Senin, 01 Juni 2015

Peristiwa Yang Mengajarkan Kegagahan dan Kemuliaan

Peristiwa Yang Mengajarkan Kegagahan dan Kemuliaan
Oleh : Syaikh Dr Abdullah Azzam – Rahimahullah
Sebelum berjihad kamu harus membekali diri dengan dua sifat: lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan keras terhadap orang-orang kafir. Oleh karena jihad membutuhkan kekerasan dan kekuatan, berlaku keras dalam membela Dien dan merasa gagah karena Allah merupakan sifat perwira, dan dalam waktu yang sama bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin.
Keadaan kita sekarang ini justru sebaliknya. Penguasa-penguasa thaghut (yang mengaku muslim) di negeri kita malah berlaku lemah lembut kepada orang-orang kafir dan bersikap keras terhadap orang-orang mukmin. Demikian pula yang diperbuat oleh sesama orang mukmin dan sesama orang Islam. Orang Islam berlaku keras terhadap saudaranya sesama Islam, dan sebaliknya bersikap ramah kepada orang-orang kafir…mengucapkan salam seraya membungkukkan badan, menundukkan kepala atau mengangguk-angguk di hadapannya…Engkau mulia wahai orang Islam! Jangan berlaku demikian kepada orang kafir!
Ustadz Muhammad Abdurrahman Khalifah, pimpinan sebuah Harakah Islamiyah di Yordania –semoga Allah membalasnya dengan kebaikan. Pernah suatu kali beliau berhadapan dengan Raja Abdullah di Masjid Al Husaini, yang menjadi salah satu pemimpin saat jatuhnya wilayah Lydda dan Ramla tahun 1948 ke tangan Yahudi. Waktu kejadian itu beliau masih sangat muda usianya, sekitar 22 atau 23 tahun. Itu merupakan peristiwa besar dalam permulaan hidupnya, akan tetapi beliau sudah belajar tentang arti kemuliaan dari Sang Hakim ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Suatu ketika Imam Masjid memberikan ceramah dan memberikan alasan untuk pembenaran atas penyerahan wilayah Lydda dan Ramla serta jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi. Mendengar ceramah Imam, beliau tak dapat menahan diri, lantas keluarlah beliau dari barisan jama’ah Shalat dan segera mengambil alih mikrofon; lalu beliau berkata dengan lantang: “Cukup sudah bagimu makan potongan roti dari mereka (penguasa), mestinya tuan mengatakan kepada orang itu –seraya menunjuk kepada Raja Abdullah–: “Bagaimana Tuan bisa menyerahkan wilayah Lydda dan Ramla ke tangan Yahudi?”, (sedangkan) anda adalah pewaris para Nabi…!”.
Maka mulailah beliau berceramah yang kontan membuat gusar Raja Abdullah, yang segera bangkit dari duduknya dan berteriak: “Hai orang-orang! Lelaki ini adalah seorang munafik yang hendak memfitnah antaraku dengan kalian”, lalu keluar dari masjid karena khawatir terhadap keselamatan dirinya, sedangkan Ustadz Muhammad tetap berceramah. Kemudian datanglah Kepala Polisi Ibukota mendekati Ustadz Muhammad dan menaruh tangan di pundak beliau seraya berkata: “Demi Allah, hei Abu Majid (panggilan Ustadz Muhammad), aku mendapat perintah, jika sampai terjadi sesuatu, maka kami akan memuntahkan peluru di masjid ini”. Ketika Kepala Polisi tersebut menaruh tangannya di pundak Abu Majid, kebetulan seorang penjual daging yang rumahnya berdampingan dengan masjid berada di dekatnya, maka dia berkata dengan nada mengancam kepada Kepala Polisi: “Demi Allah, kalau sampai kamu menyentuhnya, aku benar-benar akan memenggal kepalamu, maka jangan kamu mencela dirimu sendiri”. Dan memang, penjual daging itu benar-benar mengancam Kepala Polisi tersebut.
Abu Majid berkata: “Dengarlah, sekarang bawa saja aku ke istana dan serahkan pada tuanmu, untuk menghindari terjadinya pembantaian di sini”.
Kepala Polisi itu berkata: “Aku berjanji, tak akan ada seorangpun yang akan menyakitimu”.
Abu Majid menimpali: “Demi Allah, jika sampai ada yang menyakitiku, maka dunia akan bergoyang dan tidak akan tinggal diam”.
Lalu Kepala Polisi itu membawa beliau dengan mobil ke istana.
Sesampainya di pintu istana beliau berkata; “Turunkan aku disini, aku tidak mau masuk menemui raja”. Setelah Kepala Polisi melapor kepada Raja bahwa Abu Majid tidak mau masuk menemuinya, maka Raja keluar ke balkon istana dan melongok ke halaman bawah seraya berkata: “Bahkan sampai di istanapun engkau tidak mau masuk, hei munafik! Allah akan membinasakanku kalau sampai aku tidak membunuhmu!”. Lalu pelayan istana buru-buru membawakan kursi untuk Raja, maka Abu Majid berkata kepada Raja: “Orang-orang munafik itu justru ada di sekelilingmu”.
Saat itu bulan Ramadhan, tanpa disangka-sangka saudaranya –seorang Kepala Wilayah Salath– datang menyerahkan uang 100 Dinar – 1 Dinar nilainya setara dengan satu orang manusia pada saat itu—seraya berkata: “Hei Abu Majid, jangan engkau merasa sedih…!”. Namun Abu Majid menolak pemberian itu dan hanya meminta dibawakan makanan untuk buka puasa untuk dirinya dan 13 orang sipir penjara yang menjaganya. Maka pergilah saudaranya membeli makanan; waktu itu tidak ada warung makan kecuali di dekat Masjid Al Husaini yang letaknya cukup jauh dari istana sedang untuk ke sana tidak ada mobil tumpangan. Sesampainya di sebuah warung makan, dia membeli makanan yang diperlukan dan ketika pemilik warung tahu bahwa makanan itu untuk Ustadz Muhammad maka dia tidak mau dibayar dan orang banyak berebut untuk mengantarkan makanan tersebut kepada Abu Majid.
Singkatnya Ustadz Muhammad diajatuhi hukuman pengasingan ke Shahrawi. Dalam perjalanan ke tempat pengasingan, beliau meminta berhenti di suatu pasar untuk membeli baju tidur dan ketika pemilik toko tahu bahwa yang membeli dagangannya adalah Ustadz Muhammad, diapun tidak mau dibayar.
Dua hari penuh Raja memendam kemarahan, darahnya menggelegak dan hampir-hampir biji matanya keluar lantaran marah. Para pelayan dan orang-orang di sekelilingnya hanya tertunduk diam, seolah-olah di atas kepala mereka bertengger seekor burung. Raja terus berpikir dan merenung, akhirnya dia berkata kepada para pembantunya: “Dia itu seorang pemuda yang sangat menaruh kepedulian terhadap kemaslahatan negerinya, dia telah berbicara menumpahkan perasaan hatinya. Padahal sepatutnya ucapan itu aku dengar dari kalian”. Lalu salah seorang pembantunya berkata: “Demi Allah wahai Yang Mulia Raja, saya mengenal pemuda tersebut, karena saya pernah bekerja bersamanya di jawatan pengadilan; dia orang yang terhormat dan bersih…”. Raja berkata kepadanya: “Pergilah dan temui dia, kalau dia mau meminta maaf, aku akan membebaskannya!”. Maka pergilah utusan Raja menemui Ustadz Muhammad di tempat pembuangannya untuk menyampaikan perintah Raja. Mendengar tawaran Raja, beliau menolak seraya berkata: “Demi Allah, aku tidak akan meminta maaf!”. Maka beliaupun tetap berada dalam penjara sampai beberapa waktu.
Demikianlah, jihad membutuhkan kegagahan, kekerasan sikap dan sekaligus kelemahlembutan. Bersikap keras terhadap orang kafir dan lemah-lembut kepada orang mukmin. Ibadah jihad adalah ibadah jama’i, engkau tidak dapat berjihad sendirian, harus bersama sekelompok manusia dan hidup (berinteraksi) bersama mereka; sekelompok manusia yang berbeda-beda kebiasaan, watak, cara makan, cara tidur dan sebagainya…Kamu harus bisa menutup mata, menutup telinga dan menutup mulut terhadap sesuatu yang kamu tidak suka atasnya dan tidak mencari-cari aib dan tidak melihat kepada saudaramu kecuali hal-hal yang baik-baik saja. Jika tidak begitu, maka kamu tidak akan sanggup melanjutkan jihad.
Inilah jihad! Kamu harus dapat menggabungkan keempat sifat itu menjadi satu sehingga kamu menjadi seorang mujahid, yaitu:
Berlaku lemah-lembut kepada orang-orang mukmin
Bersikap keras terhadap orang-orang kafir
Tidak takut celaan orang yang mencela
Di jalan Allah.
Ini adalah karunia Allah, dan jihad adalah karunia dari Allah (Itulah karunia Allah, diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya).
Dia memilih sekelompok manusia untuk Dia bebankan kepada mereka tugas membawa risalah-Nya dan untuk menyebarkan Dien-Nya dengan pengorbanan darah mereka, (dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui).
(Sumber: Tarbiyah Jihadiyah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar