Senin, 23 Februari 2015

RAHMATAN LIL ALAMIN ITU APA?

Apakah Rahmatan lil Alamin Hanya Identik dengan Kelembutan? Ketika mendengar istilah Islam rahmatan lil ‘alamin, mungkin yang pertama kali muncul dalam benak masyarakat adalah Islam agama damai dan penuh kasih sayang, lemah lembut dan jauh dari aksi kekerasan. Sehingga ketika ada aksi perlawanan sebagian umat Islam terhadap tindakan orang-orang kafir, maka langsung dicap Islam fundamentalis, teroris dan aliran keras yang tidak rahmatan lil ‘alamin. Jika istilah Islam rahmatan lil alamin hanya dimaknai dengan kelembutan atau kedamaian semata, mungkin kita tidak pernah membaca sejarah peperangan dalam Islam. Demikian juga, kita mungkin tidak akan pernah mendengar kisah heroik para pahlawan mengusir penjajah disertai pekikan takbir. Islam mengajarkan umatnya untuk mengutamakan kasih sayang dalam kehidupannya, bersikap lemah lembut dan cinta terhadap sesama. Namun demikian, bukan berarti umat Islam harus selalu lembut dalam menyikapi persoalan. Terutama jika terkait masalah keyakinan yang mulai dilecehkan, ataupun ketika saudaranya diserang dan dizalimi oleh musuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok teladan yang cukup agung dalam masalah ini. Beliau dikenal dengan sosok yang paling santun, penuh kasih sayang, rendah hati dan pemaaf. Tidak hanya terhadap kaum muslimin, sikap yang sama ditunjukkan Rasulullah ketika bermuamalah dengan orang kafir. Beliau pernah menjenguk anak Yahudi yang lagi sakit. Selain itu, sikap lembut juga ditunjukkan terhadap musuh yang hendak membunuh beliau. Namun demikian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bersikap tegas ketika ajarannya dilecehkan atau sosoknya dinistakan. Bahkan, tidak sedikit dari mereka diperintahkan untuk dibunuh karena menghina beliau. Sebut saja misalnya, Abhalah bin Ka’ab ibnu ‘Auf Al-Aswad Al-Ansi dari Yaman, Ka’ab bin Asyraf tokoh Yahudi yang sering menghina beliau, juga Abu Rafi’ Abdullah bin Abi Al-Huqaiq yang divonis mati karena melecehkan beliau. Lebih dari itu, Rasulullah juga memberi apresiasi terhadap beberapa sahabatnya yang berhasil membunuh langsung para penghujat tanpa seizin beliau. Islam memang tidak identik dengan kekerasan, namun bukan berarti Islam hanya identik dengan lemah lebut dan diam ketika dilecehkan. Islam juga tidak berkutat dengan kewajiban jihad saja, ataupun tampil dengan senyum dan toleransi semata. Ada saatnya bersikap lemah lembut dan tegas. Sebagaimana contoh Rasululllah sallallahu ‘alaihi wa sallam saat memutuskan hukuman terhadap tujuh ratus orang bani Quraidhoh dengan hukuman pancung lantaran pengkhianatan mereka saat Perang Ahzab. Rahmatan Lil Alamin adalah Tegaknya Syariat Istilah rahmatan lil ‘alamin sebenarnya merujuk kepada firman Allah ta’ala yang mensifati tujuan diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu sebagai rahmatan lil ‘alamin (Rahmat bagi seluruh alam). Allah ta’ala berfirman: وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ “Dan kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya': 107) Sifat rahmatan lil ‘alamin yang dinisbatkan kepada pengutusan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak lain karena syariat yang beliau bawa menjadi penyelamat manusia, di dunia maupun di akhirat. hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh para mufassir ketika menjelaskan ayat di atas. Dalam tafsir Fathul Qodir, Imam As-Syaukani menafsirkan bahwa, “Tidaklah Kami mengutus engkau wahai Muhammad dengan membawa syariat dan hukum kecuali menjadi rahmat bagi seluruh manusia.” (Fathul Qodir, 3/509) Keterangan serupa juga diungkapkan oleh Imam Al-Baidhawi dalam tafsirnya, beliau berkata, “Karena tidaklah dia (Muhammad) diutus dengannya (syari’at) melainkan sebagai sebab kebahagiaan dan kebaikan mereka di dunia dan akhirat.” (Tafsir Al-Baidhowi, 4/62) Lebih jelas lagi Imam Ibnu Katsir menerangkan, “Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia telah menjadikan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Maksudnya adalah Dia mengutus Nabi Muhammad sebagai rahmat untuk semua orang. Barang siapa menerima rahmat ini dan bersyukur atas kenikmatan ini, dia akan bahagia di dunia dan akhirat. Dan barang siapa yang menolak dan mengingkarinya maka dia akan rugi di dunia dan akhirat.”(Tafsir Ibnu Katsir, 5/338) Penafsiran di atas memberikan gambaran bahwa diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan seluruh syariat yang dibawanya menjadi rahmat bagi seluruh alam. Namun dengan hadirnya rahmat ini, manusia menyikapinya dengan dua sikap. Pertama, mereka yang menerima dan mensyukuri rahmat tersebut sehingga bahagia di dunia dan akhirat. Kedua, mereka yang menolak dan mengingkari syariat tersebut sehingga akan merugi di dunia dan akhirat. Namun demikian, rahmat di sini bukan berarti hanya dirasakan oleh kaum muslimin saja, tetapi juga merata bagi seluruh umat manusia. Selain menjadikan kehidupan yang lebih teratur sesuai dengan petunjuk Sang Pencipta, hadirnya Rasulullah juga memberi rahmat bagi mereka yang tidak mau beriman, yaitu dengan di tundanya azab dari Allah ‘azza wa jalla. Kesimpulan ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Abbas di dalam tafsirnya. Beliau berkata: من آمن بالله واليوم الآخر كتب له الرحمة في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن بالله ورسوله عوفي مما أصاب الأمم من الخسف والقذف “Orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka akan memperoleh rahmat Allah dengan sempurna di dunia dan akhirat. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka akan diselamatkan dari azab yang ditimpakan kepada umat-umat terdahulu ketika masih di dunia seperti ditenggelamkan atau diterpa gelombang besar.” (lihat: Tafsir At-Thabari, 18/552) Oleh karena itu, ketika sebagian sahabat mengusulkan kepada beliau, agar mendoakan keburukan bagi orang-orang musyrik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا، وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَة “Aku diutus bukanlah sebagai pembawa kutukan, tetapi aku diutus sebagai pembawa rahmat.” (HR. Muslim) Keterangan lebih lanjut disebutkan oleh Qadhi ‘Iyadh dalam kitab Asy-Syifa, beliau menjelaskan bahwa rahmat bagi orang beriman adalah hidayah dan bagi orang munafik adalah keamanan untuk tidak diperangi, sementara rahmat bagi orang kafir adalah dengan ditundanya adzab. (Lihat: Asy Syifa 1/91) Sehingga dalam kitab Shafwatut Tafasir, Ash-Shabuni ketika menerangkan ayat di atas beliau berkata, “Maksud ayat ‘Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk’ semakna dengan sabda beliau, “Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah).” Jadi sangat salah dan sangat tidak logis jika istilah rahmatan lil alamin hanya ditafsirkan pada hal-hal yang lembut saja. Lebih fatal lagi jika istilah tersebut dijadikan sebagai dalil untuk saling mengasihi sesama orang kafir atau melarang untuk melakukan aksi pembalasan terhadap penindasan orang-orang kafir. Islam bukanlah ajaran yang hanya mengajarkan senyum dan sedekah, namun Islam juga menganjurkan umatnya untuk beramar ma’ruf nahi mungkar dan menegakkan jihad terhadap mereka yang tidak mau tunduk kepada syariat. Setiap perkara, ditempatkan Islam sesuai dengan tempatnya. Wallahu a’lam bishawab!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar