Senin, 08 Juni 2015

Mewaspadai Fitnah Penguasa di Akhir Zaman

Mewaspadai Fitnah Penguasa di Akhir Zaman

si-basar-620x415
سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ وَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ يَرِدُ عَلَيَّ الْحَوْضَ وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَارِدٌ عَلَيَّ الْحَوْضَ
Akan ada sepeninggalku nanti sejumlah pemimpin. Barangsiapa yang masuk menemui mereka, lalu dia membenarkan kedustaan mereka, dan membantu mereka dalam kezhaliman mereka maka dia bukan bagian dariku, aku juga bukan bagian darinya, dan dia tidak akan menemuiku di telaga Surga. Barangsiapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu mereka dalam kezhaliman mereka maka dia adalah bagian dari diriku, aku juga bagian darinya, dan dia akan datang menemuiku di telaga surga. (HR. At-Tirmidzi, kitab Al-Fitan, hadits no. 2360).
Dalam Islam, masalah imamah merupakan bagian yang teramat penting untuk terjaminnya kemaslahatan manusia. Karenanya Islam memberikan perhatian yang sangat serius agar ia tidak jatuh ke tangan orang yang salah. Saat nabi saw wafat, maka bukan perkara jenazah nabi saw yang menjadi perhatian terpenting, melainkan siapakah yang lebih berhak menjadi penggantibeliau. Baru setelah kaum muslimin sepakat atas terpilihnya Abu Bakar ra, mereka kembali merampungkan urusan jenazah nabi saw. Atas petunjuk pemimpin baru yang telah disepakati pula tempat penguburan nabi ditetapkan. Sehingga tidak ada perselisihan di antara mereka.
Saat nabi saw menyampaikan pesantentang munculnya model baru dalam kepemimpinan, barangkali tidak terbayang seperti apa yang akan terjadi pada manusia sepeninggal beliau saw. Para sahabat adalah manusia-manusia bersih yang diakui kejujuran dan ketulusannya dalam mengemban amanah. Mereka tidak memiliki ambisi duniawi atau mengejar kedudukan dan kekuasaan. Allah SubhanahuwaTa’ala telah memuji mereka di dalam kitab-Nya, juga telah meridhai mereka.
Dalam kondisi seperti itu, ternyata Rasulullah saw telah menubuwatkan akan berlangsungnya suatu zaman yang amat sangat kontras dengan apa yang disaksikan oleh para sahabat; para pemimpinnya adalah manusia-manusia jahat, bahkan lebih jahat dari kaum Majusi.
Hingga datangnya era khulafaurrasyidin, apa yang beliau nubuwatkan juga masih belum terbayang. Namun, nubuwat itu terus berlanjut dan diriwayatkan secara turun-temurun. Hingga akhirnya kita –sebagai manusia akhir zaman- mendengar dan menyaksikan kebenaran nubuwat tersebut. Sebagian kita menyimpulkan, boleh jadi inilah zaman yang telah dinubuwatkan, zaman yang para penguasanya berkata bukan berdasar landasan ilmu dan berbuat bukan berdasar landasan ilmu. Bagaimana bisa disebut berilmu jika mereka menolak hukum Allah dan Rasul-Nya sebagai sumber dari segala sumber ilmu. Bukankah hanya orang yang takut kepada Allah saja yang layak mendapat predikat berilmu (ulama)?.
Nampaknya, inilah zaman yang paling tepat untuk menggambarkan bagaimana para pemimpinnya menjadikan penjahat dan preman sebagai teman dekat. Menjadikan pembunuh berdarah dingin sebagai backing dan pada saat yang sama menjadikan para ulama sebagai objek buruan. Mereka juga melarang yang ma’ruf dan memerintah yang munkar; jilbab dilarang sementara minuman keras dilegalkan. Inilah masa yang kita diingatkan oleh Rasulullah saw untuk menjauhi mereka. Rasul saw bersabda,
”Benar-benar akan datang kepada kalian suatu zaman yang para penguasanya menjadikan orang-orang jahat sebagai orang-orang kepercayaan mereka dan mereka menunda-nunda pelaksanaan shalat dari awal waktunya. Barangsiapa mendapati masa mereka, janganlahsekali-kali ia menjadi seorang penasehat, polisi, penarik pajak, atau bendahara bagi mereka.” (HR. Ibnu Hibban, Silsilah al-Ahadits al-Shahihah no. 360.)
Dalam riwayat lain disebutkan, “Barang siapa menjadi penasehat mereka, pembantu mereka, dan pendukung mereka, berarti ia telah binasa dan membinasakan orang lain.”
Terjadi di era pemimpin yang menggigit atau penguasa diktator?
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa kaum muslimin yang mengalami zaman fitnah itu hendaklah bersabar dan tetap mentaati para pemimpinnya selama bukan dalam kemaksiatan. Hal itu sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Salamah bin Yazid Al-Ju‘fi, Rasulullah bersabda,
“Kalian dengarkan dan taati perintah para pemimpin itu. Mereka hanya bertanggungjawab atas dosa mereka dan kalian juga hanya bertanggungjawab atas dosa kalian.” (HR. Muslim, hadits no. 1846).
Muncul persoalan baru tentang status penguasa saat ini, apakah mereka yang dimaksud dengan hadits-hadits di atas ataukah riwayat tersebut mengacu pada masa kepemimpinan sebelumnya? Seperti yang termuat dalam riwayat Ahmad bahwa fase kaum muslimin akan berlangsung dalam lima periode; nubuwah, khilafah rasyidah, mulkan adhan, mulkan jabriyah dan terakhir khilafah rasyidah. Kita pasti sepakat bahwa saat ini kita hidup di era mulkan jabriyah, era penguasa diktator yang tidak lagi menjalankan syari’at Islam sebagai dasar hukum bernegara. Lebih tepatnya, para penguasanya menolak kalau negerinya disebut dengan negara Islam. Sementara para salaf yang berbicara tentang keharusan taat –dalam hal makruf- kepada penguasa dzalim, selalunya dalam kontek penguasa mulkan adhan, dimana mereka semua menjadikan syari’at Allah sebagai dasar hukum bernegaranya.
Ringkasnya, jika terhadap penguasa dzalim yang menjadikan syari’at Islam sebagai dasar negaranya kita diperintahkan untuk menjauhinya dan waspada akan bahaya fitnahnya. Lalu, bagaimana sikap seorang muslim terhadap penguasa diktator yang menolak syari’at Islam bahkan memeranginya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar