib ‘pendustaan’. Allah berfirman
﴿يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى
اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ﴾
“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut
(ucapan-ucapan) mereka. Allah tidak menginginkan selain me-nyempurnakan
cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir tidak me-nyukai.” (QS At-Taubah [9] : 32)
[1] . Lihat :
Adh-Dhu’afa‘ karya Al-‘Aqily (4/337-338),
Al-Kamil (7/2569) karya Ibnu ‘Ady,
Tahdzibul Kamal (30/179-180), dan
Hadyus Sary (447-448)
[2]
. Berhukum dengan selain syari’at yang Allah turunkan memiliki
tingkatan yang berbeda-beda. Ada pun yang sedang dibicarakan dalam hal
ini adalah mereka yang memproduksi peraturan yang menyelisihi syari’at
Allah, menghukumi manusia dengannya, dan menempatkannya setara dengan
hukum Allah dan hukum Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[3]
. Model orang seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Sulaiman ini sangat
banyak kita saksikan di lapangan amal Islami. Mereka seringkali
mencari-cari kesalahan para da’i dan aktivis Islam untuk mereka jadikan
alasan dalam mencemarkan nama baik da’i tersebut agar umat menjauh dari
dakwahnya. Akan tetapi, ke-salahan dan kemungkaran
akbar yang dilakukan oleh para
thaghut
yang meng-ganti syari’at Islam dengan syari’at kufur jahiliyyah tidak
pernah mereka bahas. Bahkan, para pelaku kemungkaran tersebut justru
mereka bela dengan me-nyelewengkan dalil-dalil syar’i dan perkataan para
ulama salaf ahlus sunnah wal jama’ah.
Mereka menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling
sesuai dengan sunnah, dan paling sesuai dengan manhaj salaf. Standar
yang sering mereka pakai di lapangan untuk mengetahui apakah seseorang
–terkhusus para da’i dan aktivis Islam— itu berada di atas kebenaran
adalah sejauh mana ia me-miliki hubungan dengan kelompoknya. Padahal,
mereka adalah orang-orang yang sering meneriakkan bahaya
hizbiyyah ‘sikap fanatik kepada kelompok’ dan menganggap bahwa kemunculan harakah-harakah Islamiyah adalah bentuk nyata dari
hizbiyyah. Akan tetapi, dalam realitanya mereka justru jauh lebih kronis dalam mengidap penyakit
hizbiyyah
ini. Indikasi dari kekronisan ini di antaranya dapat kita lihat dalam
sikap mereka yang tidak mau menjawab salam –apalagi memberi salam—
saudaranya yang telah mereka anggap sebagai ahli bid’ah karena berbeda
pendapat dalam beberapa hal dan tidak mau duduk dalam satu majelis untuk
membicarakan perbedaan yang ada. Alasan klasik yang biasa mereka pakai
untuk hal terakhir adalah “haram duduk-duduk bersama ahli bid’ah” atau
“majelis ini adalah majelis yang tidak ada ilmunya”.
La haula wa la quwwata illa billah.
Mereka menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling pintar dan paling
berilmu. Hapalan mereka banyak; kitab yang mereka kaji pun juga tidak
sedikit. Mereka lebih banyak bergelut dengan kitab-kitab, namun enggan
bergelut dengan peristiwa-peristiwa nyata dalam realita kehidupan.
Terhadap orang-orang seperti ini, Dr. Abdullah Azzam mengatakan, “Mereka
yang belajar dari kitab, jarang di antara mereka yang saya dapati
mempunyai akhlak ulama. Jarang saya temui di antara mereka yang
mempunyai adab
muta’allim (orang yang menimba ilmu) kecuali
mereka yang diberi rahmat Allah. Akan kamu dapati perbedaan besar dan
jarak yang jauh antara mereka yang berguru kepada orang-orang ‘alim,
terbina lewat tangan tokoh-tokoh terpandang dari kalangan ‘alim ulama,
dengan mereka yang mempunyai barang dagangan sedikit (maksudnya,
mempunyai ilmu sedikit atau tidak berarti) seperti seorang pengigau yang
mengumpulkan kayu bakar dan di sana ia dipatuk ular, seperti yang
dikatakan Imam Asy-Syafi’i. (Tarbiyah Jihadiyah VI, hal. 142)
Oleh karena itu, tidaklah aneh jika Ibnu Mubarok sampai mengatakan,
“Dua puluh tahun kuhabiskan waktu untuk menuntut ilmu dan tiga puluh
tahun untuk menuntut adab.” Sebab, adab tidak bisa diperoleh melalui
kitab. Adab hanya bisa didapat melalui akhlak para ‘alim ulama. (Idem,
hal. 132)
Wallahu a’lam. (pent.)
[4] . Perkataan sebagian
ahlul ‘ilmi,
“Kami tidak mengkafirkan seseorang karena dosa yang ia perbuat selama
tidak menghalalkannya”, maksudnya adalah sebagai bantahan terhadap
Khawarij yang mengkafirkan secara mutlak perbuatan dosa, seperti zina,
mencuri, berbohong, minum
khamr, dan sebagainya. Mereka tidak
memaksudkan perkataan itu sebagai penolakan untuk mengkafirkan setiap
per-buatan dosa. Ini adalah pendapat bathil. Tidak seorang pun dari
kalangan ahlus sunnah mengatakan hal ini. Dalil-dalil yang justru
sebaliknya adalah mutawatir. Menyembelih untuk selain Allah, sihir,
thawaf terhadap kuburan, dan yang semisal adalah perbuatan-perbuatan
yang pelakunya dikafirkan hanya karena perbuatan tersebut. Selain itu,
ada perkataan-perkataan di mana orang yang mengucapkannya dikafirkan
hanya karena perkataan tersebut.
Para sahabat, tabi’in, dan
ahlul ‘ilmi yang bersandar pada sunnah sepakat bahwa orang yang mengatakan atau melakukan perbuatan
kufur sharih ‘kekufur-an yang jelas’ adalah kafir tanpa mengkaitkannya dengan
juhud dan
istihlal.
Pendapat terakhir ini adalah bathil yang tidak ada asal usulnya dari
kalangan salaf. Ini adalah pendapat kontradiktif yang ditunjukkan oleh
dalil
naqly dan
‘aqly atas kerusakannya.
[5] . Orang-orang yang terpengaruh paham Murji’ah pada hari ini sering kita saksikan giat membela para penguasa
thaghut. Mereka menganggap para penguasa tersebut sebagai
ulil amri
yang wajib ditaati meskipun menolak berhukum dengan syari’at Allah.
Penolakan terhadap syari’at Allah ini, menurut mereka, tidak sampai
menyebabkan kekafiran yang mengeluarkan dari
millah. Perbuatan ini sebatas
kufrun duna kufrin.
Oleh karena itu, —dalam pandangan mereka— para aktivis harakah
Islamiyah yang mengkafirkan para penguasa yang menolak berhukum dengan
syari’at Islam termasuk kelompok “Khawarij Gaya Baru” (KGB) atau
takfiry yang melampaui batas. Para aktivis tersebut adalah anjing-anjing neraka jahannam.
Nas-alullahal ‘afiyah.
Apabila mereka ini disiplin dengan pendapat mereka, tentu mereka akan
me-merangi para aktivis yang mereka anggap Khawarij tersebut. Sebab,
disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallambersabda :
Cari dulu haditsnya!
Darah para aktivis yang dituduh Khawarij itu lantas mereka halalkan
dengan landasan hadits ini. Jika demikian, siapa yang sebenarnya
Khawarij? Jangan-jangan mereka ini lebih Khawarij atau ultra-Khawarij!!!
Terhadap para penguasa
thaghut mereka bersikap lunak dan
menggampangkan seperti sikap Murji’ah. Namun, terhadap para da’i dan
aktivis harakah Islamiyah mereka bersikap ekstrim, keras, dan tidak mau
memaafkan kesalahan yang ter-jadi. Sikap ini persis seperti sikap
Khawarij yang tidak mau memaafkan kesalah-an kaum Muslimin sehingga
mereka mengkafirkannya. Oleh karena itu, bukanlah hal yang berlebihan
jika kemudian para ulama menyebut orang-orang model mereka ini dengan
sebutan
“Khawarij ma’ad du’at murji’ah ma’ath thughat ” (bersikap Khawarij terhadap para da’i dan bersikap Murji’ah terhadap para
thaghut). (pent.)
[6]
. Termasuk kekufuran yang sangat jelas adalah penghinaan terhadap Allah
yang dilakukan oleh salah seorang mahasiswa IAIN Sunan Gunung Djati
Bandung dalam acara masa ta’aruf mahasiswa baru pada bulan Agustus 2004.
(pent.)
[7].
Ahlus sunnah wal jama’ah menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dengan
hati, ucapan dengan lisan, dan perbuatan anggota badan. (Syaikh Shalih
Fauzan bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan. 1414 H.
Syarh Al-‘Aqidah Al-Washithiyyah.
KSA : Maktabah Darus Salam. Hal. 135) Ini merupakan pendapat Imam
Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Al-Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, seluruh ahlul
hadits, ulama penduduk Madinah, penganut
Zhahiriyah, dan sekelompok ahli kalam. (Ali bin Ali bin Muhammad Abil ‘Izz. 1408 H.
Syarhuth Thahawiyah fi ‘Aqidatis Salafiy-yah. Beirut : Darul Fikri. Hal. 210)
Terkadang, sebagian ulama salaf menyatakan bahwa iman adalah
perkataan dan perbuatan. Definisi ini tidak menafikan keyakinan hati
karena perkataan menurut mereka mencakup perkataan hati dan lisan,
sedangkan perbuatan men-cakup perbuatan hati dan anggota badan.
Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan, “Salaf telah sepakat
bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan; bertambah dan berkurang.
Artinya iman adalah perkataan hati dan perbuatan hati, kemudian
perkataan lisan dan perbuatan anggota badan.
Adapun perkataan hati adalah
tashdiq ‘pembenaran’ yang pasti
kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari
akhir. Termasuk dalam hal ini adalah beriman kepada seluruh risalah yang
disampaikan Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Kemudian beliau berkata, “Pembenaran ini diikuti oleh perbuatan hati, yaitu cinta kepada Allah dan Rasul-Nya
shallallahu ‘alahi wa sallam, mengagungkan Allah dan Rasul-Nya
shallallahu ‘alahi wa sallam, menghormati Rasul-Nya
shallallahu ‘alahi wa sallam, takut kepada Allah,
inabah ‘kembali’ kepada-Nya, ikhlas beramal hanya untuk-Nya, tawakkal kepada-Nya, dan kondisi-kondisi lainnya.
Perbuatan-perbuatan hati ini semuanya adalah bagian dari iman dan juga keharusan dari
tashdiq
dan keyakinan yang merupakan sebab akibat. Keyakinan diikuti oleh
perkataan lisan dan perbuatan hati diikuti oleh perbuatan anggota badan,
seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya.” (Dr. Safar bin
Abdurrahaman Al-Hawaly. 1418 H.
Zhahiratul Irja‘ fi Fikril Islamy. Juz I. Kairo : Maktab Ath-Thayyib. Hal. 223-224. Dinukil dari
Majmu’ul Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7/672)
Sebagian ulama salaf yang lain menyatakan bahwa iman adalah
tashdiq dan
‘amal atau
iqrar dan
tashdiq.
Di antara yang menyatakan pendapat ini adalah Sa’id bin Al-Musayyib,
Imam Ahmad, Imam Abu Ja’far Ath-Thahawy, dan sebagainya. (Al-Hawaly,
1418 : 1/230 dan Ibnu Abil ‘Izz, 1408 : 209)
Pernyataan-pernyatan tersebut sering disalahpahami oleh sebagian
orang dan dijadikan justifikasi bagi pemahaman bathil mereka terhadap
definisi iman. Dr. Safar bin Abdirrahman Al-Hawaly mengatakan, “Dari
sini wajib untuk menjelas-kan makna dua lafazh ini dalam penggunaan
salaf. Kami katakan, sesungguhnya salaf yang mempergunakan dua lafazh
ini tidak keluar dari makna yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah.
Sesungguhnya
tashdiq dalam Al-Kitab dan As-Sunnah –bahkan dalam bahasa Arab— tidak terbatas hanya dalam
tashdiq khabary ‘pembenaran secara informasi’, akan tetapi juag mencakup
tashdiq ‘amaly, yaitu pembenaran informasi dengan melaksanakan dan mendakwakan perbuatan. Hal ini maknanya adlah
tahqiq ‘merealisasikan’.”
Kemudian beliau menyatakan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, di antaranya adalah firman Allah :
وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ ٭ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
“Dan Kami panggillah dia, ‘Hai Ibrahim! Sesungguhnya kamu telah
membenar-kan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan
kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS Ash-Shaffat [37] : 104-105)
Maksudnya, ‘Kamu telah melaksanakan perintah dengan membaringkan
anak-mu dan keinginanmu menyembelihnya dengan tunduk dan patuh.’
Seakan-akan Nabi Ibrahim telah melaksanakan penyembelihan itu karena
yang dimaksud dalam ayat ini adalah perbuatan hati dan ikhlas hanya
karena Allah. Apabila tidak, maka Allah tidak membutuhkannya.
Dalil lain dari Al-Kitab adalah surat Al-Hajj : 37, Az-Zumar : 32-33, Adz-Dzariyat : 5, Al-Ahzab : 23.
Adapun dalil dari As-Sunnah adalah hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa beliau bersabda, “Kemaluan akan membenarkan hal itu (zina) atau
men-dustakannya.” (HR Bukhary [11/26, 503]) Indikasi atas makna yang
dimaksud sangat jelas.
Demikian juga
iqrar disebutkan dalam Al-Qur’anul Karim dalam surat Ali Imran : 81.” (Al-Hawaly, 1418 : 231-134)
Dengan demikian, tidak ada perselisihan di kalangan ulama salaf ahlus
sunnah wal jama’ah bahwa iman terdiri atasa tiga unsur, yaitu keyakinan
hati, ucapan lisan, dan perbuatan anggota badan. Tidak ada yang
menyelisihinya kecuali ahli bid’ah dan
ahwa’. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan beberapa ulama salaf, di antaranya adalah sebagai berikut.
Imam As-Syafi’I
rahimahullah mengatakan, “
Ijma’
dari para sahabat, generasi tabi’in setelahnya, dan orang-orang yang
kami jumpai mengatakan, ‘Iman adalah perkataan, perbuatan, dan niat
(dalam hati). Tidak cukup satu dari tiga hal ini kecuali dengan dua hal
yang lain.” (Muhammad Bunnit Al-Marakisyi. 1420 H.
‘Aqidah Ad’iya-is Salafiyyah fiMizani Ahlis Sunnah wal Jama‘ah. Beirut : Dar Al-Bayariq. Hal. 27. Dinukil dari
Majmu‘ul Fatawa, 7/309)
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan, “Tidak
diper-selisihkan bahwa tauhid harus dengan hati, lisan, dan amal.
Apabila tidak ter-penuhi salah satu dari tiga hal ini, seseorang belum
bisa dikatakan muslim. Apabila ia mengetahui tauhid namun tidak
mengamalkannya, maka ia kafir lagi pembangkang seperti kafirnya Fir’aun
dan Iblis dan yang serupa dengan mereka berdua.” (Muhammad bin Abdul
Wahhab. 1416 H.
Kasyfusy Syubhat fit Tauhid. KSA : Darul Qasim. Hal. 25)
Sekte Murji’ah dan Jahmiyah menganggap bahwa amal bukan bagian dari
iman. Menurut sekte Murji’ah, orang yang meyakini dalam hati dan
mengucap-kannya dengan lisan tanpa mewujudkannya dalam amal adalah orang
beriman. Adapun Jahmiyah lebih parah lagi. Mereka menganggap bahwa
apabila sese-orang telah mengetahui
Rabbnya dengan hatinya
meskipun lisannya tidak me-nyatakannya dan anggota badannya tidak
melakukannya dengan amal, maka orang ini adalah mukmin.
Sebagian orang yang terpengaruh oleh paham sekte ini menyatakan bahwa
iman adalah perkataan dan perbuatan. Sampai di sini tidak ada perbedaan
antara mereka dengan alus sunnah dalam mendefinisikan iman. Akan
tetapi, perbedaan itu muncul ketika menyangkut masalah “bagaimana posisi
amal terhadap iman”. Mereka –orang-orang yang terpengaruh paham
Murji’ah— mengatakan bahwa amal merupakan syarat sempurnanya iman.
Dengan demikian, orang yang mengikrarkan keimanan (syahadat) dan
meyakininya dalam hati meskipun sepanjang hidupnya tidak pernah beramal
sudah cukup disebut sebagai orang beriman. Hanya saja ia adalah orang
yang tidak sempurna imannya karena tidak beramal. Pendapat ini jelas
rusaknya.
Orang-orang model ini menganggap bahwa mereka yang berpendapat bahwa
amal merupakan syarat sahnya iman adalah orang-orang yang berpaham
Khawarij alias
takfiry. Sebab, konsekuensi dari pendapat ini
–yaitu amal adalah syarat sahnya iman— adalah bahwa barang siapa yang
meninggalkan amal, meskipun amal yang sunnah, maka ia telah kafir dan
keluar dari keimanan. Karena telah kafir, berarti darahnya pun halal.
Kedua pendapat di atas jelas bertentangan dengan pendapat ahlus
sunnah. Ahlus sunnah berada di pertengahan antara Murji’ah di satu sisi
serta Khawarij dan Mu’tazilah pada sisi yang lain. Ahlus sunnah
berpendapat bahwa sebagian amal merupakan syarat sah keimanan dan
sebagain yang lain merupakan syarat sempurna keimanan. Jadi, tidak semua
amal merupakan syarat sempurnanya iman sebagaimana pendapat Murji’ah
dan tidak semua amal merupakan syarat sahnya iman sebagaimana pendapat
Khawarij dan Mu’tazilah. Untuk mengetahui apakah sebuah amal termasuk
syarat sah atau syarat sempurnanya iman adalah dengan berdasarkan
keterangan Al-Kitab dan As-Sunnah serja
ijma‘ salaful ummah.
Oleh karena itu, ahlus sunnah mengkafirkan orang yang meninggalkan jenis amal tertentu (
jinsul ‘amal)
–apalagi meninggalkan amal secara keseluruhan— dengan menyelisihi
Murji’ah dan tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan sebagian amal,
tapi masih melaksanakan amal yang lain dengan menyelisihi Khawarij dan
Mu’tazilah. (Al-Marakisy, 1420 : 33-34)
(Pent.)
[8]
. Ditanyakan kepada Syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah Abu Bashir,
“Antum –semoga Allah memberkati antum dan amalan antum— mengetahui
pro-kontra seputar masalah iman pada akhir-akhir ini. Masih belum jelas
bagi saya, apa makna
jinsul ‘amal dan apa ukuran amal yang diminta agar seseorang selamat dari kekufuran sehingga menjadi mukmin?”
Beliau menjawab, “Makna
jinsul ‘amal adalah ketaatan
lahiriah yang dilakukan oleh anggota badan. Barang siapa tidak melakukan
ketaatan lahiriah ini secara mutlak, maka dikatakan ia tidak melakukan
jinsul ‘amal. Tidak diragukan, orang ini kafir dan keluar dari
millah meskipun ia mengakui dengan lisannya sesuatu yang menyelisihi perbuatan lahiriahnya dan menganggap dirinya mukmin.
Adapun ukuran amal yang diminta agar pelakunya selamat dan menjadi
mukmin adalah mendirikan shalat dan melaksanakan tauhid secara
lahir-batin. Barang siapa mendirikan shalat dan melaksanakan tauhid
sehingga melenyapkan segala bentuk syirik
akbar, maka ia telah
melaksanakan batasan yang dapat memasukkannya ke dalam wilayah iman dan
Islam dan mengeluarkannya dari wilayah kekufuran meskipun ia
meninggalkan sisa amal lainnya karena ketidak-mampuannya. Siapa pun yang
tidak mendirikan shalat dan tidak melaksanakan tauhid pada dirinya
secara lahir-batin, ia tidak menjadi mukmin dan muslim. Ia termasuk
orang-orang kafir meskipun melaksanakan ketaatan dan amal lainnya.” (
www.tawhed.ws) (Pent.)
[9] .
Al-Ibanah (2/764)
[10] .
Al-Ibanah (2/885) karya Ibnu Baththah dan
Asy-Syari‘ah (2/676) karya Al-Ajiry.
[11] .
Al-Ibanah (2/885-886)
[12] . Idem (2/886) dan Abdullah bin Ahmad dalam
As-Sunnah (1/312)
[13] . Dari Abu Ruqayah Tamim bin Aus Ad-Dary
radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallambersabda,
“Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau bersabda,
“Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan imam-imam serta umumnya kaum
Muslimin.” (HR Muslim)
Para ulama berkata, “Makna nasihat untuk Allah
Ta’ala adalah
beriman kepada Allah, meniadakan sekutu bagi-Nya, meninggalkan
keingkaran terhadap sifat-sifat-Nya, mensifati-Nya dengan semua sifat
kesempurnaan dan keagungan, mensucikan-Nya dari seluruh kekurangan,
mentaati-Nya, menghindari ke-maksiatan kepada-Nya, mencintai karena-Nya,
membenci karena-Nya, mencintai siapa yang mentaati-Nya, memusuhi orang
yang bermaksiat kepada-Nya, ber-jihad melawan orang yang kafir
kepada-Nya, mengakui dan mensyukuri nikmat nikmat-Nya, ikhlas dalam
segala urusan, berdo’a dan memberikan anjuran untuk merealiasikan semua
sifat tersebut, bersikap simpatik kepada seluruh manusia atau siapa yang
memungkinkan di antara mereka berdasarkan semuanya itu. Hakikat kesemua
sifat ini kembali kepada nasihat seorang hamba kepada dirinya sendiri
sedangkan Allah
Subhanahu wa Ta’ala tidak membutuhkan nasihat dari siapa pun.
Adapun nasihat untuk kitab Allah
Ta’ala adalah beriman bahwa
ia merupakan firman Allah dan kitab yang diturunkan-Nya, tidak ada
ucapan manusia yang serupa dengannya dan tidak ada seorang pun di antara
makhluknya yang mampu membuat yang serupa dengannya, kemudian
mengagungkan dan membacanya dengan sebenar-benarnya bacaan, dengan
bacaan baik, dengan melafalkan huruf-hurufnya secara benar, serta dengan
khusyu’, membelanya dari penyimpangan orang-orang yang mentakwilkan dan
penentangan orang-orang yang mencelanya, membenarkan kandungannya,
mematuhi hukum-hukumnya, memahami ilmu-ilmu dan
permisalan-permisalannya, mengambil pelajaran-pelajarannya, memi-kirkan
keajabian-keajaibannya, melaksanakan ayat-ayat
muhkamnya, percaya penuh dengan ayat-ayat
mutasyabihatnya, mempelajari mana ayat-ayat yang umum, mana yang khusus, mana yang
nasikh, dan mana yang
mansukh,
menyebarkan ilmu-ilmunya, mendakwahkannya dan mendakwahkan semua yang
telah kami sebutkan mengenai nasihat kepada kitab-kitab-Nya yang di
muka.
Adapun nasihat kepada Rasul-Nya
shallallahu ‘alahi wa sallam
adalah mem-benarkan risalah beliau, mengimani seluruh ajaran yang
dibawa beliau, mentaati beliau dalam segala perintah dan larangan
beliau, membela beliau semasa hidup maupun sesudah beliau wafat,
memusuhi siapa yang memusuhinya, ber
wala’ kepada siapa yang ber
wala’
kepadanya, menghormati haknya, menghidupkan sunnahnya, menyebarkan
dakwahnya, menghilangkan tuduhan-tuduhan jahat mengenai sunnah tersebut,
menyebarkan ilmu mengenainya, mempelajarinya, berdo’a untuknya,
bersikap lembut dalam mempelajarinya, mengajarkannya, mengagungkannya,
dan menghormatinya, bersikap santun ketika membacanya, menahan diri dari
berbicara mengenainya tanpa ilmu, menghormati para ahlinya karena
keterkaitan mereka dengannya, meniru akhlak dan adab beliau, mencintai
ahli bait dan sahabat beliau, menjauhi siapa saja yang mengada-adakan
bid’ah dalam sunnah beliau atau mencela salah seorang sahabat beliau,
dan sebagainya.
Adapun nasihat bagi imam-imam kaum Muslimin adalah membantu mereka
dalam kebenaran, mentaati mereka juga dalam kebenaran, memerintah mereka
untuk melaksanakannya, melarang dan mengingatkan mereka dengan santun,
memberitahu mereka tentang apa yang mereka lalaikan dan tentang hak-hak
kaum Muslimin yang belum mereka ketahui, tidak memberontak terhadap
mereka, menyatukan hati kaum Muslimin supaya mentaati mereka.”
(Al-Anshari, Abdullah bin Ibrahim. 2001.
Syarah Hadits Arba’in. Solo : Al-Qowam. Hal. 90-91) (Pent.)