Rabu, 05 Februari 2014

RIBA & SOLUSINYA

DAMPAK PSIKOLOGIS RIBA BAGI MASYARAKAT DAN SOLUSINYA MENURUT ISLAM ABSTRAK Salah satu peraturan Islam adalah melarang atau mengharamkan dengan jelas praktek riba melalui ayat-ayat Al- Qur’ān maupun hadith-hadith Rasulullah untuk mencegah terjadinya kerusakan di dalam masyarakat. Tetapi kenyataannya bahwa sebagian besar dari kaum muslimin melakukan praktek riba, terutama dalam masalah perbankan yang dapat mengakibatkan dampak negatif di dalam masyarakat. Di antara dampak riba yang sangat berbahaya yaitu dari segi psikologis. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang diteliti di dalam penelitian ini adalah bagaimana dampak psikologis riba bagi umat Islam dalam tinjauan pendidikan Islam dan upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi dampak negatif dari riba. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan tentang dampak psikologis riba bagi masyarakat dan menemukan upaya-upaya yang harus dilakukan agar tidak terjebak dalam praktek riba yang membawa dampak negatif secara psikologis. Dalam memperoleh data, penulis menggunakan metode ”Library Research”, yaitu dengan mengumpulkan data-data yang ada di perpustakaan baik berupa data primer, sekunder dan data umum, kemudian diklasifikasikan dengan mengambil mana yang berhubungan dengan objek kajian penulis, setelah itu dianalisa. METODE PENELITIAN Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode ”Analisis Deskriptis Eksploratif”, yaitu suatu metode analisa dengan menggambarkan permasalahan yang terjadi kemudian menjelaskan pengaruh yang ditimbulkannya. Hasil yang penulis dapatkan dalam penelitian ini adalah dampak riba terhadap psikologi manusia dari segi kognitif yaitu berfikir yang tidak sesuai dengan fitrah, berfikir egoisme dan berfikir taklid pada hawa nafsu. Dari segi afektif yaitu timbulnya sifat sombong, kikir dan sifat tamak. Dari segi perilaku adalah berperilaku boros, pemerasan orang kaya terhadap orang miskin. Dari segi persepsi adalah berpandangan bahwa tujuan akhir dari hidup memperoleh harta sebanyak-banyaknya dengan tidak memperdulikan halal dan haramnya. Dari segi rohani adalah suatu tanda ketidakpatuhan terhadap syariat Allah dan terjadinya penyimpangan dalam memahami agama. Adapun upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi praktek riba adalah: Pertama, bersifat preventif yaitu dengan menerapkan sistem pendidikan Islam yang benar terutama kepada anak-anak, menjelaskan tentang bahaya riba dalam kehidupan dan mengajarkan tentang jual beli yang halal. Kedua, yang bersifat kuratif adalah memotifasi umat untuk berlomba dalam mengerjakan kebaikan, membolehkan syirkatu ‘il-mudharabah (serikat dagang), meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat dengan pembangunan ekonomi terhadap masyarakat miskin sehingga mereka dapat terhindar dari hutang- piutang yang menggunakan sistem riba dan danya upaya-upaya yang dilakukan oleh pakar ekonomi Islam untuk mendirikan perbankan syariah. Ketiga, bersifat represif yaitu dengan adanya peluang untuk daerah NAD untuk melarang praktek riba dalam berbagai jenisnya di dalam masyarakat karena telah diberlakukannya syariat Islam. Salah satu penegakan syariat Islam yaitu dengan mengharamkan praktek riba dalam kehidupan masyarakat secara umum. KATA KUNCI Sistem riba menyebabkan dampak psikologis yang sangat buruk bagi masyarakat dan akan memperlebar jurang pemisah antara sesama manusia, dan mempercepat proses pemelaratan dan kesengsaraan hidup, baik secara individu, jama’ah, negara maupun bangsa, akan sistem yang berlaku bagi kemeslahatan segelintir manusia pelaku riba, dan berakibat negatif bagi orang banyak karena merusak moral, turunnya wibawa dan harga diri. Peredaran harta menjadi tidak merata, sementara pertumbuhan ekonomi terus berjalan menuju tujuan akhir, sebagaimana kita saksikan sekarang ini yaitu sentralisasi yang sangat dominan di bawah tangan segelintir manusia yang paling jahat dan paling tidak memeliki tanggung jawab moral dan tidak kenal haram dan halal. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Dalam Islam,kita dianjurkan berusaha menuju terbentuknya manusia yang sempurna atau insan kamil.Islam juga menghendaki, agar setiap pikiran, perkataan maupun perbuatan itu tidak boleh menyimpang dari apa yang telah dituntut oleh Nabi Muhammad s.a.w. untuk mencapai kebahagiaan sebagai tujuan tersebut. Untuk itulah Islam menetapkan aturan-aturan yang sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri. Adapun sistem hidup yang dimaksud adalah mencakup bidang aqidah, ibadah, muamalah, munakahat, jinayah, dan faraidh. Di antara bidang yang penulis maksudkan adalah bidang muamalah yang mana dalam Islam diharamkan adanya praktek riba di dalam masyarakat. Mengenai masalah riba ini, Allah telah berfirman dalam surat Al- Baqarah ayat 275: Rasulullah juga menjelaskan tentang dampak riba, seperti dijelaskan dalam Hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Mājah dari Abu Hurairah: Artinya: ”Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: Riba itu mempunyai 70 dosa, sedangkan yang paling ringan seperti seseorang yang bersetubuh dengan ibunya.” (H.R. Ibnu Mājah).[i] Tetapi kenyataannya kita lihat bahwa, sebagian besar dari kaum muslimin melakukan praktek riba, terutama dalam masalah perbankan. Sejak puluhan tahun yang lalu, di berbagai belahan dunia, umat Islam telah berhubungan dengan bank yang menerapkan sistem bunga (riba) dalam transaksinya, bukan hanya bersifat pribadi, melainkan juga lembaga-lembaga, perusahaan-perusahaan, kantor-kantor pemerintah dan swasta, semuanya memanfaatkan jasa bank. ”Padahal dalam prakteknya, bank-bank itu menerapkan sistem bunga yang merupakan penghalusan dari kata Riba.”[ii] Kenyataan yang kita lihat di dalam masyarakat bahwa, sangat jelas tentang dampak yang ditimbulkan oleh riba. Di antara dampak yang sangat berbahaya yang ditimbulkan oleh riba adalah:. 1. Yaitu dapat terjadinya inflasi (penurunan nilai mata uang) di dalam masyarakat. Seperti yang dijelaskan oleh M. Syafi’i Antonio bahwa, dari segi ekonomi dapat menyebabkan dampak inflatior (penurunan nilai mata uang) yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang yang disebabkan karena salah satu elemen penentu harga adalah suku bunga, semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi harga ditetapkan pada suatu barang.[iii] 2. Menyebabkan dampak psikologis yang berbahaya di dalam masyarakat B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas, dalam penulisan memfokuskan pada satu masalah yang penulis anggap sangat urgen untuk di bahas yaitu tentang: 1. Apa dampak psikologis riba bagi umat Islam ditinjau dalam perspektif pendidikan Islam?. 2. Upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi dampak negatif dari riba? C. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini penulis menganalisa data dengan Teknik Analisis Kualitatif yaitu penelitian dengan memeriksa sebab akibat yang bersifat evaluasi dari dampak yang terjadi dengan menggunakan data primer, data sekunder dan data-data yang bersifat umum. Data primer, sekunder dan data yang bersifat umum yang merupakan informasi yang berhubungan langsung dengan objek kajian. Buku-buku tersebut menyanyakut tentang dampak riba secara psikologis dalam masyarakat Penulis mengklasifikasikan data yang sudah dikumpulkan tersebut dengan mengambil mana yang berhubungan dengan objek kajian penulis dan membuang data yang tidak diperlukan dalam kajian penulis. Data-data yang sudah diklasifikasikan tersebut kemudian dianalisa. Analisa yang penulis lakukan yaitu dengan menemukan pokok permasalahan yang akan dikaji, dan merumuskan masalah tersebut, serta berpijak kepada landasan teoretis yang dapat mendukung kajian dari penulis dan menemukan solusi yang dapat diambil untuk mengantisipasi tentang pokok masalah yang penulis kaji. Dalam penulisan ini penulis menggunakan ”Metode Deskriptif Eksploratif” yaitu dengan memberi gambaran tentang riba dengan menjelaskan tentang pengaruh psikologis dari riba di dalam kehidupan. BAB II DAMPAK RIBA SECARA PSIKOLOGIS BAGI MASYARAKAT DAN SOLUSINYA MENURUT ISLAM A. Dampak Riba Secara Psikologis Bagi Masyarakat Adapun dampak yang disebabkan dari praktek riba dalam masyarakat adalah sebagai berikut: a. Dampak Riba dari Segi Kognisi. Kelebihan manusia dengan makhluk lainnya di antaranya adalah: ”Manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang berpangkal dari kecerdasan otak atau intelektualitas yang disebut dengan kemampuan kognitif.”[iv]Dengankemampuan kognitif ini, manusia dapat mengalami perubahan tingkah laku secara sadar dan cepat. Termasuk kemampuan mengadakan reaksi terhadap rangsangan dari luar. Oleh karena itu Islam menganjurkan agar kemampuan berfikir ini dibangun pada seseorang sesuai dengan fitrah manusia yang cenderung untuk menerima kebenaran Al-Qur’an dan aturan-aturan yang ada di dalam Islam. Bila kita lihat ayat-ayat Al-Qur’ân bahwa Allah telah meletakkan kaedah-kaedah dasar untuk berfikir ilmiyah, yaitu: ”Sebuah proses berfikir yang diawali dengan pengamatan, menghimpun data, menarik kesimpulan, dan terakhir memverivikasi (pemeriksaan tentang kebenaran laporan, pernyataan) kembali kebenaran kesimpulan yang telah diambil.”[v] Ada beberapa kesalahan di dalam berfikir bagi orang-orang yang cenderung untuk menghalalkan riba dan berhubungan dengan sistem ribawi. Kesalahan itu adalah sebagi berikut: 1. Berfikir yang menyimpang dari fitrah manusiawi. Abdul Mujib, (dengan mengutip pendapat Ibnu Mansur dan Al-jurjany), Beliau menjelaskan tentang fitrah bahwa: Artinya: ”Fitrah adalah kondisi konstitusi dan karakter yang dipersiapkan untuk menerima agama.”[vi] Dengan demikian orang yang tidak mengindahkan perintah agama berarti telah menyimpang dari fitrah manusiawi yang benar. 2. Berfikir egoisme dan untuk keuntungan pribadi serta tidak mempedulikan kemeslahatan orang banyak. Berfikir taqlid dan mengekor pada sistem riba dari orang kafir dengan tidak melakukan verivikasi terlebih dahulu tentang kebenaran pendapat tersebut. Padahal Rasulullah mengingatkan umat manusia agar tidak mengikuti dan bertaqlid kepada pendapat orang lain dalam melakukan aktivitasnya sebagaimana taqlid orang buta yang tidak lagi bisa melihat dengan jelas. b. Dampak Riba dari Segi Afeksi Afeksi merupakan ”Hal-hal yang menyangkut dengan sesuatu yang berhubungan dengan sikap, perasaan, tata nilai, minat dan apresiasi”.[vii] Nilai-nilai afektif ini yang berpengaruh bagi seorang muslim dalam menata kehidupannya di dunia dan dalam berhubungan dengan masyarakat. Orang yang memiliki sikap (akhlak) yang baik di dalam masyarakat akan disegani dan dihormati. Orang yang telah terpengaruh dengan riba akan mengalami sikap dan emosional yang tidak stabil dalam hidupnya. Dari ketidakstabilan dalam hidup akan melahirkan sifat-sifat dan sikap-sikap yang tercela yang sangat dibenci dalam ajaran Islam. Sifat atau sikap tercela yang dapat merusak pribadi dan masyarakat akibat dari praktek riba adalah: 1. Sombong Sombong yaitu sifat yang mementingkan diri sendiri, dan tidak menghiraukan orang lain. Yang penting baginya adalah dirinya sendiri dan tidak memperdulikan apa yang menimpa saudaranya. Maka lenyaplah dalam dirinya semangat suka berkorban dan mengutamakan kepentingan orang lain, sehingga hilanglah rasa cinta kepada kebaikan dan berbuat kebaikan di dalam masyarakat. 2. Kikir Seseorang yang menganggap bahwa apa yang ada pada dirinya seolah-olah akan membawa kebahagiaan, akan sulit memberikan pertolongan kepada orang lain, karena ia memandang akan mengurangi hartanya. 3. Timbulnya sifat tamak Salah satu efek dari riba adalah timbulnya sifat tamak dan mencintai harta secara berlebih-lebihan. Tamak dan loba terhadap harta tanpa mengenal halal dan haram. Sungguh amat tercela dalam ajaran Islam. Sifat ini timbul karena seseorang menganggap hartalah satu-satunya yang membahagiakan hidup sesorang. Dalam hal ini A.M. Saefuddin mengutip pandangan sayid Qutb menjelaskan: ”Perbuatan riba hanya akan merusak nurani akhlak dan perasaan tiap individu terhadap saudaranya sejama’ah, dan merusak kehidupan sosial yang ditimbulkan oleh sifat loba, tamak, egois, curang dan spekulatif”.[viii] 4. Hilangnya rasa kasih sayang Rasa kasih sayang merupakan ciri khas Rasulullah, para sahabat dan umat Islam secara keseluruhan. Terutama sekali kasih sayang sesama muslim itu sendiri. Rasa kasih sayang adalah ”Perasaan halus dan belas kasihan di dalam hati yang membawa kepada berbuat amal yang utama, memberi maaf dan berlaku ihsan”.[ix] Jadi, perasaan kasih sayang selalu harus dibuktikan dengan amalan, akhlak yang baik dan perbuatan yang diridhai Allah lainnya. c. Dampak Riba dari Segi perilaku Dari sisi lain, pengaruh dari praktek riba akan melahirkan perilaku yang menyimpang dari aturan agama dan menyebabkan kerusakan individu dan sosial. Di antara perilaku yang menyimpang yang lahir dari praktek riba adalah: 1. Berperilaku boros Kesan dari mengejar kekayaan dengan jalan riba adalah timbulnya dalam diri seseorang sifat boros yaitu suka menghambur-hamburkan harta sesuka hatinya saja. Rasa hemat dan cermat telah hilang. Ini disebabkan karena ia merasa bahwa kekayaan yang diperoleh itu mudah baginya. 2. Terjadinya pemerasan orang kaya terhadap orang miskin Perilaku yang memeras dalam bentuk apapun adalah suatu perbuatan yang dilarang di dalam Islam dan sangat dituntut unuk meninggalkannya, karena pemerasan akan mewujudkan permusuhan di dalam masyarakat. Banyak cara yang bisa dilakukan oleh orang kaya untuk memeras orang miskin. Hal ini terutama dapat berlaku di dalam sistem riba. Dalam sistem riba ini jelas sekali adanya pemerasan orang kaya (bermodal) terhadap mereka yang miskin. Sebagai contoh, orang miskin yang tidak mempunyai modal atau kebutuhan yang mendesak, meminjam uang dari orang kaya. Mereka telah mengambil kesempatan ini untuk mendapat keuntungan dengan memungut bunga/ riba. Ini adalah pemerasan terhadap orang miskin, karena apabila mereka belum dapat melunasi hutangnya, jelas bunga akan bertambah dari tahun ke tahun, sedangkan uang pokok saja belum dapat dilunasi. Ini merupakan suatu bentuk pemerasan terhadap orang miskin yang sangat dilarang di dalam agama. Bahkan di dalam ayat di atas disebutkan bahwa orang yang tidak memberi makan orang miskin akan dimasukkan ke dalam neraka, apalagi orang yang memeras mereka. d. Dampak Riba dari Segi Persepsi Sebagaimana telah penulis jelasakan bahwa sistem riba ditegakkan atas dasar pandangan (persepsi) yang salah dan sangat merusak. Oleh karena itu menurut persepsi ini, tujuan akhir dari hidup adalah memperoleh harta dengan sebanyak mungkin dengan cara apapun, untuk dinikmati dengan sesuka hatinya. Atas dasar itu pula ia kerahkan pikiran dan tenaganya untuk mengumpulkan harta kekayaan, ia telusuri jalan yang benar atau salah, halal atau haram, tanpa ia perdulikan apapun demi mencapai tujuannya. Akibat dari persesi yang seperti ini akan dapat merusak hubungan sesama manusia. A.M. Saifuddin dalam hal ini menegaskan bahwa: Sistem riba akan memperlebar jurang pemisah antara sesama manusia, dan mempercepat proses pemelaratan dan kesengsaraan hidup, baik secara individu, jama’ah, negara maupun bangsa, akan sistem yang berlaku bagi kemeslahatan segelintir manusia pelaku riba, dan berakibat negatif bagi orang banyak karena merusak moral, turunnya wibawa dan harga diri. Peredaran harta menjadi tidak merata, sementara pertumbuhan ekonomi terus berjalan menuju tujuan akhir, sebagaimana kita saksikan sekarang ini yaitu sentralisasi yang sangat dominan di bawah tangan segelintir manusia yang paling jahat dan paling tidak memeliki tanggung jawab moral dan tidak kenal haram dan halal.[x] Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa riba tidak hanya merusak hubungan sesama manusia secara pribadi, melainkan juga dapat merusak hubungan manusia dengan sesamanya serta merusak seluruh hubungan sosial kemasyarakatan yang di dasari sifat tamak dan loba dari para pemungut riba. e. Dampak Riba dari Segi Rohani Dimensi rohani (spiritual) yaitu dimensi yang paling penting di penuhi kebutuhannya di bandingkan dengan dimensi material, karena dimensi rohani menyangkut dengan ketenangan jiwa, keamanan, lapang dada dan ketenteraman. Dimensi ini hanya dapat dipenuhi dengan mentauhidkan Allah. Rasulullah mengajak para sahabatnya untuk senantiasa beriman kepada Allah, mendekatkan diri kepadanya, melakukan segala sesuatu yang diridhai Allah, meyakini keEsaan Allah dan meminta pertolongan kepada Allah Akan tetapi sebaliknya bagi orang yang berdosa dan para pemakan riba akan sangat merugikan mereka sendiri dan mendapat siksa dari Allah baik di dunia maupun di akhirat. Adapun dampak riba bagi para pemakan riba dalam agama dan dari segi rohani adalah sebagai berikut: 1. Para pemakan riba tidak cenderung untuk membantu fakir miskin Orang yang mempraktekkan riba, sangat sulit dalam membantu orang yang membutuhkan karena mereka menganggap uang itu bukan untuk di bagikan, melainkan untuk di lipat gandakan. Apabila mereka membantu fakir miskin maka tidak ada lagi orang yang meminjamkan uang dengan membayar bunga. Padahal Allah menyuruh untuk menyuburkan sedekah dan memusnahkan riba. Seperti firman Allah dalam surat Al- Baqarah ayat 276. 2. Riba merupakan perbuatan yang bathil dan mendapat siksa dari Allah Memakan riba merupakan suatu kebatilan di dalam agama yang sangat dilarang oleh Allah dan mendapat siksa bagi orang yang melakukannya seperti di dalam firman Allah dalam surat An-Nisa’: 161. B. Solusi Menurut Islam Adapun upaya yang dilakukan dalam mengantisipasi praktek riba di dalam masyarakat adalah: A. Upaya yang bersifat preventif (pencegahan) Adapun upaya yang sifatnya preventif adalah sebagai berikut: 1. Menerapkan sistem pendidikan Islam yang benar Membaca adalah kunci untuk memahami ilmu, al-Qur’ân diturunkan untuk orang-orang berilmu, sebagaimana firman Allah dalam surat Fushilat ayat 3 : Al-Qur’ân memandang penelitian itu suatu yang wajib, berfikir itu suatu ibadah, mencari kebenaran itu suatu qurbah (mendekatkan diri kepada Allah), mempergunakan alat-alat pengetahuan itu sebagai pernyataan syukur terhadap nikmat Allah dan mengabaikan hal itu semua jalan menuju neraka jahannam. Dengan demikian tidak ada yang dapat menyelamatkan manusia dari keburukan dan kerugian kecuali beriman kepada Allah dan juga hari Akhirat, beramal shaleh dan saling berpesan menetapi kesabaran dam mewujudkan kebenaran serta memerangi kebathilan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’ân surat Al- Ashr ayat 1 s/d 3. Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa ”Keselamatan manusia dari kerugian dan azab Allah dapat tercapai melalui tiga bentuk pendidikan berikut. Pertama, pendidikan individu yang membawa manusia pada keimanan dan ketundukan kepada syari’at Allah serta beriman kepada yang Gaib; Kedua, pendidikan diri yang membawa manusia pada amal saleh dalam menjalani hidupnya sehari-hari; dan, Ketiga, pendidikan masyarakat yang membawa manusia pada sikap saling pesan dalam kebenaran dan saling memberi kekuatan ketika menghadapi kesulitan yang ada pada intinya, semuanya ditujukan untuk beribadah kepada Allah”.[xi] 2. Menjelaskan kepada masyarakat tentang bahaya riba dalam kehidupan Di dalam Islam dalam pengharaman riba dijelaskan secara logis tentang bahaya riba dan sebab- sebab Allah mengharamkannya, sehingga bagi masyarakat yang meninggalkan riba, benar-benar dengan suatu keyakinan dan bukan karena mengekor kepada orang lain. Ahmad Mustafa Al-Marâghi, menjelaskan tentang sebab-sebab pengharaman riba yaitu: a) Riba bisa menghambat seseorang dalam mengambil profesi yang sebenarnya, seperti berbagai jenis keahlian dan perindustrian. Maksudnya orang yang mempunyai uang dan bisa mengembangkan kekayaannya dengan jalan riba, maka orang tersebut akan meremehkan kerja. Sebab alur rezeki dapat mereka tempuh melalui jalur riba itu. Lalu, ia terbiasa dengan kemalasan, dan membenci pekerjaan. Yang menjadi tujuan adalah mengeruk kekayaan orang lain dengan cara yang bathil yang tidak dibenarkan oleh agama. b) Riba dapat melahirkan permusuhan, saling benci, bertengkar dan saling baku hantam. Sebab riba itu mencabut rasa belas kasihan dari hati dan mencemarkan harga diri, lantaran riba, perasaan saling rasa kejam dan sadis yang tak berperi kemanusiaan. Sehingga apabila terdapat seseorang yang miskin dan lapar, tidak ada seorang pun yang mau menolongnya untuk memberikan makanan guna menutupi kelaparan itu. c) Allah menggariskan secara muamalah antara sesama manusia di dalam hal bisnis. Antara satu pihak dengan pihak yang lain, dibolehkan mengambil keuntungan dengan jual-beli. Tetapi dalam riba, uang diambil tanpa adanya pengganti (barang) dan ini merupakan suatu perbuatan yang dhalim. 3. mengajarkan tentang jual beli yang halal Hendi Suhendi mendefinisikan bahwa jual beli adalah: ”Suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain yang menerima sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang dibenarkan syara’ dan di sepakati.”.[xii] Ada perbedaan yang sangat penting untuk diketahui sebagai alasan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Menurut Anwar Iqbal Al-Quresyi dalam bukunya, ada beberapa kriteria yang membedakan antara riba dengan jual beli yaitu: a) Hal yang menyebabkan riba dilarang karena perbuatan ini memungkinkan seseorang memaksakan pemilikan harta benda orang lain tanpa alasan yang yang diizinkan oleh peraturan ataupun yang akan diberikan keuntungan bagi sipemiknya. Orang yang melakukan perampasan ini, tidak akan memperdulikan hak orangn lain yan diperas yang menyebabkan orang yang berhutang tadi jadi sangt miskin,karena itu hal tersebut termasuk tindakan yang sangat tidak adil. b) Penghasilan yang diterima dari bunga uang menghambat si penerimanya (pemberi hutang) untuk ikut berusaha memasuki suatu jabatan atau pekerjaan di dalam masyarakat, karena ia dengan gampang saja membiayai hidupnya dengan bunga uang atau pinjaman berjangka. Karena itu ia tidak mau lagi berusaha untuk memangku jabatan yang berhubungan dengan dipakai tenaganya atau sesuatu yang dibutuhkan kerja keras. Hal ini akan membawa kemunduran terhadap masyarakat yang seperti telah menjadi kenyataan, dunia tidak bisa berkembang dengan baik tanpa perdagangan, seni dan kerajinan tangan. c) Riba atau pembungaan uang dilarang karena hutang selalu menurunkan harga diri dan kehormatan seseorang di dalam masyarakat tidak lagi mau pinjam meminjam uang. Hal ini akan menghancurkan perasaan saling hormat menghormati, sifat baik manusia serta perasaan berhutang budi. d) Dalam sistem jual beli selalu ada kemunakinan untung ataupun rugi, sedangkan dalam sistem riba orang yang mempunyai modal terus menerus beruntung dan tidak pernah rugi. Bagaimanapun besarnya keuntungan dari jual beli, ia hanya didapat sekali saja dari modal yang dikeluarkan. Sedangkan sistem riba merengguk keuntungan terus menerus dari hasil jerih payah orang lain. e) Alasan terakhir adalah karena Kitab suci Al-Qur’an undang-undang tertinggi dalam Islam, memerintahkan secara tegas dan tidak dapat ditawar-tawar pelanggaran terhadap segala bentuk riba dan menghalalkan jual-beli.[xiii] B. Upaya yang sifatnya kuratif (memberi solusi) 1. Memotifasi umat untuk berlomba dalam mengerjakan kebaikan: a) menganjurkan untuk menyuburkan sedekah b) Memberikan hutang kepada orang yang kesukaran 2. Dengan membolehkan syirkatu ‘il-mudharabah (serikat dagang), yaitu kapital dari seseorang kemudian digolongkan (diusahakan) oleh orang lain. Keuntungan di bagi dua sesuai dengan jumlah yang telah disepakati bersama. Jika rugi, maka penanggung kerugian adalah orang yang mempunyai kapital. Sedang orang yang menggolongkannya, ia tidak ikut menanggung, karena cukup baginya dengan pengorbanan waktu dan tenaga dalam mengembangkan modal tersebut. 3. Dengan memperkenankan perjualan as-salam, yaitu penjualan suatu barang dengan pembayaran didahulukan. Maka, barangsiapa yang sangat memerlukan uang, ia dapat menjual sesuatu pada musim dihasilkannya dengan harga yang sesuai, dengan persyaratan yang sesuai. 1. Dengan memperkenankan ”Penjualan dengan pembayaran di tangguhkan”, yaitu dengan tambahan dari harga dalam penjualan kontan. Islam membolehkannya untuk kemeslahatan manusia, dan untuk menghadari praktek riba. 2. Dengan menganjurkan didirikannya lembaga-lembaga qiradh yang baik, secara individual atau kolektif, bahkan di bawah pengelolaan pemerintah, untuk merealisasikan prinsip solidaritas sosial antar umat manusia. 3. Membuka lembag-lembaga zakat untuk menolong orang yang tidak dapat membayar hutang, membantu orang yang tidak punya, atau orang asing yang kehabisan bekal. 4. Pemerintah harus meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat dengan pembangunan ekonomi terhadap masyarakat miskin sehingga mereka dapat terhindar dari hutang- piutang yang menggunakan sistem riba. 5. Harus Adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh pakar ekonomi Islam untuk mendirikan perbankan syariah untuk mengantisipasi terjadinya dampak riba di dalam perbankan C. Upaya refresif (penegakan hukum) Adanya peluang untuk daerah NAD untuk melarang praktek riba dalam berbagai jenisnya di dalam masyarakat karena telah adanya keistimewaan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dalam pemberlakuan syariat Islam. Salah satu penegakan syariat Islam yaitu dengan mengharamkan praktek riba dalam kehidupan masyarakat secara umum BAB III KESIMPULAN Berdasarkan uraian-uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab terakhir ini penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan serta mengajukan beberapa saran. A. Kesimpulan 1. Dampak riba terhadap psikologi manusia baik secara kognitif yaitu berfikir yang tidak sesuai dengan fitrah, berfikir egoisme dan berfikir taklid pada hawa nafsu. Dari segi afektif yaitu timbulnya sifat sombong, kikir dan sifat tamak. Dari segi perilaku adalah berperilaku boros, pemerasan orang kaya terhadap orang miskin 2.Upaya- upaya yang yang dilakukan dalam mengantisipasi praktek riba dalam masyarakat yaitu yang bersifat preventif seperti: Menerapkan sistem pendidikan Islam yang benar terutama kepada anak-anak, menjelaskan tentang bahaya riba dalam kehidupan dan mengajarkan tentang jual beli yang halal. Upaya yang bersifat kuratif adalah: Memotifasi umat untuk berlomba dalam mengerjakan kebaikan, membolehkan syirkatu ‘il-mudharabah (serikat dagang), meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat dengan pembangunan ekonomi terhadap masyarakat miskin sehingga mereka dapat terhindar dari hutang- piutang yang menggunakan sistem riba dan danya upaya-upaya yang dilakukan oleh pakar ekonomi Islam untuk mendirikan perbankan syariah. Dan upaya yang bersifat refresif adalah adanya peluang untuk daerah NAD untuk melarang praktek riba dalam berbagai jenisnya di dalam masyarakat karena telah diberlakukannya syariat Islam. Salah satu penegakan syariat Islam yaitu dengan mengharamkan praktek riba dalam kehidupan masyarakat secara umum. Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum menanam saham di bank-bank dan selainnya. Jawaban [1]. Jika menanam sahamnya di pos-pos riba seperti bank-bank, maka tidak halal hukumnya bagi siapapun untuk menanamkan sahamnya di sana sebab semua itu didirikan dan berjalan di atas riba. Kalaupun ada transaksi-transaksi yang halal di dalamnya maka hal itu terbatas sekali bila dibandingkan dengan riba yang dilakukan oleh para pegawai bank-bank tersebut. [2]. Sedangkan bila menanam saham pada transaksi yang tujuannya adalah berbisnis industri, pertanian atau sepertinya, maka hukum asalnya adalah halal. Akan tetapi disana juga ada semacam syubhat sebab nilai tambah (surplus) beberapa dirham yang ada pada mereka, mereka simpan di bank-bank sehingga mereka mengambil ribanya, barangkali mereka mengambil beberapa dirham dari bank dan pihak bank memberikan riba kepada mereka. Maka dari aspek ini kami katakan, “Sesungguhnya sikap yang wara (selamat) adalah seseorang tidak menanamkan saham di perusahaan-perusahaan seperti ini”. Sesungguhnya Allah akan menganugrahinya rizki, bila telah diketahui niatnya tidak melakukan hal itu (menanam saham) semata karena sikap wara dan rasa takut terjerumus ke dalam hal yang syubhat (samar). Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas sedangkan diantara keduanya terdapat hal-hal yang syubhat (samar-samar) yang tidak banyak diketahui oleh manusia, barangsiapa yang menjaga dirinya dari hal-hal yang syubhat (samar-samar) tersebut, berarti dia telah membebaskan tanggungan dirinya untuk (kepentingan) agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam hal-hal yang syubhat (samar-samar), berarti dia telah terjerumus ke dalam hal yang haram, seperti halnya seorang pengembala yang menggembalakan (ternaknya) disekitar lahan yang terlarang yang memungkinkan ternak tersebut masuk ke dalamnya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari, kitab Al-Iman 52, Muslim, kitab Al-Musaqah 1599] Akan tetapi bagaimana solusinya bilamana seseorang sudah terlanjur menanamkan saham atau semula ingin menanamkan saham namun tidak menempuh jalan yang lebih baik, yaitu jalan wara’? Disini kami mengatakan, “Solusinya dalam kondisi seperti ini adalah bila hasil keuntungannya diserahkan dan di dalamnya terdapat slip yang menjelaskan sumber-sumber didapatnya keuntungan tersebut, maka : [a]. Yang sumbernya halal, maka dianggap halal [b]. Yang sumbernya haram seperti bila mereka mengatakan secara terang-terangan bahwa keuntungan ini adalah hasil dari bunga-bunga bank, maka wajib bagi seseorang untuk melepaskan diri (menghindar) darinya dengan cara mengalokasikannya kepada kepentingan-kepentingan umum maupun khusus, bukan sebagai bentuk taqarrub (ibadah) kepada Allah tetapi sebagai bentuk menyelamatkan diri dari dosanya, sebab andai dia berniat taqarrub kepada Allah dengan hal itu, maka hal itu tidak akan menjadi sarana yang dapat mendekatkan dirinya kepadaNya. Karena, Allah adalah suci, tidak menerima kecuali yang suci. Juga, dia tidak bisa selamat (terhindar) dari dosanya, tetapi barangkali dia diganjar pahala atas ketulusan niat dan taubatnya. [c]. Bila di dalam keuntungan-keuntungan tersebut tidak terdapat slip (daftar) yang menjelaskan mana yang dilarang dan mana yang dibolehkan, maka sikap yang lebih utama dan berhati-hati adalah mengeluarkan separuh dari keuntungan tersebut, sedangkan keuntungan yang separohnya tetap halal baginya sebab bila tidak diketahui berapa ukuran (prosentase) harta yang mirip-mirip dengan yang lainnya tersebut, maka sikap yang berhati-hati adalah mengeluarkan separuhnya, sehingga tidak ada orang yang menzhalimi dan terzhalimi. [Fatawa Mu’ashirah, hal.55-57, dari Fatwa Syaikh Ibn Utsaimin] Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang pemuda masih melanjutkan studi di Amerika dan terpaksa menyimpan uangnya di bank ribawi. Oleh karena itu, sebagai imbalannya, bank memberinya bunga ; apakah boleh dia mengambilnya, lalu mengalokasikannya ke berbagai proyek amal (kebajikan) ? Sebab, bila dia tidak mengambilnya, maka bank tersebut akan menggunakannya untuk kepentingannya. Jawaban Pertama. Saya tegaskan bahwa seseorang tidak boleh hukumnya menyimpan uangnya di bank-bank seperti itu karena jika bank-bank tersebut menyimpan uangnya, ia akan menggunakannya dan membisniskannya. Sebagaimana telah diketahui bahwa kita tidak selayaknya memberikan kesempatan kepada orang-orang kafir untuk menguasai harta-harta kita, yang kemudian mereka pergunakan untuk mengais rizki di balik itu. Jika memang terpaksa melakukan hal itu, seperti seseorang takut hartanya dicuri atau dirampas, bahkan khawatir dirinya dibunuh karena hartanya mau dirampok ; maka tidak apa-apa dia menyimpan hartanya di bank-bank seperti itu karena terpaksa (darurat). Akan tetapi, ketika dia menyimpannya dalam kondisi terpaksa. Tidak boleh dia mengambil sesuatu sebagai imbalan atas simapanan tersebut, bahkan haram hukumnya karena itu adalah riba, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan dalam firmanNya. “Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu ; kamu tidak menganiaya dan tida (pula) dianiaya” [Al-Baqarah : 278-279] Ayat tersebut sangat transparan dan jelas sekali melarang kita agar tidak mengambil sesuatupun darinya. Saat hari Arafah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpidato di hadapan kaum muslimin seraya bersabda. “Artinya : Ketahuilah, sesungguhnya riba jahiliyah sudah dilenyapkan” Jadi, riba yang sebelum Islam pernah dijalankan telah dilenyapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Artinya : Dan, riba pertama dari riba (yang pernah ada dalam kehidupan) kami, yang aku lenyapkan adalah riba (yang dilakukan) Abbas bin Abdul Muththalib. Sesungguhnya riba itu semua telah dilenyapkan” [Hadits Riwayat Muslim, Kitabul Hajj 1218] Jika anda mengatakan, sesungguhnya bila anda tidak mengambilnya, maka mereka itu akan menguasai harta anda, mengambilnya dan menggunakannya untuk kepentingan gereja-gereja dan perlengkapan-perlengkapan perang guna memerangi kaum muslimin. Jawaban kaim, sesungguhnya jika saya melaksanakan perintah Allah untuk meninggalkan riba, maka apa yang dihasilkan dari hal itu bukanlah dari usaha saya. Saya diperintahkan dan dituntut untuk melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla. Dan bila kemudian implikasinya adalah timbulnya berbagai kerusakan, maka itu bukan buah dari yang saya upayakan. Bagi saya, ada hal yang perlu didahulukan dari Allah, yaitu menjalankan firmanNya. “Artinya : Tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)” [Al-Baqarah : 278] Kedua. Kami akan mengatakan, apakah bunga yang diberikan kepada saya berasal dari harta saya sendiri ? Jawabannya. Sesungguhnya ia bukanlah berasalah dari harta saya sebab bisa jadi mereka menginvestasikan harta saya, membisniskannya lantas merugi. Jadi, bunga yang diberikan kepada saya jelas bukan buah dari pengembangan harta milik saya bahkan mereka terkadang juga mendapatkan keuntungan atau mendapatkan keuntungan yang lebih dari iru. Atau bisa jadi pula mereka sama sekali tidak mendapatkan keuntungan dari harta milik saya tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan, ketika mereka menguasai sesuatu dari harta milik saya, mereka akan menyalurkannya untuk kepentingan gereja-gereja atau membeli sejata yang banyak untuk menghadapi kaum muslimin. Ketiga. Kami akan mengatakan bahwa mengambil harta riba tersebut, berarti telah terjerumus ke dalam hal yang telah diakui orang sebaga riba sebab orang ini kelak di Hari Kiamat akan mengakui di hadapan Allah bahwa ia adalah riba. Bila demikian halnya riba, apakah mungkin seseorang beralasan lagi bahwa sesuatu memiliki maslahat padahal dia yakin adalah riba ? Jawabannya, Tidak. Sebab, qiyas tidak berlaku bila bertentangan dengan nash (teks) agama. Keempat. Apakah sudah dapat dipastikan bahwa mereka, seperti penuturan anda, mengalikasikannya untuk kepentingan gereja-gereja atau pembuatan perlengkapan-perlengkapan perang melawan kaum muslimin ? Jawabnya, hal itu tidak dapat dipastikan. Jadi, bila kita mengambilnya, berarti kita telah jatuh ke dalam larangan yang riil hanya demi manjaga timbulnya kerusakan yang masih ilusif (samara), sedangkan akal sulit menerima hal itu. Artinya, akal sulit menerima bahwa seseorang melakukan sesuatu yang menimbulkan kerusakan yang riil untuk mencegah kerusakan yang ilusif ; yang bisa terjadi dan bisa pula tidak. Sebab, boleh jadi bank mengambil bunga tersebut hanya untuk kepentingannya semata. Boleh jadi pula, para pegawai bank itu mengambilnya hanya untuk kepentingan pribadi masing-masing, sebaliknya, tidak dapat dipastikan pula bahwa bunga bank riba tersebut digunakan untuk kepentingan gereja-gereja atau perlengkapan-perlengkapan perang melawan kaum muslimin. Kelima. Bahwa bila anda mengambil apa yang anda klaim sebagai bunga dengan niat akan menyalurkannya dan mengeluarkannya dari kepemilikan anda sebagai upaya menghindarkan diri darinya, maka ini samalah artinya anda telah melumuri diri anda dengan keburukan untuk kemudian berusaha mensucikannya kembali. Ini bukan cara berfikir yang logis. Oleh karena itu, kami tegaskan : “Jauhilah keburukan tersebut terlebih dahulu sebelum anda melumuri diri dengannya, baru kemudian berusaha untuk mensucikan diri darinya. Apakah dapat diterima, bahwa ada seseorang melempar pakaiannya kea rah air kencing demi untuk mensucikannya bila terkena air kencing tersebut ? Sama sekali ini tidak masuk akal. Jadi, selama anda meyakini bahwa ini adalah haram dan riba, kemudian anda mengambilnya, menyedekahkannya dan menghindarkan diri (berlepas diri) darinya. Kami katakana, seharusnya dari awal, jangan anda ambil dan bersihkan diri anda darinya. Keenam. Kami katakana lagi, bila seseorang mengambilnya dengan niat seperti itu, apakah dia yakin bisa mengalahkan (ketamakan) dirnya sehingga dapat menghindar darinya dengan cara mengalokasikannya kepada hal yang berbentuk sedekah atau kemaslahatan umum ? sama sekali tidak, sebab boleh jadi dia mengambilnya dengan niat seperti itu akan tetapi kemudian bila hatinya menginformasikan kegunaannya dan jiwanya membisikkan agar mempertimbangkannya kembali bila mendapatkan bung riba tersebut dalam jumlah sekian ikat (lembar), seperti satu juta atau seratus ribu. Maka, memang dia pada mulanya memiliki tekad, namun kemudian tekad tersebut berubah menjadi pertimbangan terhadapnya. Setelah mempertimbangkan hal itu, dia berubah pikiran lagi untuk memasukkannya saja ke dalam kotak. Seseorang tidak dapat menjamin dirinya ; kadangkala dia mengambil dengan niat seperti itu, namun tekadnya batal ketika melihat sekian banyak ikatan (lembaran) uang tersebut, lalu menjadi tamak dan tidak berdaya untuk mengeluarkannya lagi. Pernah diceritakan kepada saya kisah sebagian orang-orang bakhil yang pada suatu hari naik keatas loteng rumah dan memasukkan dua jarinya ke dalam dua telinganya lantas berteriak ke arah tetangganya, “Tolonglah saya, tolonglah saya!!” Merekapun menghampirinya sembari berkata, “Ada apa gerangan, wahai fulan ?” Dia menjawab, “Saya telah memisahkan zakat saya dari harta saya untuk mengeluarkannya, tetapi saya mendapatkannya banyak sekali, lalu jiwa saya membisikkan, ‘Bila ia diambil oleh orang lain, hartamu pasti akan berkurang’. Karena itu, tolonglah saya agar bisa lepas dari cengkeramannya !”. Ketujuh. Sesungguhnya mengambil riba merupakan tindakan menyerupai orang-orang Yahudi yang telah dicela oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya. “Artinya : Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi. Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah melarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih” [An-Nisa : 160-161] Kedelapan. Sesungguhnya mengambil riba berarti membahayakan dan menyakiti kaum muslimin, sebab para tokoh agama Nashrani dan Yahudi mengetahui bahwa dienul Islam mengharamkan riba ; Bila si muslim ini mengambilnya, mereka akan berkata, “Coba lihat, kitab kaum muslimin itu mengharamkan riba atas mereka tetapi mereka tetap mengambilnya dari kita” Tidak dapat disangkal lagi, bahwa ini adalah titik kelemahan kaum muslimin, sebab bila musuh-musuh sudah mengetahui bahwa kaum muslimin telah menyimpang dari dien mereka, maka tahulah mereka secara yakin bahwa inilah titik kelemahan mereka (kaum muslimin). Sebab, perbuatan maksiat tidak hanya berimplikasi kepada pelaku maksiat di kalangan kaum muslimin saja, tetapi terhadap Islam secara keseluruhan. Dalam hal ini, Allah berfirman. “Artinya : Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu” [Al-Anfal : 25] Mari kita renungkan, para sahabat yang merupakan Hizbullah dan tentaraNya keluar pada perang Uhud bersama manusia paling mulia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu melakukan satu kali maksiat saja, apa yang terjadi terhadap mereka setelah itu ? Kekalahan, setelah sebelumnya mendapatkan kemenangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Artinya : Sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai” [Ali Imran : 152] Yakni terjadilah apa yang tidak kalian sukai Jadi, perbuatan-perbuatan maksiat memiliki pengaruh yang besar terhadap keterbelakangan kaum muslimin dan penguasaan oleh musuh-musuh Islam terhadap mereka serta kekerdilan diri mereka di hadapan mereka. Manakalah setelah diraihnya kemenangan, ia bisa lepas akibat perbuatan maksiat ; maka bagaimana tanggapan anda manakala kemenangan belum lagi diraih ? Musuh-musuh kaum muslimin akan bergembira bilamana kaum muslimin mengambil riba. Sekalipun dari sisi lain mereka tidak menyukai hal itu, akan tetapi mereka bergembira lantaran kaum muslimin akan kalah bila terjerumus ke dalam perbuatan maksiat. Salah satu dari kedelapan aspek negatif yang dapat saya tuangkan tadi cukup sebagai dalil pelarangan mengambil bunga-bunga bank tersebut. Menurut perkiraan saya, rasanya seorang yang mencermati hal ini dan merenungkannya secara penuh hanya akan mendapatkan bahwa pendapat yang benar dalam masalah ini adalah ketidakbolehan mengambilnya. Dan inilah pendapat yang saya pegang dan saya fatwakan. Bilamana ia benar, maka hal itu semata berasal dari Allah, Dia-lah Yang menganugrahkannya dan segala puji bagi Allah atas hal itu. Jika ia keliru, maka semata ia berasal dari diri saya akan tetapi saya berharap ia adalah pendapat yang benar sesuai dengan hikmah-hikmah dan dalil-dalil Sam’iy (nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang telah saya sebutkan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu, wa ba’du: Saya mohon kesediaan Fadhilatusy Syaikh untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut : Beberapa hari ini ramai dipublikasikan di berbagai mass media acara ‘Tutup Buku’ yang akan dilakukan oleh ‘Riyadh Bank’, apakah boleh hukumnya ikut menanamkan saham di dalamnya ? Apa peran ulama, da’i dan penceramah terhadap hal ini ? Apa pendapat Fadhilatusy Syaikh mengenai hukum bekerja di ‘Riyadh Bank’ dan bank-bank sejenisnya yang bertransaksi dengan bunga bank ? Jawaban Sebagaimana telah diketahui bahwa bank terbangun atas pondasi riba. Misalnya, dengan cara memberi seribu lalu mengambil seribu dua ratus, atau mengambil seribu lalu memberi seribu dua ratus ; dengan begitu berarti ia telah memakan riba dan memberi makan dengannya, sekalipun terkadang bank tersebut memiliki transaksi-transaksi lain tanpa riba akan tetapi pondasi asalnya adalah terbangun di atas riba tersebut. Inilah realitas yang telah dikenal darinya. Berdasarkan hal ini, maka tidak halal hukumnya menanamkan saham di dalamnya sesuai dengan firman Allah. “Artinya : Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka bagiannya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) ; dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka ; mereka kekal didalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”. [Al-Baqarah : 275-276] Dalam ayat yang mulia di atas terdapat pernyataan tegas bahwa riba adalah haram, yang diharamkan oleh Allah Yang Mahamemiliki seluruh kerajaan, Yang hanya bagiNya semata putusan hukum dan kepada syari’atNya tempat berhukum. Dalam ayat yang lain setelah ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah menjelaskan bahwa mengambil riba berarti memaklumatkan perang terhadap Allah dan RasulNya, sebagaimana firmanNya. “Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu ; kamu tidak menganiaya dan tida (pula) dianiaya”. [Al-Baqarah : 278-279] Sedangkan di dalam kitab Shahih Muslim dari hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata. “Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pemakan riba, pemberi makan dengannya, penulisannya dan kedua saksinya. Beliau mengatakan, ‘Mereka itu sama saja”. [Hadits Riwayat Muslim, Kitab Al-Musaqah 1598] Makna ‘Laknat’ adalah terusir dan jauh dari rahmat Allah, demikian ditafsirkan oleh para ulama. Jadi, dalam kedua ayat yang mulia dan hadits di atas terdapat petunjuk yang amat jelas dan tegas bahwa riba termasuk dosa besar. Di dalam hadits, khususnya, terdapat petunjuk bahwa orang yang membantu melakukan riba, baik dengan cara mencatatkan atau bersaksi tercakup dalam laknat tersebut, sama seperti laknat yang ditujukan kepada pemakan dan pemberi makannya. Dengan demikian, jelaslah apa hukum bekerja di bidang apapun yang dapat dinyatakan sebagai pengukuhuan terhadap riba, baik dengan mencatatkan ataupun sebagai saksi. Sedangkan peran para ulama dan para da’i terhadap semacam ini dan selainnya yang tidak asing lagi bagi kaum muslimin dan amat mendesak hajat kepada pejelasan tentangnya dan peringatan terhadapnya adalah merupakan kewajiban yang besar dan tanggung jawab yang demikian berat karena Allah mengemban kan ilmu ke pundak mereka agar menjelaskannya kepada manusia. Kita memohon kepada Allah agar menolong kita dan saudara-saudara kita untuk melakukan hal yang bermaslahat bagi para hambaNya, baik di dalam kehidupan dunia maupun di akhirat kelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar