Peristiwa Yang Mengajarkan Kegagahan dan Kemuliaan
Oleh : Syaikh Dr Abdullah Azzam – Rahimahullah
Sebelum berjihad kamu harus membekali diri dengan dua sifat: lemah
lembut terhadap orang-orang mukmin dan keras terhadap orang-orang
kafir. Oleh karena jihad membutuhkan kekerasan dan kekuatan, berlaku
keras dalam membela Dien dan merasa gagah karena Allah merupakan sifat
perwira, dan dalam waktu yang sama bersikap lemah lembut terhadap
orang-orang mukmin.
Keadaan
kita sekarang ini justru sebaliknya. Penguasa-penguasa thaghut (yang
mengaku muslim) di negeri kita malah berlaku lemah lembut kepada
orang-orang kafir dan bersikap keras terhadap orang-orang mukmin.
Demikian pula yang diperbuat oleh sesama orang mukmin dan sesama orang
Islam. Orang Islam berlaku keras terhadap saudaranya sesama Islam, dan
sebaliknya bersikap ramah kepada orang-orang kafir…mengucapkan salam
seraya membungkukkan badan, menundukkan kepala atau mengangguk-angguk di
hadapannya…Engkau mulia wahai orang Islam! Jangan berlaku demikian
kepada orang kafir!
Ustadz Muhammad Abdurrahman Khalifah,
pimpinan sebuah Harakah Islamiyah di Yordania –semoga Allah membalasnya
dengan kebaikan. Pernah suatu kali beliau berhadapan dengan Raja
Abdullah di Masjid Al Husaini, yang menjadi salah satu pemimpin saat
jatuhnya wilayah Lydda dan Ramla tahun 1948 ke tangan Yahudi. Waktu
kejadian itu beliau masih sangat muda usianya, sekitar 22 atau 23 tahun.
Itu merupakan peristiwa besar dalam permulaan hidupnya, akan tetapi
beliau sudah belajar tentang arti kemuliaan dari Sang Hakim ketika masih
duduk di bangku Sekolah Dasar.
Suatu ketika Imam Masjid
memberikan ceramah dan memberikan alasan untuk pembenaran atas
penyerahan wilayah Lydda dan Ramla serta jatuhnya Palestina ke tangan
Yahudi. Mendengar ceramah Imam, beliau tak dapat menahan diri, lantas
keluarlah beliau dari barisan jama’ah Shalat dan segera mengambil alih
mikrofon; lalu beliau berkata dengan lantang: “Cukup sudah bagimu makan
potongan roti dari mereka (penguasa), mestinya tuan mengatakan kepada
orang itu –seraya menunjuk kepada Raja Abdullah–: “Bagaimana Tuan bisa
menyerahkan wilayah Lydda dan Ramla ke tangan Yahudi?”, (sedangkan) anda
adalah pewaris para Nabi…!”.
Maka mulailah beliau berceramah
yang kontan membuat gusar Raja Abdullah, yang segera bangkit dari
duduknya dan berteriak: “Hai orang-orang! Lelaki ini adalah seorang
munafik yang hendak memfitnah antaraku dengan kalian”, lalu keluar dari
masjid karena khawatir terhadap keselamatan dirinya, sedangkan Ustadz
Muhammad tetap berceramah. Kemudian datanglah Kepala Polisi Ibukota
mendekati Ustadz Muhammad dan menaruh tangan di pundak beliau seraya
berkata: “Demi Allah, hei Abu Majid (panggilan Ustadz Muhammad), aku
mendapat perintah, jika sampai terjadi sesuatu, maka kami akan
memuntahkan peluru di masjid ini”. Ketika Kepala Polisi tersebut menaruh
tangannya di pundak Abu Majid, kebetulan seorang penjual daging yang
rumahnya berdampingan dengan masjid berada di dekatnya, maka dia berkata
dengan nada mengancam kepada Kepala Polisi: “Demi Allah, kalau sampai
kamu menyentuhnya, aku benar-benar akan memenggal kepalamu, maka jangan
kamu mencela dirimu sendiri”. Dan memang, penjual daging itu benar-benar
mengancam Kepala Polisi tersebut.
Abu Majid berkata: “Dengarlah,
sekarang bawa saja aku ke istana dan serahkan pada tuanmu, untuk
menghindari terjadinya pembantaian di sini”.
Kepala Polisi itu berkata: “Aku berjanji, tak akan ada seorangpun yang akan menyakitimu”.
Abu Majid menimpali: “Demi Allah, jika sampai ada yang menyakitiku, maka dunia akan bergoyang dan tidak akan tinggal diam”.
Lalu Kepala Polisi itu membawa beliau dengan mobil ke istana.
Sesampainya di pintu istana beliau berkata; “Turunkan aku disini, aku
tidak mau masuk menemui raja”. Setelah Kepala Polisi melapor kepada Raja
bahwa Abu Majid tidak mau masuk menemuinya, maka Raja keluar ke balkon
istana dan melongok ke halaman bawah seraya berkata: “Bahkan sampai di
istanapun engkau tidak mau masuk, hei munafik! Allah akan membinasakanku
kalau sampai aku tidak membunuhmu!”. Lalu pelayan istana buru-buru
membawakan kursi untuk Raja, maka Abu Majid berkata kepada Raja:
“Orang-orang munafik itu justru ada di sekelilingmu”.
Saat itu
bulan Ramadhan, tanpa disangka-sangka saudaranya –seorang Kepala Wilayah
Salath– datang menyerahkan uang 100 Dinar – 1 Dinar nilainya setara
dengan satu orang manusia pada saat itu—seraya berkata: “Hei Abu Majid,
jangan engkau merasa sedih…!”. Namun Abu Majid menolak pemberian itu dan
hanya meminta dibawakan makanan untuk buka puasa untuk dirinya dan 13
orang sipir penjara yang menjaganya. Maka pergilah saudaranya membeli
makanan; waktu itu tidak ada warung makan kecuali di dekat Masjid Al
Husaini yang letaknya cukup jauh dari istana sedang untuk ke sana tidak
ada mobil tumpangan. Sesampainya di sebuah warung makan, dia membeli
makanan yang diperlukan dan ketika pemilik warung tahu bahwa makanan itu
untuk Ustadz Muhammad maka dia tidak mau dibayar dan orang banyak
berebut untuk mengantarkan makanan tersebut kepada Abu Majid.
Singkatnya Ustadz Muhammad diajatuhi hukuman pengasingan ke Shahrawi.
Dalam perjalanan ke tempat pengasingan, beliau meminta berhenti di suatu
pasar untuk membeli baju tidur dan ketika pemilik toko tahu bahwa yang
membeli dagangannya adalah Ustadz Muhammad, diapun tidak mau dibayar.
Dua hari penuh Raja memendam kemarahan, darahnya menggelegak dan
hampir-hampir biji matanya keluar lantaran marah. Para pelayan dan
orang-orang di sekelilingnya hanya tertunduk diam, seolah-olah di atas
kepala mereka bertengger seekor burung. Raja terus berpikir dan
merenung, akhirnya dia berkata kepada para pembantunya: “Dia itu seorang
pemuda yang sangat menaruh kepedulian terhadap kemaslahatan negerinya,
dia telah berbicara menumpahkan perasaan hatinya. Padahal sepatutnya
ucapan itu aku dengar dari kalian”. Lalu salah seorang pembantunya
berkata: “Demi Allah wahai Yang Mulia Raja, saya mengenal pemuda
tersebut, karena saya pernah bekerja bersamanya di jawatan pengadilan;
dia orang yang terhormat dan bersih…”. Raja berkata kepadanya: “Pergilah
dan temui dia, kalau dia mau meminta maaf, aku akan membebaskannya!”.
Maka pergilah utusan Raja menemui Ustadz Muhammad di tempat
pembuangannya untuk menyampaikan perintah Raja. Mendengar tawaran Raja,
beliau menolak seraya berkata: “Demi Allah, aku tidak akan meminta
maaf!”. Maka beliaupun tetap berada dalam penjara sampai beberapa waktu.
Demikianlah, jihad membutuhkan kegagahan, kekerasan sikap dan sekaligus
kelemahlembutan. Bersikap keras terhadap orang kafir dan lemah-lembut
kepada orang mukmin. Ibadah jihad adalah ibadah jama’i, engkau tidak
dapat berjihad sendirian, harus bersama sekelompok manusia dan hidup
(berinteraksi) bersama mereka; sekelompok manusia yang berbeda-beda
kebiasaan, watak, cara makan, cara tidur dan sebagainya…Kamu harus bisa
menutup mata, menutup telinga dan menutup mulut terhadap sesuatu yang
kamu tidak suka atasnya dan tidak mencari-cari aib dan tidak melihat
kepada saudaramu kecuali hal-hal yang baik-baik saja. Jika tidak begitu,
maka kamu tidak akan sanggup melanjutkan jihad.
Inilah jihad! Kamu harus dapat menggabungkan keempat sifat itu menjadi satu sehingga kamu menjadi seorang mujahid, yaitu:
Berlaku lemah-lembut kepada orang-orang mukmin
Bersikap keras terhadap orang-orang kafir
Tidak takut celaan orang yang mencela
Di jalan Allah.
Ini adalah karunia Allah, dan jihad adalah karunia dari Allah (Itulah
karunia Allah, diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya).
Dia
memilih sekelompok manusia untuk Dia bebankan kepada mereka tugas
membawa risalah-Nya dan untuk menyebarkan Dien-Nya dengan pengorbanan
darah mereka, (dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui).
(Sumber: Tarbiyah Jihadiyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar