Tahukah Anda ??
Tidak ada satu pun negara Muslim yang tergabung dalam PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) menerapkan Syariah Islam.
Piagam PBB secara tidak langsung melarang anggotanya untuk melaksanaan hukum syariah.
Indonesia resmi menjadi anggota
PBB ke-60, pada tanggal 28 September 1950, Pernah menjabat anggota tidak
tetap Dewan Keamanan dua kali, ketua Komisi HAM PBB satu kali, dan
rektor Universitas PBB satu kali.
Indonesia dengan mayoritas
muslim terbesar didunia tidak menerapkan Syariah Islam sebagai landasan
hukum negaranya akan tetapi hukum syirik Demokrasi Pancasila.
_
Masihkah Kalian Ragu…?
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Jika orang kafir ragu atau tidak
mengetahui kekafiran dirinya sendiri, maka itu bisa kita maklumi. Namun
sangatlah tidak wajar kalau orang yang mengaku bara’
dari orang kafir, namun tidak mengetahui bahwa orang yang di hadapannya
adalah kafir, padahal segala tingkah laku, keyakinan dan ucapannya
sering dia lihat dan dia dengar.
Banyak orang yang mengaku Islam bahkan
mengaku dirinya bertauhid tidak mengetahui bahwa negara tempat ia hidup
dan pemerintah yang yang bertengger di depannya adalah kafir.
Ketahuilah, sesungguhnya keislaman seseorang atau negara bukanlah dengan
sekedar pengakuan, tapi dengan keyakinan, ucapan dan perbuatannya.
Sesungguhnya kekafiran Negara Indonesia
ini bukanlah hanya dari satu sisi yang bisa jadi tersamar bagi orang
yang rabun. Perhatikanlah, sesungguhnya kekafiran negara ini adalah dari
berbagai sisi, yang tentu saja tidak samar lagi, kecuali atas
orang-orang kafir. Inilah sisi-sisi kekafiran Negara Indonesia dan
pemerintahnya :
- Berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Indonesia tidak berhukum dengan hukum Allah, tetapi berhukum denganqawanin wadl’iyyah
(undang-undang buatan) yang merupakan hasil pemikiran setan-setan
berwujud manusia, baik berupa kutipan atau jiplakan dari undang-undang
penjajah (seperti Belanda, Portugis, dll) maupun undang-undang produk
lokal. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“…Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS. Al Maaidah [5]: 44)
Ayat ini sangat nyata, meskipun kalangan Murji-ah yang berkedok Salafiy ingin memalingkannya kepada kufur asghar dengan memelintir tafsir sebagian salaf yang mereka tempatkan bukan pada tempatnya.
Negara dan pemerintah negeri ini lebih
menyukai undang-undang buatan manusia daripada Syari’at Allah, maka
kekafirannya sangat jelas dan nyata. Kekafiran undang-undang buatan ini
sangat berlipat-lipat bila dikupas satu per satu, di dalamnya ada bentuk
penghalalan yang haram, pengharaman yang halal, perubahan hukum/ aturan
yang telah Allah tetapkan dan bentuk kekafiran lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata: “Seseorang dikala menghalalkan keharaman yang sudah
diijma’kan, atau mengharamkan kehalalan yang sudah diijma’kan, maka dia
kafir murtad dengan kesepakatan fuqaha”. (Majmu Al Fatawa: 3/267)
Bahkan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah menyebutkan bahwa di antara pentolan thaghut adalah: Orang yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan. Kemudian beliau menyebutkan dalilnya, yaitu Surat Al Maidah: 44 tadi. (Risalah fie Ma’na Thaghut, lihat dalam Majmu’ah At Tauhid).
Al Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
“Tidak ada perselisihan di antara dua orang pun dari kaum muslimin
bahwa orang yang memutuskan dengan Injil dari hal-hal yang tidak ada
nash yang menunjukkan atas hal itu, maka sesungguhnya dia itu kafir
musyrik lagi keluar dari Islam.” (Dari Syarh Nawaqidul Islam ‘Asyrah, Syaikh Ali Al Khudlair)
Bila saja memutuskan dengan hukum Injil yang padahal itu adalah hukum Allah -namun sudah dinasakh-,
merupakan kekafiran dengan ijma kaum muslimin, maka apa gerangan bila
memutuskan perkara dengan menggunakan hukum buatan setan (berwujud)
manusia, sungguh tentu saja lebih kafir dari itu…
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Siapa yang menyelisihi apa yang telah Allah perintahkan kepada Rasul-Nyashallallaahu’alaihi wa sallam dengan
cara ia memutuskan di antara manusia dengan selain apa yang telah Allah
turunkan atau ia meminta hal itu (maksudnya minta diberi putusan dengan
selain hukum Allah) demi mengikuti apa yang dia sukai dan dia inginkan,
maka dia telah melepas ikatan Islam dan iman dari lehernya, meskipun
dia mengaku sebagai mukmin.” (Fathul Majid: 270)
Apakah presiden, wakilnya, para
menterinya, para pejabat, para gubernur hingga lurah, para hakim dan
jaksa, apakah mereka memutuskan dengan hukum Allah atau dengan hukum
buatan ? Apakah mereka mengamalkan amanat Allah dan Rasul-Nya atau
amanat undang-undang ? Jawabannya sangatlah jelas. Maka dari itu tak
ragu lagi bahwa mereka itu adalah orang kafir.
Saya tegaskan lagi bahwa setiap negara
yang tidak berhukum dengan syari’at Allah dan tidak tunduk kepada hukum
Allah, maka ia adalah negara jahiliyyah, kafir, zhalim, lagi fasiq
dengan penegasan ayat-ayat yang muhkam. Wajib bagi setiap muslim
membenci negara itu dan memusuhinya karena Allah, serta haram atas
mereka mencintai dan loyal kepadanya sehingga ia beriman kepada Allah
saja dan menerapkan Syari’at-Nya.
Apakah RI ini berhukum dengan syari’at Allah ? Jawabannya: TIDAK.
Apakah RI tunduk pada hukum Allah ? Jawabannya: TIDAK.
Berarti RI adalah negara jahiliyyah,
kafir, zhalim dan fasiq, sehingga wajib bagi setiap muslim membenci dan
memusuhinya, serta haramlah mencintai dan loyal kepadanya.
- Mengadukan kasus persengketaannya kepada thaghut
Di antara bentuk kekafiran adalah
mengadukan perkara kepada thaghut. Saat terjadi persengketaan antara RI
dan pihak luar, maka sudah menjadi komitmen negara-negara anggota PBB
adalah mengadukan kasusnya ke Mahkamah Internasional yang berkantor di
Den Haag Belanda. Maka inilah yang dilakukan RI, misalnya saat terjadi
sengketa dengan Malaysia tentang kasus Pulau Sipadan dan Ligitan,
mengadulah negara ini ke Mahkamah Internasional. Sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا
“Apakah engkau tidak memperhatikan
orang-orang yang mengklaim bahwa dirinya beriman kepada apa yang telah
Allah turunkan kepadamu dan apa yang telah diturunkan sebelum kamu,
seraya mereka ingin merujuk hukum kepada thaghut, padahal mereka telah
diperintahkan untuk kafir terhadapnya. Dan syaitan ingin menyesatkan
mereka dengan kesesatan yang sangat jauh”. (QS. An Nisaa’ [4]: 60)
Yang jelas sesungguhnya negara ini pasti
mengadukan kasus sengketanya dengan negara lain kepada Mahkamah
Internasional, padahal AllahSubhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Wahai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan Rasul serta ulil ‘amri di antara kalian. Kemudian
bila kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
dan Rasul-Nya bila kalian memang beriman kepada Allah dan hari akhir.
Yang demikian itu adalah lebih baik dan lebih indah akibatnya”. (QS. An Nisaa’ [4]: 59)
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“(Firman Allah) ini menunjukkan bahwa orang yang tidak merujuk hukum
dalam kasus persengketaannya kepada Al Kitab dan As Sunnah serta tidak
kembali kepada keduanya dalam hal itu, maka dia bukan orang yang beriman
kepada Allah dan hari Akhir.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim: 346)
Hukum internasional adalah rujukan
negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa, sedangkan
itu adalah salah satu bentuk thaghut dan merujuk kepadanya adalah
kekafiran dengan ijma’ ‘ulama.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Siapa yang meninggalkan hukum paten yang diturunkan kepada Muhammad
Ibnu ‘Abdillah –sang penutup para Nabi– dan ia justeru merujuk hukum
kepada yang lainnya berupa hukum-hukum yang sudah dinasakh (dihapus),
maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang merujuk hukum kepada
ILYASA dan ia lebih mendahulukannya daripada hukum (yang dibawa
Rasulullah). Siapa yang melakukan itu, maka dia kafir dengan ijma’ kaum
muslimin”. (Al Bidayah wan Nihayah: 13/119).
Ilyasa atau Yasiq
adalah kitab yang memuat hukum-hukum yang dicuplik (diadopsi .ed) oleh
Jengis Khan dari berbagai hukum, yaitu dari Yahudi, Nasrani, Islam dan
hukum-hukum hasil pemikirannya sendiri yang dijadikan rujukan oleh anak
cucunya.
(Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim: 3/131 dalam penafsiran QS. Al Maaidah: 50)
Jadi ‘konstruksi’ ilyasa atau yasiq tersebut adalah sama persis dengan kitab-kitab hukum yang dipakai di negara ini dan yang lainnya
- Negara dan pemerintah ini berloyalitas kepada orang-orang kafir, baik yang duduk di PBB atau yang ada di Amerika, Eropa dll, serta membantu mereka dalam rangka membungkam para muwahhidin mujahidin
Bukti atas hal ini sangatlah banyak.
Salah satunya yang paling menguntungkan kaum kuffar barat dan timur,
yang banyak menjebloskan para mujahidin ke dalam sel-sel besi adalah
diberlakukannya Undang-undang Anti Jihad (menurut bahasa mereka
Undang-undang Anti Terorisme), dan tentu saja negara ini pun ikut aktif
dalam hal itu dengan memberlakukan UU Anti Terorisme.[1] Sedangkan Allah
Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Dan siapa yang tawalliy (memberikan loyalitas) kepada mereka di antara kalian, maka sesungguhnya dia tergolong bagian mereka”. (QS. Al Maaidah[5]: 51)
Sebelumnya Syaikhul Islam Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullahtelah menyebutkannya dalam risalah beliau tentang Pembatal Keislaman.
- Memberikan atau memalingkan hak dan wewenang membuat hukum dan undang-undang kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
Telah kita ketahui bahwa hak menentukan hukum atau aturan atau undang-undang adalah hak khusus bagi Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, jika itu dipalingkan kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’ala maka menjadi salah satu bentuk dari syirik akbar. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
“Dan Dia tidak menyertakan seorangpun dalam hukum-Nya.” (QS. Al Kahfi[18]: 26)
Dalam qiro’ah Ibnu ‘Amir yang mutawatir :
وَلَا تُشْرِكْ فِي حُكْمِهِ أَحَداً
”Dan janganlah kamu sekutukan seorang pun dalam hukum-Nya.” (QS. Al Kahfi [18]: 26)
Dan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala juga berfirman:l
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
“Hukum (keputusan) itu hanyalah milik Allah.” (QS. Yusuf [12]: 40)
Tasyri’ (pembuatan hukum) adalah hak khusus Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, sehingga
pelimpahan sesuatu darinya kepada selain Allah adalah syirik akbar,
sedangkan di NKRI hak dan wewenang pembuatan hukum/aturan diserahkan
kepada banyak sosok dan lembaga, yaitu kepada MPR, DPR, DPD, Presiden
dll. Inilah di antara bukti-buktinya:
- UUD 1945 Bab II Pasal3 ayat 1: “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang Undang Dasar”. Ini artinya MPR adalah arbaab (tuhan-tuhan) selain AllahSubhaanahu Wa Ta’ala. Orang-orang yang duduk sebagai anggotanya adalah orang-orang yang mengaku sebagai ilaah(tuhan), sedangkan orang-orang yang memilihnya dalam Pemilu adalah orang-orang yang mengangkat ilaah yang mereka ibadati. Sehingga ucapan setiap anggota MPR: “Saya adalah anggota MPR” bermakna “Saya adalah tuhan selain Allah”.
- UUD 1945 Bab VII Pasal 20 ayat 1: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang undang”. Padahal dalam ajaran Islam pemegang kekuasaan Undang-undang/hukum/aturan tak lain hanyalah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.
- UUD 1945 Bab VII Pasal 21 ayat 1: “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”.
- Bab III PAsal 5 ayat 1: “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Bahkan kekafirannya tidak terbatas pada
pelimpahan wewenang hukum kepada para thaghut itu saja, tapi semua
diikat dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu UUD. Rakyat lewat lembaga
MPR-nya boleh berbuat apa saja TAPI harus sesuai dengan UUD, sebagaimana
dalam UUD 1945 Pasal 1 (2): “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”.
Presiden pun kekuasaannya dibatasi oleh UUD sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Bab III Pasal 4 (1): “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
Jadi jelaslah, BUKAN menurut Al Qur’an
dan As Sunnah, tetapi menurut Undang-Undang Dasar Thaghut. Apakah ini
Islam atau kekafiran…?!
Bahkan bila ada perselisihan kewenangan
antar lembaga pemerintahan, maka putusan final diserahkan kepada
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dalam Bab IX Pasal 24c (1): “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang
Undang Dasar, memutuskan pembubaran Partai Politik dan memutus
perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”.
Perhatikanlah, padahal dalam ajaran Tauhid, semua harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya :
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
“Kemudian bila kalian berselisih
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, bila
kalian (memang) beriman kepada Allah dan Hari Akhir”. (QS. An Nisaa’ [4]: 59)
Dalam tafsir ayat ini Ibnu Katsir rahimahullah berkata
: “(Ini) menunjukkan bahwa orang yang tidak merujuk dalam hal sengketa
kepada Al Kitab dan As Sunnah dan tidak kembali kepada keduanya dalam
hal itu, maka dia tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir ”. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim: 2/346)
Demikianlah, dalam Islam Al Qur’an dan As
Sunnah adalah tempat untuk mencari keadilan, tetapi dalam ajaran
thaghut RI keadilan adalah ada pada hukum yang mereka buat sendiri.
- Pemberian hak untuk berbuat syirik, kekafiran dan kemurtadan dengan dalilh kebebasan beragama dan HAM
Undang Undang Dasar Thaghut memberikan
jaminan kemerdekaan penduduk untuk meyakini ajaran apa saja, sehingga
pintu-pintu kekafiran, kemusyrikan dan kemurtadan terbuka lebar dengan
jaminan UUD. Orang yang murtad dengan masuk agama lain merupakan hak
kemerdekaannya dan tak ada sanksi hukum atasnya, padahal dalam ajaran
AllahSubhaanahu Wa Ta’ala orang yang murtad hanya memiliki dua pilihan: kembali pada Islam atau menerima sanksi bunuh, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam: “Siapa yang mengganti dien-nya, maka bunuhlah dia”. (Muttafaq ‘Alaih)
Berhala-berhala yang disembah baik yang
berbentuk batu atau selainnya dan budaya syirik dalam berbagai bentuk,
seperti meminta-minta ke kuburan, membuat sesajen, memberikan tumbal,
mengkultuskan sosok dan bentuk-bentuk syirik lainnya mendapatkan jaminan
perlindungan sebagaimana tercantum dalam :
– Bab XI Pasal 28 I (3): “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
– Bab XI Pasal 29 (2): “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu“.
Mengeluarkan pendapat, pikiran dan sikap, meskipun berbentuk kekafiran adalah hak yang dilindungi negara :
– Bab X A Pasal 28E (2) : “Setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan
sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.
– Bab X A Pasal 28E (3) : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
- Menyamakan antara orang kafir dengan orang muslim
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala telah membedakan antara orang kafir dengan orang muslim dalam ayat-ayat yang sangat banyak.
لا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ
“Tidaklah sama (calon) penghuni neraka dengan penghuni surga” (QS. Al Hasyr [59]: 20)
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman seraya mengingkari orang yang menyamakan antara dua kelompok dan membaurkan hukum-hukum mereka:
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ
“Apakah Kami menjadikan orang-orang muslim seperti orang-orang mujrim (kafir)”. (QS. Al Qalam [68]: 35)
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لا يَسْتَوُونَ
“Dan apakah orang-orang yang beriman itu seperti orang-orang yang fasiq ? ” (QS. As Sajdah [32]: 18)
قُلْ لا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ
“Katakanlah : Tidak sama orang yang busuk dengan orang yang baik”. (QS.Al Maaidah [5]: 100)
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala ingin memilah antara orang kafir dengan orang mukmin: “Agar Allah memilah orang yang buruk dari orang yang baik”.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menginginkan
adanya garis pemisah syar’i antara para wali-Nya dengan musuh-musuh-Nya
dalam hukum-hukum dunia dan akhirat. Namun orang-orang yang mengikuti
syahwat dari kalangan budak undang-undang negeri ini ingin menyamakan
antara mereka, sehingga termaktub dalam UUD 1945 Bab X Pasal 27 (1): “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Maka dari itu mereka MENGHAPUS segala bentuk pengaruh agama dalam hal
pemilahan dan perbedaan di antara masyarakat. Mereka sama sekali tidak
menerapkan sanksi yang bersifat agama dalam UU mereka. Mereka tidak
menggunakan sanksi yang telah Allah turunkan, dan yang paling fatal
adalah tak ada sanksi bagi orang yang murtad. Karena mereka menyamakan
semua pemeluk agama dalam hal darah dan kehormatan, kemaluan dan harta,
serta mereka menghilangkan segala bentuk konsekuensi hukum akibat
kekafiran dan kemurtadan.
Renungkanlah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala
membedakan antara muslim dan kafir, tapi hukum thaghut justeru
menyamakannya. Maka siapakah yang lebih baik ? Tentulah aturan Allah
Yang Maha Esa.
- Sistem yang berjalan adalah demokrasi
“Kekuasaan (hukum) ada di tangan rakyat”
(bukan di Tangan Allah), itulah demokrasi, dan sistem inilah yang
berjalan di negara ini. Dalam UUD 1945 Bab I Pasal 1 (2): “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Sehingga
disebutkan juga dalam Bab X A Pasal 28 I(5): “Untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka…”dll.
Kedaulatan, kekuasaan serta wewenang
hukum dalam ajaran dan dien (agama) demokrasi ada di tangan rakyat atau
mayoritasnya. Sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
“Dan apa yang kalian perselisihkan di dalamnya tentang sesuatu, maka putusannya (diserahkan) kepada Allah”. (QS. Asy Syura [42]: 10)
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
“Kemudian bila kalian berselisih
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, bila kalian
memang beriman kepada Allah dan Hari Akhir”. (QS. An Nisaa’ [4]: 59)
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
“(Hukum) putusan itu hanyalah milik Allah”. (QS. Yusuf [12]: 40)
Namun para budak UUD mengatakan: “Putusan
itu hanyalah milik rakyat lewat wakil-wakilnya, apa yang ditetapkan
oleh Majelis Rakyat ‘boleh’, maka itulah yang halal, dan apa yang
ditetapkan ‘tidak boleh’, maka itulah yang haram”. Inilah yang dimaksud
oleh pasal di awal pembahasan point ini.
Dalam agama demokrasi, keputusan yang
benar yang mesti dijalankan adalah hukum atau putusan mayoritas,
sebagaimana yang dinyatakan UUD 1945 Bab II Pasal 2 (3): “Segala putusan Majelis Permusyawaratan rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak”. Padahal Allah Subhaanahu Wa Ta’alamenyatakan:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan bila kamu mentaati mayoritas orang yang ada di bumi, tentulah mereka menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (QS. Al An’am [6]: 116)
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
“Dan tidaklah mayoritas manusia itu beriman, meskipun kamu menginginkannya”. (QS. Yusuf [12]: 103)
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
“Namun mayoritas manusia tidak mengetahuinya”. (QS. Al Jatsiyah [45]: 26)
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَشْكُرُونَ
“Namun mayoritas manusia itu tidak mensyukurinya”. (QS. Ghafir [40]: 61)
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يُؤْمِنُونَ
“Namun mayoritas manusia itu tidak beriman”. (QS. Ghafir [40]: 59)
فَأَبَى أَكْثَرُ النَّاسِ إِلا كُفُورًا
“Dan mayoritas manusia tidak mau, kecuali mengingkari”.(QS. Al Furqaan[25]: 50)
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan mayoritas mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan mereka itu menyekutukan(Nya)”. (QS. Yusuf [12]: 106)
أَمْ يَقُولُونَ بِهِ جِنَّةٌ بَلْ جَاءَهُمْ بِالْحَقِّ وَأَكْثَرُهُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُونَ
“Dan mayoritas mereka tidak suka pada kebenaran”. (Al Mu’minuun [23]: 70)
قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُونَ
“Bahkan mayoritas mereka tidak memahami”. (QS. Al ‘Ankabuut [29]: 63)
Cobalah bandingkan dengan agama demokrasi yang dianut oleh pemerintah dan Negara Kafir Republik Indonesia (NKRI) !!
Padahal Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menyatakan :
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan putuskan di antara mereka dengan
pa yang telah Allah turunkan dan jangan ikuti keinginan-keinginan
mereka, serta hati-hatilah mereka memalingkan kamu dari sebagian apa
yang telah Allah turunkan kepadamu”. (QS. Al Maaidah [5]: 49)
Tetapi dalam agama demokrasi: Putuskanlah
di antara mereka dengan apa yang mereka gulirkan dan ikutilah keinginan
mereka serta hati-hatilah kamu menyelisihi apa yang diinginkan rakyat…!
Padahal Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
“Dan Dia tidak menyertakan seorangpun dalam hukum-Nya”. (QS. Al Kahfi[18]: 26)
Namun dalam agama demokrasi, bukan
sekedar menyekutukan selain Allah dalam hukum, tetapi hak dan wewenang
membuat hukum itu secara frontal dirampas secara total dari Allah dan
dilimpahkan kepada rakyat (atau wakilnya).
Rakyat atau wakil-wakilnya adalah tuhan
dalam ajaran demokrasi, maka seandainya ada orang yang mau menggulirkan
hukum Allah (misalnya sebatas pengharaman khamr atau penegakkan rajam)
tentu saja harus disodorkan dahulu kepada DPR untuk dibahas bersama
presiden, demi mendapatkan persetujuan bersama[2].
Dalam realitanya pengguliran hukum Allah
itu tak mungkin terwujud, karena setiap peraturan tak boleh bertentangan
dengan konstitusi negara, yaitu UUD 1945.
Agama demokrasi menjamin bahwa rakyat
memiliki hak untuk bebas memilih, bila rakyat memilih kekafiran dan
kemusyrikan, maka itulah kebenaran…
Enyahlah ajaran busuk ini… dan enyahlah syaithan yang mewahyukannya…!!!
- NKRI berlandaskan Pancasila
Pancasila -yang notabene adalah hasil
pemikiran manusia- adalah dasar negara ini, sehingga para thaghut RI dan
aparatnya menyatakan bahwa Pancasila adalah pandangan hidup, dasar
negara RI serta sumber kejiwaan masyarakat dan negara RI, bahkan sumber
dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh sebab itu
pengamalannya harus dimulai dari setiap warga negara Indonesia dan
setiap penyelenggara negara yang secara meluas akan berkembang menjadi
pengamalan Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan serta lembaga
kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah (Silahkan lihat buku-buku
PPKn atau yang sejenisnya).
Jadi dasar negara RI, pandangan hidup dan sumber kejiwaannya bukanlahLaa ilaaha illallaah, tapi falsafah syirik Pancasila thaghutiyyah syaithaniyyah yang digali dari bumi Indonesia, bukan dari wahyu samawiy ilahiy. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
“Itulah Al Kitab (Al Qur’an) tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk (pedoman) bagi orang-orang yang bertaqwa”.(Al Baqarah [2]: 2)
Tapi mereka mengatakan: Inilah Pancasila,
pedoman hayati bagi bangsa dan pemerintah Indonesia. (=Inilah
Pancasila, tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk (pedoman)
bagi bangsa dan pemerintah Indonesia)
Kemudian kami katakan kepada mereka:
Inilah Pancasila, sungguh tak ada keraguan, sebagai pedoman kaum
musyrikin Indonesia. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia…” (QS.Al An’am [6]: 153)
Tapi mereka mengatakan: Inilah Pancasila Sakti, maka hiasilah hidupmu dengan moral Pancasila.
Dalam rangka menjadikan generasi penerus
bangsa ini sebagai orang yang Pancasilais (baca: musyrik), para thaghut
menjadikan PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) atau
Pendidikan Kewarganegaraan atau Tata Negara atau Kewiraan sebagai mata
pelajaran bagi para sisiwa atau mata kuliah wajib bagi para mahasiswa.
Siapa yang tak lulus dalam matpel atau matkul ini, maka jangan harap dia lulus dari lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Dalam kesempatan ini, marilah kita kupas beberapa butir dari sila-sila Pancasila yang sempat (bertahun-tahun) wajib dihafal, diujikan dan dijadikan materi penataran P4 di era ORBA :
Sila ke-1 Butir ke-2 : Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
Pancasila memberikan kebebasan orang
untuk memilih jalan hidupnya. Seandainya ada muslim yang murtad dengan
masuk Nasrani, Hindu atau Budha, maka berdasarkan Pancasila itu adalah
hak asasinya, kebebasannya, dan tidak ada hukuman baginya, bahkan si
pelaku mendapat jaminan perlindungan. Hal ini jelas membuka lebar-lebar
pintu kemurtadan, sedangkan dalam ajaran Tauhid, Rasulullah bersabda : “Siapa yang merubah dien (agama)nya, maka bunuhlah dia” (Muttafaq ‘alaih)
Di sisi lain banyak orang muslim tertipu,
karena dengan butir ini mereka merasa dijamin kebebasannya untuk
beribadat, mereka berfikir toh bisa adzan, bisa shalat, bisa
shaum, bisa zakat, bisa haji, bisa ini dan itu, padahal kebebasan ini
tidak mutlak, kebebasan ini tidak berarti kaum muslimin bisa
melaksanakan sepenuhnya ajaran Islam, lihatlah apakah di Indonesia bisa
ditegakkan had ? Apakah kaum muslimin bebas untuk ikut serta di
front jihad manapun? Tentu tidak, karena dibatasi oleh butir Pancasila
yang lain.
Sila ke-1 Butir ke-1: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang beradab
Ya, beradab. Namun beradab menurut ukuran
isi otak mereka, bukan beradab sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Contoh : Ada orang yang murtad dari Islam, lalu ada muslim yang
menegakkan hukum AllahSubhaanahu Wa Ta’ala dengan membunuhnya,
maka orang yang membunuh demi menegakkan hukum Allah ini jelas akan
ditangkap dan dijerat hukum thaghut lalu dijebloskan ke balik jeruji
besi.
Berdasarkan butir ini, seorang muslim pun tidak bisa nahyi munkar,
contoh : jika seorang muslim melihat syirik –sebagai kemunkaran
terbesar– dilakukan, misalnya ada yang menyembah batu atau arca,
minta-minta ke kuburan, mempersembahkan sesajen atau tumbal, maka bila
ia bertindak dengan mencegahnya atau mengacaukan acara ritual musyrik
itu, maka sudah pasti dialah yang ditangkap dan dipenjara (dengan
tuduhan mengacaukan keamanan atau merusak program kebudayaan dan
pariwisata, ed.), padahal nahyi munkar adalah ibadah yang
sangat tinggi nilainya dalam agama Islam. Lalu apakah arti kebebasan
yang disebutkan itu…? Bangunlah wahai kaum muslimin, jangan kau terbuai
sihir para thaghut…
Sila ke-2 Butir ke-1 : Mengakui persamaan derajat, hak dan kewajiban antara sesama manusia
Maknanya adalah tidak ada perbedaan di
antara mereka dalam status derajat, hak dan kewajiban dengan sebab dien
(agama), sedangkan AllahSubhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُلْ لا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ
Katakanlah: Tidak sama orang yang buruk dengan orang yang baik, meskipun banyaknya yang buruk menakjubkan kamu”. (QS. Al Maaidah [5]: 100)
وَمَا يَسْتَوِي الأعْمَى وَالْبَصِيرُ (١٩) وَلا الظُّلُمَاتُ وَلا النُّورُ (٢٠) وَلا الظِّلُّ وَلا الْحَرُورُ (٢١) وَمَا يَسْتَوِي الأحْيَاءُ وَلا الأمْوَاتُ
“Dan tidaklah sama orang yang buta
dengan yang bisa melihat, tidak pula kegelapan dengan cahaya, dan tidak
sama pula tempat yang teduh dengan yang panas, serta tidak sama
orang-orang yang hidup dengan yang sudah mati”. (QS. Faathir [35]: 19-22)
لا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ
“Tidaklah sama penghuni neraka dengan penghuni surga”. (QS. Al Hasyr[59]: 20)
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لا يَسْتَوُونَ
“Maka apakah orang yang mu’min (sama) seperti orang yang fasiq ? (tentu) tidaklah sama” (QS. As Sajdah [32]: 18)
Sedangkan kaum musyrikin dan thaghut Pancasila menyatakan : “Mereka sama…” Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman :
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ (٣٥) مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ (٣٦) أَمْ لَكُمْ كِتَابٌ فِيهِ تَدْرُسُونَ (٣٧) إِنَّ لَكُمْ فِيهِ لَمَا تَخَيَّرُونَ
“Maka apakah Kami menjadikan
orang-orang Islam (sama) seperti orang-orang kafir. Mengapa kamu
(berbuat demikian): Bagaimanakah kamu mengambil keputusan ? Atau adakah
kamu memiliki sebuah Kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu baca, di
dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu ?”. (QS. Al Qalam [68]: 35-38)
Sedangkan budak Pancasila menyamakan antara orang-orang Islam dengan orang-orang kafir.
Jika kita bertanya kepada mereka: Apakah
kalian mempunyai buku yang kalian pelajari tentang itu ? Mereka
menjawab: Ya, tentu kami punya, yaitu buku PPKn dan buku-buku lainnya
yang di dalamnya menyebutkan: Mengakui persamaan derajat, hak dan
kewajiban antara sesama manusia.
Wahai orang yang berfikir, apakah ini Tauhid atau kekafiran….?
Sila ke-2 Butir ke-2 : Saling mencintai sesama manusia
Pancasila mengajarkan pemeluknya untuk
mencintai orang-orang Nasrani, Budha, Hindu, Konghucu, kaum sekuler,
kaum liberal, para demokrat, para quburiyyun, para thaghut dan
orang-orang kafir lainnya. Sedangkan AllahSubhaanahu Wa Ta’ala menyatakan:
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
”Engkau tidak akan mendapati
orang-orang yang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir berkasih
sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun
mereka itu adalah ayah-ayah mereka, atau anak-anak mereka, atau
saudara-saudara mereka, atau karib kerabat mereka” (QS. Al Mujaadilah [58]: 22).
Pancasila berkata: Haruslah saling
mencintai, meskipun dengan orang non muslim (baca : Kafir). Namun Allah
memvonis: Orang yang saling mencintai dengan orang kafir, maka mereka
bukan orang Islam, bukan orang yang beriman.
Jadi jelaslah bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’ala mengajarkan Tauhid, sedangkan Pancasila mengajarkan kekafiran. Dia berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
“Wahai orang-orang yang beriman,
jangan kalian jadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai auliya yang mana
kalian menjalin kasih sayag terhadap mereka”. (QS. Al Mumtahanah [60]: 1)
إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
“Sesungguhnya orang-orang kafir adalah musuh yang nyata bagi kalian”.(QS. An Nisaa’ [4]: 101)
Renungilah ayat-ayat suci tersebut dan
amati butir Pancasila di atas. Lihatlah, yang satu arahnya ke timur,
sedangkan yang satu lagi ke barat. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman tentang ajaran Tauhid yang diserukan oleh para Rasul:
وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“…Serta tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja”. (QS. Al Mumtahanah [60]: 4)
Namun dalam ajaran thaghut Pancasila:
Tidak ada permusuhan dan kebencian, tapi harus toleran dan tenggang rasa
dengan sesama manusia apapun keyakinannya…
Apakah ini tauhid atau syirik ? Ya
tauhid, tapi bukan tauhidullah, namun tauhid (penyatuan) kaum musyrikin
atau tauhidut thawaaghiit. Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَوْثَقُ عُرَى الْإِيمَانِ الْحُبُّ فِي اللَّهِ ؛ وَالْبُغْضُ فِي اللَّهِ
“Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah”. [HR. Ahmad, 4/286]
Namun seseorang yang beriman kepada
Pancasila akan mencintai dan membenci atas dasar Pancasila. Dia itu
mu’min (beriman), tapi bukan kepada Allah, namun iman kepada thaghut
Pancasila. Inilah makna yang hakiki dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena
Yang Maha Esa dalam agama Pancasila bukanlah Allah, tapi itulah Garuda
Pancasila yang melindungi pemuja batu dan berhala !!!
Enyahlah tuhan esa yang seperti itu…! dan enyahlah pemujanya…!!
Sila ke-3 Butir ke-1 : Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan
Inilah yang dinamakan dien (agama)
nasionalisme yang juga merupakan salah satu bentuk ajaran syirik, karena
menuhankan negara (tanah air). Dalam butir di atas disebutkan bahwa
kepentingan nasional harus didahulukan atas kepentingan apapun, termasuk
kepentingan golongan (baca: agama). Jika ajaran Tauhid (dien Islam)
bertentangan dengan kepentingan syirik dan kekufuran negara, maka Tauhid
harus mengalah. Sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya”. (QS. Al Hujurat [49]: 1)
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا
“Katakanlah: Bila ayah-ayah kalian,
anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, isteri-isteri kalian, karib
kerabat kalian, harta yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian
khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah yang engkau sukai lebih kalian
cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta dari jihad di jalan-Nya, maka
tunggulah…” (QS. At Taubah [9]: 24)
Maka dari itu jika nasionalisme adalah
segalanya, maka hukum-hukum yang dibuat dan diterapkan adalah yang
disetujui oleh kaum kafir asli dan kaum kafir murtad. Syari’at Islam
yang utuh tak mungkin ditegakkan, karena menurut mereka syari’at (hukum)
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala sangat-sangat menghancurkan tatanan kehidupan yang berdasarkan paham nasionalis.[3]
Sebenarnya jika setiap butir dari
sila-sila Pancasila itu dijabarkan seraya ditimbang dengan Tauhid,
tentulah membutuhkan waktu dan lembaran yang banyak. Penjabaran di atas
hanyalah sebagian kecil dari bukti kerancuan, kekafiran, kemusyrikan dan
kezindiqan Pancasila sebagai hukum buatan manusia yang merasa lebih
adil dari Allah. Uraian ini insya Allah telah memenuhi kadar cukup
sebagai hujjah bagi para pembangkang dan cahaya bagi yang mengharapkan
lagi merindukan hidayah.
Maka setelah mengetahui kekafiran
Pancasila ini, apakah mungkin bagi seseorang yang mengaku sebagai muslim
masih mau melantunkan lagu:“Garuda Pancasila… akulah pendukungmu… sedia berkorban untukmu…?”Sungguh,
tak ada yang menyanyikannya, kecuali seorang kafir mulhid atau orang
jahil yang sesat, yang tidak tahu hakikat Pancasila.
Pembaca sekalian, demikianlah sebagian
kecil dari sisi-sisi kekafiran NKRI. Ini hanyalah ringkasan kecil dari
kekafiran-kekafiran nyata yang beraneka ragam. Setelah mengetahui hal
ini, apakah mungkin seorang muslim :
– Loyal (setia) kepada NKRI dan rela berkorban untuknya ?
– Melantunkan lagu : “Bagimu negeri…jiwa raga kami”
– Bersumpah setia kepadanya hanya karena menginginkan harta dunia yang hina ?
– Menjadi aparat keamanan yang melindungi Negara Kafir Republik Indonesia ?
Semoga Allah selalu memberikan hidayah, kekuatan dan kesabaran kepada kita untuk menegakkan Tauhid.
Nantikan penjabaran selanjutnya tentang:
Bagaimanakah status para aparat TNI, POLRI, intelejen dan SP (mata-mata)
kalangan mereka ? Bagaimana status rinci bagi PNS… dalam Seri Materi
Tauhid selanjutnya…[4] [5]
Alhamdulillaahirrobbil‘aalamiin…
(8 Juni 2004)
[1] Di antaranya adalah: UU No.15 Th. 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Peraturan Pemerintah No.24
Th. 2003 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Saksi, Penyidik,
Penuntut Umum, dan Hakim dalam perkara Tindak Pidana Terorisme.(ed.)
[2] Betapa mengerikannya hal ini, karena wahyu Allah -Tuhan alam
semesta- harus terlebih dahulu mendapat persetujuan makhluk bumi yang
hina… ed.
[3] Perhatikanlah, demi Allah pada hakikatnya tak ada kaum nasionalis
Islami atau yang sering juga disebut kaum nasionalis religius, karena
Islam tak mengenal cinta negara atau bangsa atau tanah air dengan
membabi buta, yang menjadi ukuran cinta dan benci adalah hanya keimanan.
Islam mengajarkan bahwa kepentingan agama adalah segalanya, jelaslah
tak ada kepentingan yang boleh didahulukan di atas kepentingan agama
Allah, apalagi kepentingan negara kafir ini. (ed.)
[4] Diedit dengan penambahan materi di beberapa tempat, tanpa merubah maksud tulisan asli.
[5] Segala isi hukum buatan manusia yang kami kutip mungkin bisa berubah sewaktu-waktu, tergantung pada kepentingan dan kesepakatan para tuhan pembuatnya.(ed.)
sumber : millahibrahim.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar