Selasa, 23 Juni 2015

PERTOLONGAN ALLAH TELAH DEKAT

PERTOLONGAN ALLAH TELAH DEKAT

maxresdefault-660x330
Syaikh Sulaiman bin Nashir Al-‘Ulwan
Qasim Buraidah ( hafizahullah )
Mayoritas umat Islam hari ini hidup di banyak negeri dan wilayah dalam tumpukan kebimbangan, kerusakan akhlak, kehancuran harga diri, kehilangan hak dan properti, kekacauan pikiran, kelemahan pro-duktifitas dan aktifitas, keadaan lepas kontrol yang semakin mening-kat, dan penyimpangan-penyimpangan yang begitu deras dalam aki-dah,manhaj, serta urusan kehidupan politik dan ekonomi. Pada saat yang sama, tersebar seruan-seruan nasionalisme, pemikiran-pemikir-an sekulerisme, gelombang atheisme, serta slogan-slogan sufisme dan penyembahan berhala. Kerusakan ini tumbuh membesar dalam umat Islam. Namun, mayoritas mereka malah sibuk dalam perkara-perkaramadharat dan tidak bermanfaat. Mereka lalai terhadap tujuan pen-ciptaan dan misi mereka dalam kehidupan ini.
Penyimpangan-penyimpangan, sesembahan-sesembahan selain Allah, kotoran-kotoran jahiliyah yang ada di setiap tempat, tradisi-tradisi yang menyelisihi syari’at, dan peraturan-peraturan yang me-nyimpang dari syari’at Allah ini harus dihancurkan. Oleh karena itu, kita harus kembali kepada Islam dengan konsepsi yang benar, yaitu berserah diri kepada Allah dengan tauhid ‘mengesakan’  dan tunduk kepada-Nya dengan menjalankan ketaatan, berlepas diri dari ke-syirikan dan pelakunya, menerapkan syari’at Allah di bumi-Nya, dan mengikhlaskan amal hanya kepada-Nya.
Inilah asas tauhid. Tanpa tauhid, kehidupan ini tidak ada artinya. Allah Ta’ala berfirman :
﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ﴾
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (QS Adz-Dzariyat [51] : 56)
Maksud menyembah-Ku adalah mentauhidkan-Ku.
Tauhid adalah pokok dien. Tauhid adalah kebenaran yang tidak pantas bagi pembelanya untuk memperlunak saluran dalam melaksa-nakan hak-haknya dan menghadapi masyarakat dengannya. Tauhid adalah aturan alam dan misi umat Islam kepada seluruh umat manu-sia. Allah Ta’ala berfirman :
﴿قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ﴾
“Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetap-an) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling, maka katakanlah, ‘Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah).’” (QS Ali Imran [3] : 64)
﴿قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ ƒ وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ƒ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾
“Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan Tuhan kalian atas kalian, yaitu : janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, dan janganlah membunuh anak-anak kalian karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepada kalian dan kepada mereka. Dan janganlah mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhan kalian kepada kalian agar kalian memahami(nya). Dan janganlah mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih ber-manfaat hingga ia dewasa. Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang me-lainkan sekadar kesanggupannya. Dan apabila berkata, hendaklah kalian berlaku adil meskipun terhadap keluargamu. Dan penuhilah janji. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian ingat. Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia. Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.’” (QS Al-An’am [6] : 151-153)
﴿وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنْ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ﴾
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut’.” (QS An-Nahl [16] : 36)
Hakikat peribadatan kepada Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa adalah menunggalkan-Nya dalam seluruh bentuk ibadah, me-mohon dengan sungguh-sungguh kepada-Nya, takut kepada-Nya, mencintai-Nya, berharap kepada-Nya, dan tunduk kepada-Nya. Maka, barang siapa yang mengaku beriman kepada Allah, men-tauhidkan-Nya, mencintai-Nya, takut kepada-Nya, dan berharap kepada-Nya namun tidak mau patuh terhadap perintah Allah dan perintah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, berhukum kepada selain syari’at Allah, dan memberikan wala’‘loyalitas’ kepada musuh-musuh Allah, Allah tidak membenarkan pengakuannya. Bahkan, ia adalah orang yang mengikuti setan dan mentaatinya. Allah Ta’ala berfirman :
﴿قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ﴾
“Katakanlah, ‘Jika engkau mencintai Allah, maka ikutilah aku nis-caya Allah akan mencintaimu.” (QS Ali Imran [3] : 31)
Firman Allah “Dan jauhilah thaghut” maksudnya adalah setan. Ini menurut Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Bukhari men-catatnya di dalam ‘Shahih’nya (8/251) dengan shighah ‘bentuk’ jazm ‘mati atau sukun’ (maksudnya, dibaca berhenti atau waqaf, pent.), sedangkan Ibnu Jarir dan yang lain mewashalkan (membacanya terus tanpa berhenti, pent.). Ada yang mengatakan, maksudnya adalah berhala dan segala sesuatu yang disembah selain Allah. Dikatakan pula, maksudnya adalah selain itu.
Semua ini benar. Tidak ada kontradiksi di antara makna-makna tersebut. Masing-masing mereka menjelaskan makna umum dengan sebagian macamnya. Hal ini sering terjadi dalam perkataan salaf di mana mereka menafsirkan ayat dengan sebagian bentuk tunggalnya. Mereka tidak bermaksud membatasi.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan definisi thaghut secara komprehensif. Ia mengatakan, “Thaghut adalah segala sesuatu yang dilebih-lebihkan oleh seorang hamba hingga melewati batasnya; baik sesuatu yang diibadahi, diikuti, atau ditaati. Maka, thaghut se-tiap kaum adalah mereka yang dimintai keputusan hukum selain Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam, diibadahi selain Allah, diikuti bukan berdasarkan petunjuk Allah, atau ditaati dalam hal yang tidak mereka ketahui bahwa itu adalah bentuk ketaatan kepada Allah. Para thaghut alam ini apabila Anda memperhatikannya dan memperhatikan kondisi orang-orang yang bersamanya, maka Anda lihat mayoritas mereka menyimpang dari peribadatan kepada Allah menuju peribadatan kepada thaghut, dari berhukum kepada Allah dan kepada Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam menuju ber-hukum kepada thaghut, serta dari ketaatan kepada Allah dan meng-ikuti Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam menuju ketaatan kepada thaghut dan mengikutinya.”
Allah memerintahkan untuk kufur kepada thaghut dan men-dahulukannya atas iman kepada Allah sebagaimana mendahulukan nafyu ‘peniadaan’ atas itsbat ‘penetapan’ dalam kalimat tauhid la ilaha illallah. Seseorang tidak menjadi beriman kepada Allah hingga ia kufur kepada thaghut dengan segala maknanya yang komprehensif. Allah Ta’alaberfirman :
﴿فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدْ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ﴾
“Maka, barang siapa kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang pada tali ikatan yang kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2] :256)
Dalam Shahih Muslim (23) dari jalan Marwan Al-Fazary dari Abu Malik dari bapaknya berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa mengucapkan la ilaha illallah dan mengkufuri semua yang diibadahi selain Allah, maka darah dan hartanya terlindungi sedangkan perhitungannya di-serahkan kepada Allah.’”
Inilah penjelasan kalimat ikhlash —yaitu la ilaha illallah, pent.— Maksud kalimat ini bukan sekadar mengucapkan. Sebab, sekadar mengucapkan tidak akan melindungi darah dan harta; tidak pula me-nyelamatkan diri dari siksa neraka. Masalah sebenarnya adalah masa-lah pengamalan maksud kalimat ini, yaitu mentauhidkan Allah, me-murnikan peribadatan hanya kepada-Nya, dan berlepas diri dari sega-la sesuatu yang diibadahi, diikuti, atau ditaati selain Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam.
Allah menyebut dan memuji kekasih-Nya Ibrahim bahwa ia ber-lepas diri dari kaumnya dan segala yang mereka ibadahi selain Allah. Allah berfirman :
﴿قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَاؤا مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ                                        أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ﴾
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari (kekafir-an) kalian. Telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan ke-bencian buat selamanya sampai kalian beriman kepada Allah sema-ta.’” (QS Al-Mumtahanah [60] : 4)
﴿وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَأَدْعُو رَبِّي عَسَى أَلَّا أَكُونَ بِدُعَاءِ رَبِّي شَقِيًّا ƒ فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَكُلًّا جَعَلْنَا نَبِيًّا﴾
“‘Dan aku akan menjauhkan diri dari kalian dan dari apa yang kalian seru selain Allah. Aku akan berdo’a kepada Tuhanku. Mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdo’a kepada Tuhanku.’ Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepada-nya Ishaq dan Ya’qub. Dan masing-masingnya Kami angkat menjadi nabi.” (QS Maryam [19] : 48-49)
Allah berfirman :
﴿وَإِذْ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرفَقًا﴾
“Dan apabila kalian meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Tuhan kalian akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepada kalian dan menyediakan sesuatu yang berguna bagi kalian dalam urusan kalian.” (QS Al-Kahfi [18] : 16)
Allah juga berfirman dalam ayat-ayat lain yang menunjukkan di-syari’atkannya menjauhi para pelaku kekufuran, kesesatan mereka, dan majelis-majelis mereka.
Prinsip agung ini telah ditinggalkan oleh mayoritas generasi umat Islam. Mereka cenderung kepada orang-orang yang menzhalimi diri sendiri, membuat kerusakan di muka bumi, meninggalkan syari’at Allah, dan justru menyeru untuk berhukum dengan undang-undang kufur, melindunginya dengan harta dan tenaga, serta menghancurkan orang-orang yang memberontak dan menolak berhukum dengannya.
Allah Ta’ala berfirman :
﴿يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ﴾
“Mereka hendak berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengkufurinya.” (QS An-Nisa’ [4] : 60)
Yang dimaksud dengan thaghut dalam ayat ini adalah penguasa yang memerintah dengan selain syari’at Allah yang menjadikan diri-nya sebagai pembuat syari’at (aturan) bersama atau selain Allah. Allah menamainya musyrik dalam firman-Nya :
﴿وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا﴾
“Dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menerapkan hukum.” (QS Al-Kahfi [18] : 26)
﴿وإن أطعتموهم إنكم لمشركون﴾
“Dan jika menuruti mereka, niscaya kalian menjadi orang-orang musyrik.” (QS Al-An’am [6] : 121)
Dan menamainya kafir dalam firman-Nya :
﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْكَافِرُونَ﴾
“Barang siapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS Al-Maidah [5] : 44)
Apabila disebutkan kata ‘kufur’ dan ditulis dalam bentuk ma’rifah dengan huruf alif dan lam, maka maksudnya adalahkufur akbar. Adapun yang dikatakan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia mengatakan kufrun duna kufrin‘kekufuran yang tidak sampai mengeluarkan dari millah‘ adalah tidak pasti darinya. Al-Maruzy telah meriwayatkan dalam Ta’zhim Qadrish Shalah (2/521) dan Al-Hakim dalam Mustadraknya (2/313) dari jalan Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu ‘Abbas. Hisyam dianggap lemah oleh Imam Ahmad, Yahya bin Mu’in, Al-‘Aqily[1], dan Al-Jama’ah.
‘Ali Al-Madiny mengatakan, “Aku membacakan hadits di hadap-an Yahya bin Sa’id, ‘Telah memberitahukan kepada kami Ibnu Juraij dari Hisyam bin Hujair.’ Yahya bin Sa’id mengatakan, ‘Pantas aku meninggalkan Hisyam bin Hujair.’ Aku mengatakan, ‘Apakah aku harus menghindari haditsnya?’ Yahya bin Sa’id mengatakan, ‘Ya!’”
Ibnu ‘Uyainah mengatakan, “Kami tidak mengambil hadits dari Hisyam bin Hujair yang tidak didapatkan pada selainnya.”
Demikianlah, Hisyam meriwayatkan perkataan Ibnu ‘Abbas sen-dirian. Selain itu, terlebih ia menyelisihi perawi-perawitsiqah ‘ter-percaya’ lainnya.
Abdullah bin Thawus menyebutkan dari bapaknya yang mengata-kan, “Ibnu ‘Abbas ditanya mengenai firman AllahTa’ala
﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْكَافِرُونَ﴾
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Itu adalah kufur.” Dalam riwayat lain di-sebutkan, “Perbuatan itu menyebabkan kufur.” Disebutkan pula, “Cukuplah perbuatan itu menyebabkan kekufurannya.” Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam tafsirnya (1/191), Ibnu Jarir (6/256), Waki’ dalam Akhbarul Qudhah (1/4), dan lainnya dengan sanad shahih. Ini-lah yang pasti dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu. Ia menunjukkan keumuman lafazh tersebut dan tidak membatasinya.
Jalan Hisyam bin Hujair ini munkar dari dua sisi :
Pertama : Hisyam meriwayatkan sendirian.
Kedua : Hisyam menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya.
Perkataan Ibnu ‘Abbas “Itu adalah kufur” dan dalam lafazh lain “Perbuatan itu menyebabkan kufur”, maksudnya ayat tersebut me-nunjukkan keumumannya.[2] Pada prinsipnya, kata kufur jika ditulis dalam bentuk ma’rifah dengan huruflam maksudnya adalah kufur akbar sebagaimana dinyatakan oleh Syaikhul Islam rahimahullah dalam kitab Al-Iqtidha‘(1/208) kecuali jika dikaitkan dengan qarinah ‘korelasi’ yang mengubah maknanya.
Perkataan isteri Tsabit bin Qais, “Akan tetapi, aku membenci ke-kufuran dalam Islam”, yang diriwayatkan oleh Bukhary (5273) dari Ibnu ‘Abbas tidak menyelisihi kaidah ini dan tidak membatalkan prinsip yang dinyatakan dalam bab ini. Ia mengatakan, “Dalam Islam.” Ini adalah qarinah yang jelas yang menunjukkan bahwa maksud kufur di sini adalah selain kufur akbar.
Tidak sah dikatakan ada kufur akbar dalam Islam meskipun kata kufur disebutkan secara ma’rifah dengan huruf lamtanpa mengkait-kannya. Subtansi dan esensi perkataan tersebut segera terdengar oleh telinga sehingga keragu-raguan ini akan lenyap dengan mengkaitkan-nya. Perkara ini demikian jelas bagi orang yang memperhatikan.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam Al-Bidayah wan Nihayah (13/119), “Barang siapa meninggalkan syari’at yang telah jelas yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdillah penutup para nabi dan berhukum kepada syari’at-syari’at lainnya yang telah dihapus, maka ia kafir. Lalu, bagaimana dengan orang yang ber-hukum kepada Ilyasiq dan mendahulukannya atas syari’at Muham-mad? Siapa yang melakukan ini, ia kafir berdasarkan ijma‘ kaum Muslimin.”
Perkara ini benar dan tidak diperselisihkan. Perkara yang lebih besar darinya dan lebih pantas untuk dijadikan ijma‘atas kekufuran-nya adalah orang yang menghalang-halangi dari syari’at Allah, meng-ganti hukum-hukum dien, dan mewajibkan atas kaumnya aturan-atur-an yang kepadanya mereka berhukum dalam harta, darah, dan kehor-matan mereka. Ditambah lagi, ia melindungi aturan-aturan ini serta mencurahkan tenaga dan kekuatan untuk membelanya.
Adapun perkataan sebagian orang pada hari ini mengenai ijma‘ yang diriwayatkan dari Ibnu Katsir rahimahullahtersebut bahwa “perkara ini khusus untuk raja-raja Tartar dan orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang membatalkan Islam yang di antaranya ada-lah juhud ‘pengingkaran’ (terhadap syari’at Islam, pent.) dan istihlal‘penghalalan’ hukum dengan selain syari’at yang diturunkan Allah” adalah sekadar sangkaan belaka yang tidak bersandar pada ke-benaran ilmiah dan argumen-argumen yang lurus.
Ketika sedang membaca, saya memperhatikan perkataan seorang penulis yang menyerang para pembela tauhid dan penyeru perbaikan dan bertindak bodoh terhadap mereka. Ia membabi buta dalam meng-ungkapkan kata-katanya, salah dalam memahami perkataan para imam, dan memuat perkataan yang tidak berisi.[3] Contoh yang paling dekat adalah perkataan Al-Hafizh Ibnu Katsir. Penulis tersebut me-ngatakan bahwa Al-Hafizh bukan satu-satunya orang yang me-ngatakannya dan tidak meriwayatkannya dengan maksud untuk ijma‘. Banyak orang, baik yang terdahulu maupun belakangan, menyebut-kan seperti ini.
Bagaimana mungkin Ibnu Katsir tidak menghukumi kafir orang yang meninggalkan syari’at, mengangkat dirinya sebagai pihak peng-halal, pengharam, dan penentu kebaikan maupun keburukan, serta menjadikan pengadilan-pengadilan yang memberlakukan aturan se-lain syari’at Allah sebagai sumber pengambilan hukum dan tidak boleh mempermasalahkan, mengkomentari, dan menyanggah hukum-hukumnya.
Yang mendorong penulis untuk menyatakan bahwa kekufuran Tartar adalah karena juhud ‘pengingkaran’ dan istihlal‘penghalalan’ tidak lain adalah karena terpengaruh sekte Murji’ah. Sekte ini men-jadikan istihlal atau juhud sebagai penyebab kekufuran. Pendapat ini bathil berdasarkan syari’at dan akal. Istihlal adalah kekufuran meski-pun tidak disertai dengan berhukum dengan selain syari’at Allah. Adapun ayat –yaitu ayat 44 dari surat Al-Maidah, pent.— sangat jelas bahwa penyebab kekufuran adalah menolak berhukum dengan syari’at Allah.
Banyak dari kalangan muta-akhirin ‘orang-orang belakangan’ ter-pengaruh sekte Murji’ah yang berpendapat bahwa setiap orang yang mengucapkan perkataan atau melakukan perbuatan kufur adalah kafir. Menurut sekte ini, kekufurannya bukan karena perbuatan itu sendiri. Akan tetapi, kekufurannya adalah karena perbuatan itu me-ngandung kekufuran, mengindikasikan lenyapnya tashdiq ‘pembenar-an’ dengan hati, dan menandakan takdzib‘pendustaan’.
Sekte Murji’ah ortodoks lainnya menolak untuk mengkafirkan se-seorang karena perbuatan[4] secara mutlak selama belum pasti ia mengingkari atau menghalalkan.[5] Paham ini menyelisihi Kitabullah, sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ijma‘ kaum Muslimin.
Ahlul ‘ilmi sepakat bahwa menghina Allah dan menghina Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kufur.[6] Tidak seorang pun dari mereka mensyaratkan istihlal ‘penghalalan’ atau i’tiqad ‘keyakinan’. Namun, cukuplah kekafirannya hanya karena penghinaan yang jelas.  Mereka sepakat atas kekufuran orang yang menghina dien tanpa syarat i’tiqadatau istihlal. Orang seperti ini dikafirkan meskipun ia hanya bermain-main atau tidak serius. Mereka sepakat bahwataqar-rub kepada orang-orang mati dengan bersujud kepada mereka atau thawaf terhadap kuburan mereka adalah kufur. Mereka sepakat bah-wa melempar mushhaf ke dalam sampah adalah kufur.
Inilah pendapat setiap orang yang mengatakan bahwa iman ada-lah perkataan dan perbuatan; perkataan hati dan lisan serta perbuatan hati, lisan, dan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.[7]
Ahlus sunnah sepakat bahwa kekufuran bisa terjadi karena per-kataan, seperti penghinaan yang jelas terhadap dien,dan bisa pula ter-jadi karena perbuatan, seperti sujud kepada berhala, matahari, dan bulan serta menyembelih untuk selain Allah.
Dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah sangat jelas tentang ke-kufuran orang yang melakukan perbuatan atau mengucapkan perkata-an kufur. Hal itu cukup hanya dengan melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan tanpa mengikatnya dengan juhud atau istih-lal. Sesungguhnya pendapat ini adalah rusak; tidak seorang pun dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para imam yang dikenal sebagai pem-bela sunnah mengucapkannya.
Allah Ta’ala berfirman :
﴿وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ƒ  لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ﴾
“Dan apabila kalian menanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesungguh-nya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main.’ Katakanlah, ‘Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian selalu mencela? Tidak usah meminta maaf karena kalian kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kalian (lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS At-Taubah [9] : 65-66)
Sebab kekufuran hanya berdasarkan pada perkataan yang mereka ucapkan.
Allah berfirman :
﴿يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا وَمَا نَقَمُوا إِلَّا أَنْ أَغْنَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنْ يَتُوبُوا يَكُ خَيْرًا لَهُمْ وَإِنْ يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذَابًا أَلِيمًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَا لَهُمْ فِي الْأَرْضِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ﴾
“Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Se-sungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kufur dan telah menjadi kafir sesudah Islam. Mereka menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya. Mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya) melainkan karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jka mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka. Dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan akhirat. Mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.” (QS At-Taubah [9] : 74)
Pada umumnya, setiap orang yang mengucapkan perkataan atau melakukan perbuatan kufur sharih adalah kafir selama tidak ada penghalang, yaitu karena dipaksa, takwil, atau salah, seperti salah bicara atau kejahilan yang bisa diperhitungkan.
Di antara kekufuran yang sangat jelas adalah meninggalkan jinsul ‘amal “jenis amalan” secara mutlak tanpa harus mengkaitkannya dengan amalan hati.[8] Sekadar meninggalkan jenis amalan secara mutlak adalah kufur akbar. Hal ini menunjukkan tidak adanya ke-imanan di dalam hati secara pasti tanpa menjadikannya sebagai syarat untuk menghukumi. Perkara ini demikian jelas ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah. Hukum diterapkan berdasarkan amalan ang-gota badan; bukan berdasarkan apa yang terdapat di dalam hati. Hati tidak ada yang mengetahui kecuali Allah Yang Maha Mengetahui yang ghaib.
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan di dalam Fat-hul Bary (1/23) dari Sufyan bin ‘Uyainah bahwa ia mengatakan, “Murji’ah menganggap bahwa meninggalkan kewajiban adalah dosa. Hal ini sama dengan melakukan perbuatan haram. Padahal, kedua hal ini tidaklah sama. Sebab, melakukan perbuatan haram secara sengaja tanpa menganggapnya boleh adalah kemaksiatan, sedangkan me-ninggalkan kewajiban bukan karena bodoh atau udzuradalah kufur.” Penjelasan hal itu adalah dalam kasus Iblis yang menolak bersujud kepada Adam dan kasus ulama Yahudi yang mengakui pengutusan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam dengan lisan mereka, namun tidak mau melaksanakan syari’atnya.
Harb meriwayatkan dari Ishaq berkata, “Murji’ah telah me-lampaui batas hingga  suatu kaum mengatakan, ‘Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat wajib lima waktu, shaum Ramadhan, zakat, haji, dan kewajiban-kewajiban pada umumnya tanpa meng-ingkarinya tidak kami kafirkan. Perkaranya ditangguhkan (irja‘) kepada Allah setelah ia mengakui kewajiban tersebut.’ Tidak diragu-kan, mereka ini adalah Murji’ah.”
Al-Khilal meriwayatkan dalam As-Sunnah (3/586) dari ‘Ubaidillah bin Hanbal mengatakan, “Abu Hanbal bin Ishaq bin Hanbal bercerita kepadaku. Ia mengatakan, ‘Aku diberitahu bahwa suatu kaum mengatakan, ‘Sesungguhnya orang yang mengakui ke-wajiban shalat, zakat, shaum, dan haji, namun sedikit pun ia tidak melaksanakannya hingga mati atau ia shalat dengan bersandar pada punggungnya dan membelakangi kiblat hingga mati, maka tetap mukmin selama tidak mengingkari, mengetahui bahwa ia meninggal-kan kewajiban tersebut namun masih mengimaninya, serta mengakui status kewajiban tersebut dan kewajiban menghadap kiblat.’ Saya katakan, ‘Ini kekufuran yang sangat jelas kepada Allah serta me-nyelisihi Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya shallalahu ‘alaihi wa sallam, dan praktek kaum Muslimin. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
﴿حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ﴾
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan agar mereka mendirikan shalat dan me-nunaikan zakat. Yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS Al-Bayyinah [98] : 5)
Hanbal mengatakan, ‘Berkata Abu Abdillah atau aku men-dengarnya mengatakan, ‘Siapa yang berkata seperti ini, sungguh ia telah kafir kepada Allah. Urusannya dikembalikan kepada Allah dan kepada Rasul shallalahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan risalah yang dibawanya.’”
Imam Ibnu Baththah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang meninggalkan sedikit pun kewajiban yang diwajibkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam Kitab-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya shallalahu ‘alaihi wa sallamdalam sunnahnya karena meng-ingkari atau mendustakannya, maka ia kafir dengan kekafiran yang jelas yang tidak diragukan oleh orang berakal yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Siapa saja yang mengakui kewajiban tersebut atau mengucapkannya dengan lisannya kemudian meninggalkannya karena bercanda dan meremehkan atau meyakini pendapat Murji’ah dan mengikuti madzhab mereka, maka ia meninggalkan iman. Tidak ada keimanan di dalam hatinya sedikit atau banyak. Ia termasuk golongan orang-orang munafik yang bermuka dua di hadapan Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam. Maka, turunlah Al-Qur’an menyebutkan sifat-sifat mereka, ancaman yang dijanjikan kepada mereka, dan bahwa mereka berada di dalam neraka paling bawah. Kita berlindung kepada Allah dari madzhab Murji’ah yang sesat.”[9]
Para imam salaf telah mengingatkan tentang mereka dan menjelaskan kerusakan pendapat mereka serta bahaya bid’ah mereka. Imam Az-Zuhry rahimahullah mengatakan, “Tidak ada bid’ah yang dilakukan di dalam Islam yang lebih berbahaya terhadap pelakunya melainkan ini; yaitu bid’ah irja‘.”[10]
Al-Auza’i mengatkan, “Yahya dan Qatadah mengatakan, ‘Tidak ada sedikit pun hawa nafsu yang ditakutkan oleh salaf menimpa umat daripada irja‘.[11]
Syuraik mengatakan, “Mereka adalah sejahat-jahat kaum. Cukuplah bagimu kejahatan Rafidhah. Akan tetapi, Murji’ah berdusta atas nama Allah ‘Azza wa Jalla.[12]
Perkatan para salaf dalam hal seperti ini banyak. Mereka mem-berikan nasehat untuk Allah, Rasul-Nya, para imam kaum Muslimin, dan kalangan umum mereka.[13] Mereka menjelaskan bahaya bid’ah ini terhadap individu dan masyarakat. Bid’ah ini adalah pangkal setiap bencana dan penyimpangan dalam umat. Tunggangan kebanyakan pemikiran rusak dan paham-paham sesat adalah bid’ah irja‘ ini yang berpendapat bahwa iman adalah perkataan dan keyakinan atau hanya pembenaran dan pengetahuan; seseorang tidak bisa dikafirkan kecuali karena istihlal‘penghalalan’ dan takdzib ‘pendustaan’. Allah berfirman
﴿يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ﴾
“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka. Allah tidak menginginkan selain me-nyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir tidak me-nyukai.” (QS At-Taubah [9] : 32)

[1] . Lihat : Adh-Dhu’afa‘ karya Al-‘Aqily (4/337-338), Al-Kamil (7/2569) karya Ibnu ‘Ady, Tahdzibul Kamal (30/179-180), dan Hadyus Sary (447-448)
[2] . Berhukum dengan selain syari’at yang Allah turunkan memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Ada pun yang sedang dibicarakan dalam hal ini adalah mereka yang memproduksi peraturan yang menyelisihi syari’at Allah, menghukumi manusia dengannya, dan menempatkannya setara dengan hukum Allah dan hukum Rasul-Nyashallallahu ‘alaihi wa sallam.
[3] . Model orang seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Sulaiman ini sangat banyak kita saksikan di lapangan amal Islami. Mereka seringkali mencari-cari kesalahan para da’i dan aktivis Islam untuk mereka jadikan alasan dalam mencemarkan nama baik da’i tersebut agar umat menjauh dari dakwahnya. Akan tetapi, ke-salahan dan kemungkaranakbar yang dilakukan oleh para thaghut yang meng-ganti syari’at Islam dengan syari’at kufur jahiliyyah tidak pernah mereka bahas. Bahkan, para pelaku kemungkaran tersebut justru mereka bela dengan me-nyelewengkan dalil-dalil syar’i dan perkataan para ulama salaf ahlus sunnah wal jama’ah.
Mereka menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling sesuai dengan sunnah, dan paling sesuai dengan manhaj salaf. Standar yang sering mereka pakai di lapangan untuk mengetahui apakah seseorang –terkhusus para da’i dan aktivis Islam— itu berada di atas kebenaran adalah sejauh mana ia me-miliki hubungan dengan kelompoknya. Padahal, mereka adalah orang-orang yang sering meneriakkan bahaya hizbiyyah ‘sikap fanatik kepada kelompok’ dan menganggap bahwa kemunculan harakah-harakah Islamiyah adalah bentuk nyata dari hizbiyyah. Akan tetapi, dalam realitanya mereka justru jauh lebih kronis dalam mengidap penyakit hizbiyyah ini. Indikasi dari kekronisan ini di antaranya dapat kita lihat dalam sikap mereka yang tidak mau menjawab salam –apalagi memberi salam— saudaranya yang telah mereka anggap sebagai ahli bid’ah karena berbeda pendapat dalam beberapa hal dan tidak mau duduk dalam satu majelis untuk membicarakan perbedaan yang ada. Alasan klasik yang biasa mereka pakai untuk hal terakhir adalah “haram duduk-duduk bersama ahli bid’ah” atau “majelis ini adalah majelis yang tidak ada ilmunya”. La haula wa la quwwata illa billah.
Mereka menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling pintar dan paling berilmu. Hapalan mereka banyak; kitab yang mereka kaji pun juga tidak sedikit. Mereka lebih banyak bergelut dengan kitab-kitab, namun enggan bergelut dengan peristiwa-peristiwa nyata dalam realita kehidupan. Terhadap orang-orang seperti ini, Dr. Abdullah Azzam mengatakan, “Mereka yang belajar dari kitab, jarang di antara mereka yang saya dapati mempunyai akhlak ulama. Jarang saya temui di antara mereka yang mempunyai adab muta’allim (orang yang menimba ilmu) kecuali mereka yang diberi rahmat Allah. Akan kamu dapati perbedaan besar dan jarak yang jauh antara mereka yang berguru kepada orang-orang ‘alim, terbina lewat tangan tokoh-tokoh terpandang dari kalangan ‘alim ulama, dengan mereka yang mempunyai barang dagangan sedikit (maksudnya, mempunyai ilmu sedikit atau tidak berarti) seperti seorang pengigau yang mengumpulkan kayu bakar dan di sana ia dipatuk ular, seperti yang dikatakan Imam Asy-Syafi’i. (Tarbiyah Jihadiyah VI, hal. 142)
Oleh karena itu, tidaklah aneh jika Ibnu Mubarok sampai mengatakan, “Dua puluh tahun kuhabiskan waktu untuk menuntut ilmu dan tiga puluh tahun untuk menuntut adab.” Sebab, adab tidak bisa diperoleh melalui kitab. Adab hanya bisa didapat melalui akhlak para ‘alim ulama. (Idem, hal. 132)
Wallahu a’lam. (pent.)
[4] . Perkataan sebagian ahlul ‘ilmi, “Kami tidak mengkafirkan seseorang karena dosa yang ia perbuat selama tidak menghalalkannya”, maksudnya adalah sebagai bantahan terhadap Khawarij yang mengkafirkan secara mutlak perbuatan dosa, seperti zina, mencuri, berbohong, minum khamr, dan sebagainya. Mereka tidak memaksudkan perkataan itu sebagai penolakan untuk mengkafirkan setiap per-buatan dosa. Ini adalah pendapat bathil. Tidak seorang pun dari kalangan ahlus sunnah mengatakan hal ini. Dalil-dalil yang justru sebaliknya adalah mutawatir. Menyembelih untuk selain Allah, sihir, thawaf terhadap kuburan, dan yang semisal adalah perbuatan-perbuatan yang pelakunya dikafirkan hanya karena perbuatan tersebut. Selain itu, ada perkataan-perkataan di mana orang yang mengucapkannya dikafirkan hanya karena perkataan tersebut.
Para sahabat, tabi’in, dan ahlul ‘ilmi yang bersandar pada sunnah sepakat bahwa orang yang mengatakan atau melakukan perbuatan kufur sharih ‘kekufur-an yang jelas’ adalah kafir tanpa mengkaitkannya dengan juhud danistihlal. Pendapat terakhir ini adalah bathil yang tidak ada asal usulnya dari kalangan salaf. Ini adalah pendapat kontradiktif yang ditunjukkan oleh dalil naqly dan ‘aqly atas kerusakannya.
[5] . Orang-orang yang terpengaruh paham Murji’ah pada hari ini sering kita saksikan giat membela para penguasathaghut. Mereka menganggap para penguasa tersebut sebagai ulil amri yang wajib ditaati meskipun menolak berhukum dengan syari’at Allah. Penolakan terhadap syari’at Allah ini, menurut mereka, tidak sampai menyebabkan kekafiran yang mengeluarkan dari millah. Perbuatan ini sebatas kufrun duna kufrin. Oleh karena itu, —dalam pandangan mereka— para aktivis harakah Islamiyah yang mengkafirkan para penguasa yang menolak berhukum dengan syari’at Islam termasuk kelompok “Khawarij Gaya Baru” (KGB) atau takfiry yang melampaui batas. Para aktivis tersebut adalah anjing-anjing neraka jahannam. Nas-alullahal ‘afiyah.
Apabila mereka ini disiplin dengan pendapat mereka, tentu mereka akan me-merangi para aktivis yang mereka anggap Khawarij tersebut. Sebab, disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallambersabda : Cari dulu haditsnya!
Darah para aktivis yang dituduh Khawarij itu lantas mereka halalkan dengan landasan hadits ini. Jika demikian, siapa yang sebenarnya Khawarij? Jangan-jangan mereka ini lebih Khawarij atau ultra-Khawarij!!!
Terhadap para penguasa thaghut mereka bersikap lunak dan menggampangkan seperti sikap Murji’ah. Namun, terhadap para da’i dan aktivis harakah Islamiyah mereka bersikap ekstrim, keras, dan tidak mau memaafkan kesalahan yang ter-jadi. Sikap ini persis seperti sikap Khawarij yang tidak mau memaafkan kesalah-an kaum Muslimin sehingga mereka mengkafirkannya. Oleh karena itu, bukanlah hal yang berlebihan jika kemudian para ulama menyebut orang-orang model mereka ini dengan sebutan “Khawarij ma’ad du’at murji’ah ma’ath thughat ” (bersikap Khawarij terhadap para da’i dan bersikap Murji’ah terhadap para thaghut). (pent.)
[6] . Termasuk kekufuran yang sangat jelas adalah penghinaan terhadap Allah yang dilakukan oleh salah seorang mahasiswa IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam acara masa ta’aruf mahasiswa baru pada bulan Agustus 2004. (pent.)
[7].   Ahlus sunnah wal jama’ah menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dengan hati, ucapan dengan lisan, dan perbuatan anggota badan. (Syaikh Shalih Fauzan bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan. 1414 H. Syarh Al-‘Aqidah Al-Washithiyyah. KSA : Maktabah Darus Salam. Hal. 135) Ini merupakan pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Al-Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, seluruh ahlul hadits, ulama penduduk Madinah, penganut Zhahiriyah, dan sekelompok ahli kalam. (Ali bin Ali bin Muhammad Abil ‘Izz. 1408 H. Syarhuth Thahawiyah fi ‘Aqidatis Salafiy-yah. Beirut : Darul Fikri. Hal. 210)
Terkadang, sebagian ulama salaf menyatakan bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan. Definisi ini tidak menafikan keyakinan hati karena perkataan menurut mereka mencakup perkataan hati dan lisan, sedangkan perbuatan men-cakup perbuatan hati dan anggota badan.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Salaf telah sepakat bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan; bertambah dan berkurang. Artinya iman adalah perkataan hati dan perbuatan hati, kemudian perkataan lisan dan perbuatan anggota badan.
Adapun perkataan hati adalah tashdiq ‘pembenaran’ yang pasti kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir. Termasuk dalam hal ini adalah beriman kepada seluruh risalah yang disampaikan Rasulshallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian beliau berkata, “Pembenaran ini diikuti oleh perbuatan hati, yaitu cinta kepada Allah dan Rasul-Nyashallallahu ‘alahi wa sallam, mengagungkan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam, menghormati Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam, takut kepada Allah, inabah ‘kembali’ kepada-Nya, ikhlas beramal hanya untuk-Nya, tawakkal kepada-Nya, dan kondisi-kondisi lainnya.
Perbuatan-perbuatan hati ini semuanya adalah bagian dari iman dan juga keharusan dari tashdiq dan keyakinan yang merupakan sebab akibat. Keyakinan diikuti oleh perkataan lisan dan perbuatan hati diikuti oleh perbuatan anggota badan, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya.” (Dr. Safar bin Abdurrahaman Al-Hawaly. 1418 H.Zhahiratul Irja‘ fi Fikril Islamy. Juz I. Kairo       : Maktab Ath-Thayyib. Hal. 223-224. Dinukil dari Majmu’ul Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7/672)
Sebagian ulama salaf yang lain menyatakan bahwa iman adalah tashdiq dan ‘amal atau iqrar dan tashdiq. Di antara yang menyatakan pendapat ini adalah Sa’id bin Al-Musayyib, Imam Ahmad, Imam Abu Ja’far Ath-Thahawy, dan sebagainya. (Al-Hawaly, 1418 : 1/230 dan Ibnu Abil ‘Izz, 1408 : 209)
Pernyataan-pernyatan tersebut sering disalahpahami oleh sebagian orang dan dijadikan justifikasi bagi pemahaman bathil mereka terhadap definisi iman. Dr. Safar bin Abdirrahman Al-Hawaly mengatakan, “Dari sini wajib untuk menjelas-kan makna dua lafazh ini dalam penggunaan salaf. Kami katakan, sesungguhnya salaf yang mempergunakan dua lafazh ini tidak keluar dari makna yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah.
Sesungguhnya tashdiq dalam Al-Kitab dan As-Sunnah –bahkan dalam bahasa Arab— tidak terbatas hanya dalamtashdiq khabary ‘pembenaran secara informasi’, akan tetapi juag mencakup tashdiq ‘amaly, yaitu pembenaran informasi dengan melaksanakan dan mendakwakan perbuatan. Hal ini maknanya adlah tahqiq ‘merealisasikan’.”
Kemudian beliau menyatakan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, di antaranya adalah firman Allah :
وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ ٭  قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
“Dan Kami panggillah dia, ‘Hai Ibrahim! Sesungguhnya kamu telah membenar-kan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS Ash-Shaffat  [37] : 104-105)
Maksudnya, ‘Kamu telah melaksanakan perintah dengan membaringkan anak-mu dan keinginanmu menyembelihnya dengan tunduk dan patuh.’ Seakan-akan Nabi Ibrahim telah melaksanakan penyembelihan itu karena yang dimaksud dalam ayat ini adalah perbuatan hati dan ikhlas hanya karena Allah. Apabila tidak, maka Allah tidak membutuhkannya.
Dalil lain dari Al-Kitab adalah surat Al-Hajj : 37, Az-Zumar : 32-33, Adz-Dzariyat : 5, Al-Ahzab : 23.
Adapun dalil dari As-Sunnah adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Kemaluan akan membenarkan hal itu (zina) atau men-dustakannya.” (HR Bukhary [11/26, 503]) Indikasi atas makna yang dimaksud sangat jelas.
Demikian juga iqrar disebutkan dalam Al-Qur’anul Karim dalam surat Ali Imran : 81.” (Al-Hawaly, 1418 : 231-134)
Dengan demikian, tidak ada perselisihan di kalangan ulama salaf ahlus sunnah wal jama’ah bahwa iman terdiri atasa tiga unsur, yaitu keyakinan hati, ucapan lisan, dan perbuatan anggota badan. Tidak ada yang menyelisihinya kecuali ahli bid’ah dan ahwa’. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan beberapa ulama salaf, di antaranya adalah sebagai berikut.
Imam As-Syafi’I rahimahullah mengatakan, “Ijma’ dari para sahabat, generasi tabi’in setelahnya, dan orang-orang yang kami jumpai mengatakan, ‘Iman adalah perkataan, perbuatan, dan niat (dalam hati). Tidak cukup satu dari tiga hal ini kecuali dengan dua hal yang lain.” (Muhammad Bunnit Al-Marakisyi. 1420 H. ‘Aqidah Ad’iya-is Salafiyyah fiMizani Ahlis Sunnah wal Jama‘ah. Beirut : Dar Al-Bayariq. Hal. 27. Dinukil dari Majmu‘ul Fatawa, 7/309)
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan, “Tidak diper-selisihkan bahwa tauhid harus dengan hati, lisan, dan amal. Apabila tidak ter-penuhi salah satu dari tiga hal ini, seseorang belum bisa dikatakan muslim. Apabila ia mengetahui tauhid namun tidak mengamalkannya, maka ia kafir lagi pembangkang seperti kafirnya Fir’aun dan Iblis dan yang serupa dengan mereka berdua.” (Muhammad bin Abdul Wahhab. 1416 H. Kasyfusy Syubhat fit Tauhid. KSA : Darul Qasim. Hal. 25)
Sekte Murji’ah dan Jahmiyah menganggap bahwa amal bukan bagian dari iman. Menurut sekte Murji’ah, orang yang meyakini dalam hati dan mengucap-kannya dengan lisan tanpa mewujudkannya dalam amal adalah orang beriman. Adapun Jahmiyah lebih parah lagi. Mereka menganggap bahwa apabila sese-orang telah mengetahui Rabbnya dengan hatinya meskipun lisannya tidak me-nyatakannya dan anggota badannya tidak melakukannya dengan amal, maka orang ini adalah mukmin.
Sebagian orang yang terpengaruh oleh paham sekte ini menyatakan bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan. Sampai di sini tidak ada perbedaan antara mereka dengan alus sunnah dalam mendefinisikan iman. Akan tetapi, perbedaan itu muncul ketika menyangkut masalah “bagaimana posisi amal terhadap iman”. Mereka –orang-orang yang terpengaruh paham Murji’ah— mengatakan bahwa amal merupakan syarat sempurnanya iman. Dengan demikian, orang yang mengikrarkan keimanan (syahadat) dan meyakininya dalam hati meskipun sepanjang hidupnya tidak pernah beramal sudah cukup disebut sebagai orang beriman. Hanya saja ia adalah orang yang tidak sempurna imannya karena tidak beramal. Pendapat ini jelas rusaknya.
Orang-orang model ini menganggap bahwa mereka yang berpendapat bahwa amal merupakan syarat sahnya iman adalah orang-orang yang berpaham Khawarij alias takfiry. Sebab, konsekuensi dari pendapat ini –yaitu amal adalah syarat sahnya iman— adalah bahwa barang siapa yang meninggalkan amal, meskipun amal yang sunnah, maka ia telah kafir dan keluar dari keimanan. Karena telah kafir, berarti darahnya pun halal.
Kedua pendapat di atas jelas bertentangan dengan pendapat ahlus sunnah. Ahlus sunnah berada di pertengahan antara Murji’ah di satu sisi serta Khawarij dan Mu’tazilah pada sisi yang lain. Ahlus sunnah berpendapat bahwa sebagian amal merupakan syarat sah keimanan dan sebagain yang lain merupakan syarat sempurna keimanan. Jadi, tidak semua amal merupakan syarat sempurnanya iman sebagaimana pendapat Murji’ah dan tidak semua amal merupakan syarat sahnya iman sebagaimana pendapat Khawarij dan Mu’tazilah. Untuk mengetahui apakah sebuah amal termasuk syarat sah atau syarat sempurnanya iman adalah dengan berdasarkan keterangan Al-Kitab dan As-Sunnah serja ijma‘ salaful ummah.
Oleh karena itu, ahlus sunnah mengkafirkan orang yang meninggalkan jenis amal tertentu (jinsul ‘amal) –apalagi meninggalkan amal secara keseluruhan— dengan menyelisihi Murji’ah dan tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan sebagian amal, tapi masih melaksanakan amal yang lain dengan menyelisihi Khawarij dan Mu’tazilah. (Al-Marakisy, 1420 : 33-34)
(Pent.)
[8] . Ditanyakan kepada Syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah Abu Bashir, “Antum –semoga Allah memberkati antum dan amalan antum— mengetahui pro-kontra seputar masalah iman pada akhir-akhir ini. Masih belum jelas bagi saya, apa makna jinsul ‘amal dan apa ukuran amal yang diminta agar seseorang selamat dari kekufuran sehingga menjadi mukmin?”
Beliau menjawab, “Makna jinsul ‘amal adalah ketaatan lahiriah yang dilakukan oleh anggota badan. Barang siapa tidak melakukan ketaatan lahiriah ini secara mutlak, maka dikatakan ia tidak melakukan jinsul ‘amal. Tidak diragukan, orang ini kafir dan keluar dari millah meskipun ia mengakui dengan lisannya sesuatu yang menyelisihi perbuatan lahiriahnya dan menganggap dirinya mukmin.
Adapun ukuran amal yang diminta agar pelakunya selamat dan menjadi mukmin adalah mendirikan shalat dan melaksanakan tauhid secara lahir-batin. Barang siapa mendirikan shalat dan melaksanakan tauhid sehingga melenyapkan segala bentuk syirik akbar, maka ia telah melaksanakan batasan yang dapat memasukkannya ke dalam wilayah iman dan Islam dan mengeluarkannya dari wilayah kekufuran meskipun ia meninggalkan sisa amal lainnya karena ketidak-mampuannya. Siapa pun yang tidak mendirikan shalat dan tidak melaksanakan tauhid pada dirinya secara lahir-batin, ia tidak menjadi mukmin dan muslim. Ia termasuk orang-orang kafir meskipun melaksanakan ketaatan dan amal lainnya.” (www.tawhed.ws) (Pent.)
[9] . Al-Ibanah (2/764)
[10] . Al-Ibanah (2/885) karya Ibnu Baththah dan Asy-Syari‘ah (2/676) karya Al-Ajiry.
[11] . Al-Ibanah (2/885-886)
[12] . Idem (2/886) dan Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah (1/312)
[13] . Dari Abu Ruqayah Tamim bin Aus Ad-Dary radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallambersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau bersabda, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan imam-imam serta umumnya kaum Muslimin.” (HR Muslim)
Para ulama berkata, “Makna nasihat untuk Allah Ta’ala adalah beriman kepada Allah, meniadakan sekutu bagi-Nya, meninggalkan keingkaran terhadap sifat-sifat-Nya, mensifati-Nya dengan semua sifat kesempurnaan dan keagungan, mensucikan-Nya dari seluruh kekurangan, mentaati-Nya, menghindari ke-maksiatan kepada-Nya, mencintai karena-Nya, membenci karena-Nya, mencintai siapa yang mentaati-Nya, memusuhi orang yang bermaksiat kepada-Nya, ber-jihad melawan orang yang kafir kepada-Nya, mengakui dan mensyukuri nikmat nikmat-Nya, ikhlas dalam segala urusan, berdo’a dan memberikan anjuran untuk merealiasikan semua sifat tersebut, bersikap simpatik kepada seluruh manusia atau siapa yang memungkinkan di antara mereka berdasarkan semuanya itu. Hakikat kesemua sifat ini kembali kepada nasihat seorang hamba kepada dirinya sendiri sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membutuhkan nasihat dari siapa pun.
Adapun nasihat untuk kitab Allah Ta’ala adalah beriman bahwa ia merupakan firman Allah dan kitab yang diturunkan-Nya, tidak ada ucapan manusia yang serupa dengannya dan tidak ada seorang pun di antara makhluknya yang mampu membuat yang serupa dengannya, kemudian mengagungkan dan membacanya dengan sebenar-benarnya bacaan, dengan bacaan baik, dengan melafalkan huruf-hurufnya secara benar, serta dengan khusyu’, membelanya dari penyimpangan orang-orang yang mentakwilkan dan penentangan orang-orang yang mencelanya, membenarkan kandungannya, mematuhi hukum-hukumnya, memahami ilmu-ilmu dan permisalan-permisalannya, mengambil pelajaran-pelajarannya, memi-kirkan keajabian-keajaibannya, melaksanakan ayat-ayat muhkamnya, percaya penuh dengan ayat-ayat mutasyabihatnya, mempelajari mana ayat-ayat yang umum, mana yang khusus, mana yang nasikh, dan mana yang mansukh, menyebarkan ilmu-ilmunya, mendakwahkannya dan mendakwahkan semua yang telah kami sebutkan mengenai nasihat kepada kitab-kitab-Nya yang di muka.
Adapun nasihat kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam adalah mem-benarkan risalah beliau, mengimani seluruh ajaran yang dibawa beliau, mentaati beliau dalam segala perintah dan larangan beliau, membela beliau semasa hidup maupun sesudah beliau wafat, memusuhi siapa yang memusuhinya, berwala’ kepada siapa yang berwala’ kepadanya, menghormati haknya, menghidupkan sunnahnya, menyebarkan dakwahnya, menghilangkan tuduhan-tuduhan jahat mengenai sunnah tersebut, menyebarkan ilmu mengenainya, mempelajarinya, berdo’a untuknya, bersikap lembut dalam mempelajarinya, mengajarkannya, mengagungkannya, dan menghormatinya, bersikap santun ketika membacanya, menahan diri dari berbicara mengenainya tanpa ilmu, menghormati para ahlinya karena keterkaitan mereka dengannya, meniru akhlak dan adab beliau, mencintai ahli bait dan sahabat beliau, menjauhi siapa saja yang mengada-adakan bid’ah dalam sunnah beliau atau mencela salah seorang sahabat beliau, dan sebagainya.
Adapun nasihat bagi imam-imam kaum Muslimin adalah membantu mereka dalam kebenaran, mentaati mereka juga dalam kebenaran, memerintah mereka untuk melaksanakannya, melarang dan mengingatkan mereka dengan santun, memberitahu mereka tentang apa yang mereka lalaikan dan tentang hak-hak kaum Muslimin yang belum mereka ketahui, tidak memberontak terhadap mereka, menyatukan hati kaum Muslimin supaya mentaati mereka.” (Al-Anshari, Abdullah bin Ibrahim. 2001. Syarah Hadits Arba’in. Solo : Al-Qowam. Hal. 90-91) (Pent.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar