Selasa, 09 Juni 2015

Mubahallah

Di saat hawa nafsu menguasai, saat dakwah yang lembut dan penuh hikmah menemui jalan buntu, saat hujjah yang berlandaskan al-Qur’an dan as-sunnah serta pemahaman para ulama ti­dak dapat menundukkan hati yang sudah kadung mengeras. Saat kebenaran harus mentok dan keba­tilan semakin digandrungi. Maka dalam kondisi ke­pepet semacam itu Alloh Ta’ala memberikan jalan keluar bagi seseorang yang memegang kebenaran yang sedang berhadapan dengan pengusung keba­tilan untuk menggunakan sebuah jalan yang— insya Alloh — dengan cara itulah Alloh akan menampak­kan mana yang benar dan mana yang salah. Cara itulah yang dikenal dengan istilah “Mubahalah”.
Namun, sebagaimana syari’at Islam lainnya, mubahalah ini pun ada aturan dan caranya; kapan ia digunakan, bagaimana caranya, dan apa saja syaratnya. Insya Alloh, inilah yang akan kita bahas dalam kajian kita kali ini. Semoga bermanfaat.
Dan sebagai bentuk amanat ilmiyyah, pem­bahasan ini saya ringkaskan dari risalah Irsyadul Ibad Bifadhli Mubahalati Ahlil Kadzibi wal ‘Inad oleh Syaikh Fadhlulloh Muhammad Amin di http:llwww. hanein.info/vblshowthread.php?114311-%CF%A1 de­ngan tambahan dari beberapa referensi lainnya.
PENGERTIAN MUBAHALAH
Secara bahasa mubahalah (المب هلة) berarti saling melaknat. Berasal dari bahasa Arab بهل yang berarti melaknat.[1]
Adapun secara istilah mubahalah adalah hadirnya dua pihak yang saling berselisih bersama keluarga dan anak-anak keduanya di sebuah tempat tertentu, yang mana keduanya tidak bisa menyelesaikan per­masalahan agama antara keduanya dengan cara dia­log dan debat, sedangkan masing-masing mengang­gap yang lainnya sebagai pihak yang dusta dan batil, lalu keduanya berdo’a dengan penuh harap kepada Alloh Ta’ala agar yang salah dan dusta dari keduanya di­laknat dan dijauhkan dari rohmat Alloh Ta’ala.
DALIL MUBAHALAH
Disyari’atkannya mubahalah didasari oleh beberapa ayat dan hadits Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun ayat al-Qur’an, maka diantaranya adalah :
Pertama : Mubahalah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Yahudi
Mubahalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Yahudi disebutkan oleh Alloh Ta’ala dalam dua ayat yaitu :
1.      Surat al-Baqoroh [2] : 94-95
Alloh Ta’ala berfirman : Katakanlah: “Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Alloh, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian(mu), jika kamu memang benar.” Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri), dan Alloh Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya. (QS. al-Baqoroh [2]: 94-95)
Saat penafsiran ayat ini, Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata : Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum berkata : ”Alloh Ta’ala berfirman kepada nabi-Nya :-al-Baqoroh[2]:94-maknanya:’Berdo’alah kalian agar kelompok yang paling dusta tertimpa kematian.’ Ternyata mereka enggan melakukannya. Lalu firman Alloh Ta’ala :-al-Baqoroh[2]:95-maknanya : ’Karena mereka mengetahui dan mengkufurinya, seandainya mereka berdo’a kematian, niscaya tidak tersisa satu pun orang yahudi di muka bumi kecuali akan mati.’”
Imam Ibnu Jarir rahimahullah berkata: “Telah sampai berita kepada kami bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Seandainya orang-orang Yahudi berdo’a kematian niscaya mereka semua akan mati, dan niscaya me­reka akan melihat tempat mereka di neraka.’ Sean­dainya orang-orang Yahudi keluar untuk muba­halah dengan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam; niscaya mereka akan pulang tanpa menemukan lagi anak dan harta me­reka.”
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah saat menafsirkan ayat ini berkata : “Ini adalah salah satu bentuk mubahalah antara mereka (Yahudi) dengan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
2.      Surat al-Jumu’ah [62] : 6-8
Alloh Ta’ala berfirman : Katakanlah: “Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu mendakwakan bahwa sesungguhnya kamu sajalah kekasih Alloh bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar. ” Mereka tiada akan mengharapkan kematian itu selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri. Dan Alloh Maha Mengetahui akan orang-orang yang zholim. Katakanlah: “Sesung­guhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, ke­mudian kamu akan dikembalikan kepada (Alloh), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beri­takan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. al-Jumua’h [62]: 6-8)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yang mirip de­ngan ayat ini (QS. al-Baqoroh [2]: 94-95) adalah firman Alloh Ta’ala : (QS. al-Jumu’ah [62]: 6-8) saat mereka (orang Yahudi) mengklaim bahwa mereka adalah anak-anak Alloh dan kekasih-Nya dan mereka mengatakan bahwa tidak akan masuk surga kecu­ali orang Yahudi atau Nasrani, maka mereka diajak untuk bermubahalah dan berdo’a kehancuran untuk salah satu di antara mereka yang paling ber­dusta, apakah mereka atau kaum muslimin. Dan tatkala mereka tidak mau (mubahalah) diketahui­lah bahwa merekalah (Yahudi) orang-orang yang zholim.”
Kedua : Mubahalah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Nasrani
Alloh Ta’ala berfirman : Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakan­lah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-­istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Alloh dan kita minta supaya laknat Alloh ditimpakan kepada orang-orang yang dus­ta.” (QS. Ali Imron [3]: 61)
Ayat ini berhubungan dengan perdebatan an­tara orang-orang Nasrani dengan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Isa bin Maryam ‘alaihis salam. Mereka mengatakan bahwa Isa ‘alaihis salam adalah Tuhan atau anak Alloh Ta’ala. Dan Ro­sululloh    Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada mereka aqidah yang benar, namun mereka tidak mau tunduk ke­pada kebenaran. Maka Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka mubahalah.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Di sini Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak utusan orang-orang Nasrani dari Najron setelah tegak hujjah atas mereka dalam perdebatan dan mereka tetap bersikeras (pada ke­batilannva), maka Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka untuk mubahalah. Alloh Ta’ala berfirman: —ayat di atas. Saat mereka mengetahui hal tersebut, maka seba­gian di antara mereka bicara pada sebagian lain­nya: ‘Demi Alloh, seandainya kalian bermubahalah dengan nabi ini tidak akan ada satu pun di antara kalian yang hidup. Maka saat itulah mereka akhir­nya mau menyerah dengan Cara membayar jizyah (semacam upeti) dalam keadaan hina. Maka Rosu­lulloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kepada mereka seorang yang terpercava yaitu Abu Ubaidah bin al-Jarroh radhiyallahu ‘anhu untuk mengurusi hal tersebut.’ ”
Ketiga : Mubahalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kaum musyrikin
Alloh Ta’ala berfirman : Katakanlah: “Barang siapa yang berada di dalam kese­satan, maka biarlah Tuhan yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya, sehingga apabila mereka telah melihat apa yang diancamkan kepadanya, baik siksa maupun kiamat, maka mereka akan mengetahui siapa yang lebih jelek kedudukannya dan lebih lemah penolong-penolongnya. ” QS. Maryam [19]: 75)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini adalah muba­halahnya Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kaum musyrikin yang mengklaim bahwa keadaan mereka saat itu adalah berada di atas petunjuk, sebagaimana Alloh Ta’ala menyebutkan tentang mubahalah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Yahudi.”
Adapun dalil dari sunnah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata: Telah datang Aqib dan Sayyid, dua tokoh Nasrani Najron kepada Rosululoh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keduanya ingin bermubahalah. Maka salah satunya berkata: “Jangan engkau lakukan itu, jika memang benar dia seorang nabi, lalu kita mubahalah niscaya kita tidak akan beruntung, juga anak keturunan kita.” Akhirnya mereka mengatakan : “Kami akan memberikan apa yang engkau minta, maka utuslah kepada kami seorang yang terpercaya. Dan jangan engkau utus kepada kami kecuali seorang yang terpercaya.” Maka Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh, saya akan me­ngutus pada kalian seorang yang benar-benar ter­percaya.” Para sahabat Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun ingin mendapatkan tugas tersebut, namun akhimya Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bangkitlah wahai Abu Ubaidah bin jarroh.” Tatkala belau berdiri, maka Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ini adalah orang yang terpercaya dari umat ini.”[2]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Dalam ha­dits ini terdapat syariat mubahalah dengan orang yang menyelisihi (kebenaran) apabila tetap ngotot setelah tampak hujjah baginya. Ini pun pernah di­lakukan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum, dan Imam al-Auza’i rahimahullah, juga sebagian para ulama. Dan dari pengala­man bahwa orang yang melakukan mubahalah dan dia itu orang yang salah, maka dia tidak akan hidup sampai satu tahun dari saat dia bermubahalah. Dan saya pun pernah mengalaminya bermubahalah dengan seorang yang ta’ashub dengan kelompok batil, akhirnya setelah itu dia hanya hidup dua bulan.”[3]
HUKUM MUBAHALAH
Mubahalah termasuk perkara yang disyari’atkan dalam agama Islam, sebagai salah satu sarana dak­wah apabila sudah menemukan jalan buntu, apa­bila hujjah dan dalil tidak lagi berfungsi.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Alloh meme­rintahkan kepada Rosul-Nya untuk bermubahalah dengan orang-orang yang menentang kebenaran dalam masalah Isa bin Maryam ‘alaihis salam setelah tampak hujjah dan keterangan pada mereka.”
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Kesimpul­annya, bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mendebat semua orang kafir, apa pun agamanya, sampai be­liau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia. Dan hal ini diteruskan oleh para sahabat sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Alloh Ta’ala meme­rintahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendebat mereka dengan baik, baik pada Surat Makkiyyah maupun Madaniyyah, Alloh Ta’ala juga memerintahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ber­mubahalah dengan mereka setelah tampak bagi mereka hujjah dan keterangan. Dengan cara inilah agama ini tegak.” [4]
HAKIKAT MUBAHALAH
Mubahalah adalah salah satu cara syar’i yang digunakan untuk menghadapi lawan yang ba­til dan menentang kebenaran setelah segala daya dan upaya mengalami jalan buntu untuk menasi­hatinya, mendebatnya, serta berdialog dengannya. Sama saja apakah ini dilakukan dengan orang kafir atau pun sesama muslim. Hal ini untuk menunjuk­kan kebatilan apa yang diyakini oleh lawan. Ini di­lakukan dengan cara bersungguh-sungguh dalam berdo’a kepada Alloh Ta’ala dan ber-tadzorru’ kepada-Nya agar Alloh Ta’ala menampakkan mana di antara keduan­ya yang berada di atas kebatilan dan semoga Alloh Ta’ala menjauhkan hukuman-Nya segera kepadanya.
SYARAT-SYARAT MUBAHALAH
Apabila terpaksa harus menggunakan cara mubahalah, maka harus diperhatikan beberapa syarat berikut :
1.      Ikhlas hanya mengharapkan keridhoan Alloh Ta’ala dan demi mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena sebenarnya mubahalah ini adalah sebuah do’a dengan cara-cara tertentu. Sedangkan do’a adalah ibadah. Sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”Do’a adalah ibadah.” [5]
Dan sebuah ibadah itu tidak akan diterima oleh Alloh Ta’ala melainkan dengan dua syarat utama, yaitu ikhlas hanya karena Alloh dan mengikuti sunnah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Alloh Ta’ala berfirman : Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Robbnya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang sholih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Robbnya. (QS. Al-Kahli [18] :110)
2.      Memiliki ilmu yang mapan bahwa dia berada di atas kebenaran dan lawannya di atas kebatilan.
Hal ini telah sangat kuat diisyaratkan oleh Alloh Ta’ala dalam ayat mubahalah di atas. Alloh Ta’ala berfirman: Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu)…” Dan ini berkonsekuensi bahwa seseorang yang akan melaksanakan mubahalah harus mengil­mui al-Qur’an dan as-sunnah dengan pemaham­an para ulama sunnah; karena kalau tidak begi­tu, dari mana dia mengetahui bahwa dia di atas kebenaran.
3.      Dilakukan dalam sebuah perkara agama yang penting.
Yang mana perkara ini kalau tidak dilaksanakan mubahalah, maka akan tersamarkan antara kebenaran dan kebatilan, dan akan kaburlah perkaranya bagi umat. Hal tersebut karena Rosu­lulloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhuma, serta ulama tidak­lah menggunakan cara ini kecuali untuk perkara tersebut.
4.      Sebelum mubahalah telah diusahakan segala daya dan upaya untuk berdiskusi, dialog, pe­nyampaian hujjah dan dalil, hingga perdebatan pun dilakukan.
Oleh karena itu, mubahalah ini tidak boleh jadi solusi pertama kali. Alloh Ta’ala menegaskan hal ini dalam mubahalah di atas. Di mana Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mubahalah dengan mereka tatkala hujjah dan keterangan syar’i sudah tidak lagi bermanfaat kepada mereka.
5.      Keduanya mengajak keluarga dan anak-anak.
Sebagaimana yang secara tegas di firmankan Alloh Ta’ala dalam ayat di atas. Hal ini agar lebih me­nampakkan kemantapan bahwa dia benar-benar yakin kalau berada di atas kebenaran, karena yang jadi taruhannya bukan hanya dirinya namun orang-orang yang dia sayangi bahkan para jantung hatinya.
BOLEHKAH MUBAHALAH DIGUNAKAN UNTUK PERKARA DUNIAWI?
Pada dasarnya mubahalah adalah untuk sebuah perkara syar’i, baik masalah aqidah maupun lain­nya. Dan masalah tersebut adalah sebuah masalah yang penting, yang tersamarkan. Sehingga akan tampak kebenaran. Akan tetapi, tetap harus diingat bahwa mubahalah dilakukan apabila memang manfaatnya lebih banyak daripada mafsadatnya.
Imam Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata saat beliau me­nyebutkan faedah-faedah dan kisah utusan Nasra­ni Najron yang diajak mubahalah oleh Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Termasuk sunnah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berde­bat dengan ahlil bathil apabila telah tegak hujjah Alloh Ta’ala pada mereka dan mereka tetap tidak mau kembali pada kebenaran bahkan tetap ngotot pada kebatilannya agar mereka diajak mubahalah. Alloh Ta’ala telah memerintahkan ini kepada Rosul-Nya dan Alloh Ta’ala tidak berfirman bahwa ini tidak untuk umat­mu setelahmu. Abdulloh bin Abbas radhiyallahu ‘anhum, pernah me­ngajak mubahalah terhadap beberapa orang yang berselisih dengan beliau dalam sebagian masalah furu’ dan hal ini tidak diingkari oleh para sahabat lainnya. Demikian juga Imam Auza’i rahimahullah pernah me­ngajak Imam ats-Tauri rahimahullah untuk bermubahalah dalam masalah mengangkat tangan, dan ini juga tidak ada yang mengingkarinya. Karena ini semua adalah ter­masuk kesempurnaan hujjah.”[6]
Namun, untuk masalah duniawi, mubahalah sama sekali tidak boleh. Syaikh al-Albani rahimahullah pernah ditanya tentang penggunaan mubahalah untuk urusan dunia, maka beliau menjawab: “Tidak boleh menyeret hukum ini untuk urusan dunia, karena dua sebab :
Pertama : Karena kisah mubahalah ini terjadi dalam masalah aqidah
Kedua : Islam telah memiliki aturan dan kaidah dalam permasalahan (urusan) dunia. Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Yang menuntut wajib mendatangkan bukti, sedang­kan yang rnengingkari hanya wajib bersumpah.” [7]
Maka urusan dunia harus diselesaikan dengan cara ini. Tidak ada alasan vang mendesak untuk menggunakan cara mubahalah yang disyari’atkan oleh Alloh Ta’ala antara Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-­orang Nasrani Najron yang mana mereka meng­ingkari tauhid dan ngotot untuk beraqidah trinitas. Namun, jika harus menyeret masalah ini kepada permasalahan lainnya yang tidak ada atsarnya atau haditsnya, maka yang memungkinkan ialah diba­wa pada perselisihan antara dua kelompok kaum muslimin yang berbeda pemikiran atau berbeda pada sebagian masalah aqidah, seperti kelompok Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah. Karena itu, sangat mungkin jika seorang Mu’tazilah tetap sombong terhadap kebenaran untuk ditantang mubahalah oleh seorang Ahlus Sunnah, agar jelas siapa yang salah di antara keduanya. Namun, hal ini setelah berdialog dan berdalil dari masing-masing kelom­pok. Oleh karena itu, harus ada kesombongan salah satu dari keduanya, maka dengan itu kita jadikan laknat Alloh Ta’ala tertimpa pada orang yang dusta. Jika demikian, maka dimungkinkan membawa perkara mubahalah pada masalah seperti ini. Adapun ka­lau yang ditanyakan adalah masalah duniawi maka sama sekali tidak boleh digunakan cara mubahalah sebagaimana penjelasan saya tadi.” [8]
MANFAAT MUBAHALAH
Tidak ada satu pun syari’at Alloh Ta’ala dan Rosul-Nya melainkan akan membawa maslahat jika dilakukan dengan cara yang tepat dan dalam kondisi yang te­pat. Begitu Pula dengan mubahalah, jika dilakukan dengan cara yang tepat dalam kondisi yang tepat terhadap orang yang tepat, maka akan membawa maslahat yang besar. Di antaranya :
1.      Hancurnya orang yang berada di atas kebatilan, baik segera maupun agak lama.
Hal ini berdasarkan beberapa riwayat yang telah berlalu dari Ibnu Abbas  radhiyallahu ‘anhum tentang seandainya terjadi mubahalah antara Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang Yahudi maupun Nasrani.
Dan telah berlalu ucapan Imam Ibnu Hajar rahimahullah : “Dan dari pengalaman bahwa orang yang melakukan mubahalah dan dia itu orang yang salah, maka dia tidak akan hidup sampai satu tahun dari saat dia bermubahalah. Dan saya pun pernah mengalaminya bermubahalah dengan seorang yang ta’ashub (fanatik) dengan kelom­pok batil, akhirnya setelah itu dia hanya hidup dua bulan.”[9]
2.      Orang yang tidak mau diajak mubahalah diang­gap sebagai kelompok yang salah, jika dia tidak punya alasan syar’i tentang alasannya menolak mubahalah.
Sebagaimana yang terjadi pada orang-orang Ya­hudi dan Nasrani pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3.      Meninggikan agama dengan nampaknya ke­benaran dan hancurnya kebatilan.
Dan ini terbukti setelah tampaknya hasil muba­halah.
KISAH PARA ULAMA YANG BERMUBAHALAH
Saya sebutkan di sini dua kisah saja dari kisah-­kisah para ulama yang pernah melakukan muba­halah :
Pertama : Imam Ibnu Hajar al-Asqolani rahimahullah dengan salah seorang pengikut Ibnu Arobi
Al-Hafizh as-Sakhowi rahimahullah dalam kitab al-jawahir wad Duror 3/1001 menceritakan tentang guru beliau  al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah: “Meskipun beliau meru­pakan lautan ilmu dan tidak cepat marah, namun beliau akan sangat cepat marah kalau dalam mem­bela agama Alloh Ta’ala dan Rosul-Nya. Pernah suatu ke­tika terjadi antara beliau dengan sebagian penga­gung Ibnu Arobi, dia berdo’a: “Ya Alloh, jika Ibnu Arobi berada di atas kesesatan, maka laknatlah aku dengan laknat-Mu.” Lalu Imam Ibnu Hajar rahimahullah pun bedo’a: “Ya Alloh, jika Ibnu Arobi di atas kebenaran, maka laknatlah aku dengn laknat-Mu.”
Hasilnya, hanya selang dua bulan—tepatnya muba­halah tersebut terjadi pada bulan Romadhon tahun 797 dan pada bulan Dzulqo’dah—orang tersebut buta lalu mati.
Kedua : Syaikh Tsana’ulloh al-Amritsari rahimahullah dengan Mirza Ghulam Ahmad nabinya agama Ahmadiyah
Seorang ahli hadits India, Syaikh Tsana’ulloh al­-Amritsari rahimahullah (wafat 1367 H) pernah menantang Mirza Ghulam Ahmad al-Qodiyani pada tahun 1326 H bahwa barang siapa di antara keduanya yang ber­dusta dan berada di atas kebatilan, maka dia akan mati duluan dan terkena penyakit kolera. Akhirnya, selang beberapa waktu yang tidak lama, Mirza ter­kena penyakit kolera kemudian meninggal dunia, sedangkan Syaikh Tsana’ulloh rahimahullah, beliau hidup setelah itu empat puluh tahun lamanya.[10]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar